Batin saya tidak tenang seolah
dikejar hutang. Beberapa waktu lalu, memang sudah cukup lama, tepatnya 2 Juni
2014, saya mempublikasi tulisan bersambung dalam blog ini. Karena berbagai
aktivitas –modus ngeles-, saya tidak
melanjutkan ceritanya. Setelah dipikir-pikir, akhirnya saya pun memutuskan
untuk meneruskan kisahnya. Entah nanti bermanfaat atau tidak, biarlah Anda
sebagai pembaca dan Tuhan yang tahu.
Sebelumnya saya sudah posting 2 seri. Tulisan ini yang ketiga.
Kalau mau membaca kisah sebelumnya, bisa klik di sini dan di sini. Dalam seri
yang terdahulu (kedua), ceritanya bersambung saat kami tiba di halte bus yang
berlokasi dekat dengan pasar Prambanan.
Penunjuk arak ke komplek Candi Prambanan |
Begitu keluar dari halte,
kami ditawari penyedia jasa transpotasi tenaga kuda, alias dokar. Kami hanya
senyum sambil mengangkat tangan, yang menunjukkan penolakan. Tukang becak dan
ojek juga turut menawarkan diri. Kami tetap pada pendirian, ingin berjalan kaki
hingga ke Candi Prambanan. Jaraknya tidak begitu jauh, hitung-hitung sekalian
olahraga.
Saat membeli tiket masuk |
Kurang lebih 10 menit
berjalan, tibalah juga kami di pintu masuk komplek candi Prambanan. Sebagaimana
tempat wisata lainnya, di situ kami harus membeli karcis dulu. Petugas menawarkan
paket wisata yang tersedia. Bisa hanya mengunjungi candi Prambanan saja, atau
sekalian dengan berwisata ke Keraton Ratu Boko. Petugasnya mulai berpromosi
mengenai kelebihan dan kekurangan masing-masing paket. Di sana akan begini,
akan begitu, dan seterusnya. Setelah berpikir dan berunding, kami memutuskan
untuk membeli tiket paket lengkap tersebut. Tiap orang membayar Rp. 35.000.
Pemandangan Indah dari Bukit
Ratu Boko
Setelah mengantongi tiket,
kami masuk ke dalam komplek candi. Di sana tampak ramai, ratusan, bahkan
mungkin ribuan orang sudah mengerumuni sekitar candi Prambanan. Dari jauh
terlihat seperti semut yang mengerumuni gula. Bisa dimengerti, saat itu hari
libur dalam rangka perayaan hari raya Waisak.
Sebelum melihat candi
Prambanan lebih dekat, kami memilih berangkat ke bukit Ratu Boko terlebih
dahulu. Tidak jauh dari pintu masuk, sudah ada mobil khusus bagi tamu yang
membeli paket wisata lengkap. Mobil tersebut beroperasi secara bergantian tiap
15 menit PP (Pergi/pulang).
Bagian depan Keraton Ratu Boko (I). Tampak jelmaan tiga Ratu Boko(R). |
Oh ia, perlu saya
jelaskan, bukit Ratu Boko terpisah dengan komplek Candi Prambanan. Lumayan jauh,
makanya membutuhkan mobil agar bisa ke sana. Letaknya kira-kira 3 km di sebelah
selatan dan berada di atas bukit. Dalam bis selama perjalan ke sana, saya begitu
penasaran ingin segera melihat, seperti apa bentuk Ratu Boko tersebut.
Bagian depan Keraton Ratu Boko (II) |
Setiba di halaman masuk
Keraton Ratu Boko, kami melaksanakan ritual wajib, foto-foto. Setelah puas,
kami meneruskan perjalanan ke area utama. Kami harus menaiki tangga, cukup
banyak jumlahnya. Sebelum jalan, pada pintu gerbang terdapat petugas yang
melayani pemakaian sarung bagi pengunjung termasuk kami. Penggunaan sarung
tersebut sudah menjadi prosedur tetap (protap) bagi siapa pun yang ingin masuk.
Bagi saya, penggunaan sarung tersebut menambah keindahan saat difoto, unik dan
artistik. Saya lupa menanyakan maksud dan tujuan atau makna penggunaan sarung
tersebut. Tapi sudahlah, saya pikir itu tidak begitu penting untuk dibahas.
Petugas memasang sarung bagi setiap pengunjung |
Berpose setelah menggunakan sarung |
Selama perjalanan,
aktivitas paling banyak yang kami lakukan adalah foto-foto (memotret). Sesekali
kami langsung upload ke media sosial facebook. Dari atas puncak bukit,
terlihat pemandangan yang menakjubkan. Hamparan sawah yang menghijau dan
gugusan candi Prambanan yang cantik memanjakan mata. Pemandangan seperti itu
sangat cocok dijadikan latar belakang setiap kali memotret. Seluruh area wisata
tersebut kami sisiri hanya untuk berfoto ria.
Memasuki pintu gerbang komplek Ratu Boko |
Salah satu contoh pemandangan dari bukit Ratu Boko |
Teringat pelajaran IPS
(sejarah) saat SD
Setiap pengunjung Ratu
Boko tersebut, pasti memiliki alasan atau tujuan tersendiri yang memotivasi
untuk berkunjung. Bagi kami berempat, jujur saja, hanya sekedar jalan-jalan
sambil memotret. Itu saja. Terbukti, kaim tidak merasa tertarik bertanya atau
mencari informasi lebih lanjut mengenai sejarah atau seluk-beluk dari Keraton
Ratu Boko. Yang penting foto saja sudah puas.
Gerbang masuk komplek Ratu Boko |
Berbeda dengan yang
lainnya. Saya sempat memperhatikan satu kelompok remaja, perkiraannya, mungkin
masih SMA. Di beberapa titip mereka berkumpul melingkari seorang pemandu wisata
yang menjelaskan seluk-beluk Keraton Ratu-Boko. Mungkin mereka sedang melakukan
studi/belajar lapangan.
Gerbang komplek Ratu Boko |
Melihat itu, saya menjadi
iri. Saya teringat saat SD, dengan susah payah saya harus belajar (menguasai)
nama tempat, candi, kerajaan yang ada di Indonesia. Seingat saya, semua yang
dipelari berada di pulau Jawa. Kalau belajar secara langsung seperti yang
mereka lakukan tentunya sangat efektif, kemungkinan untuk lupa kecil sekali. Lantas,
saya kemudian berpikir, kenapa kami yang di NTT dulu tidak fokus saja belajar
tempat-tempat bersejarah yang berlokasi di NTT juga. Paling tidak lebih mudah
diketahui karena tidak begitu asing namanya di telinga. Dampaknya, hingga kini,
saya tidak begitu mengenal sejarah dari seluruh wilayah NTT. Padahal saya warga
asli dan hidup di sana. Ahh...sudahlah, saya tidak mau menyalahkan diri
sendiri, apalagi menyalahkan orang lain.
Beristirahat sejenak |
Setelah puas menikmati
indahnya panorama Ratu Boko, kami pun kembali ke komplek candi Prambanan. Namun,
karena ceritanya sudah agak panjang, saya cukupkan sampai di sini untuk seri
ketiga ini. Lain kesempatan akan saya lanjutkan. Salam Sejuta Mimpi.....
Catatan: Bisa juga dibaca di Kompasiana
0 Komentar