![]() |
Istri saya yang tetap kerja selama pandemi Corona |
Rasa kantuk seketika hilang ketika tadi malam, saat saya memastikan istri sudah sampai di tempat kerja yang mendapat giliran shift malam, ia hanya membalas dengan kiriman foto di bawah ini.
Foto yang
membuat sebagian kecantikannya tertutup. Saya akui, ia mempunyai mata yang
bening meneduhkan. Tapi, sebagaimana telaga, terasa kurang lengkap bila tidak
disokong dengan pemandangan lain di sekitarnya.
Di masa pagebluk
SARS-CoV-2 alias Corona seperti ini, gombalan pada paragraf dua di atas, tidak
mempan lagi untuk membuat pikiran lebih rileks. Foto dengan kostum seperti itu
lebih menunjukkan situasi sedang genting. Apalagi pasca NTT mengumumkan
beberapa kasus positif Covid-19, virus itu makin terasa dekat saja; sepertinya
bahaya sedang bertengger di ujung hidung.
***
Tanggal 15 Maret
2020, saya masih di Surabaya. Hari itu merupakan kali terakhir saya berjumpa
dengan teman-teman kuliah, sekaligus menghadiri sebuah acara akbar. Perawat
Jawa Timur menyelanggarakan kegiatan Edukasi Bantuan Hidup Dasar bagi kelompok
awam khusus. Kami ikut menyukseskannya, hingga berhasil menggondol rekor MURI
karena menghadirkan peserta terbanyak.
Keesokkan
harinya, kami sudah mendapat pemberitahuan dari kampus tentang kebijakan kuliah
dari rumah. Semua urusan perkuliahan dilaksanakan secara daring. Kami juga
disarankan untuk tetap tenang di Surabaya dulu, sebisa mungkin tidak pulang
kampung, supaya penyebaran wabah corona itu tidak makin meluas.
Saya tentu saja manut
dengan semua arahan baik itu, bahkan ikut mengampanyekan di akun medsos sendiri
supaya mahasiswa atau para perantau, "Jangan pulang kampung dulu."
Tidak berselang
lama setelah berkoar-koar seperti itu di medsos, istri saya menelepon,
panggilan video. Di dalam layar hp saya melihatnya bersama anak kami yang
sebentar lagi genap berusia 3 tahun, Gibran Suhardin.
Awalnya kami
berbicara hal umum saja, menanyakan kabar, dan apakah sudah makan atau belum?
Hingga akhirnya istri saya menyinggung hal ini setelah ia tahu semua
perkuliahan kami dialihkan secara daring, "Tidak berpikir untuk
pulang?"
"Saya
sayang kalian berdua, tidak tega kalau kepulangan itu nanti justru membawa
oleh-oleh virus."
Kami akhirnya
sama-sama berbesar hati, tunggu sampai ada perkembangan 1 atau 2 minggu ke
depan.
Meski memberi
jawaban yang terkesan tegar di hadapan istri dan anak, saya sebenarnya sangat
galau.
Mereka hanya
tinggal berdua di rumah kami yang mungil; di salah satu perumahan yang
berlokasi di pinggiran Kota Kupang. Ketika istri saya ke tempat kerja (perawat
di salah satu RS swasta), anak kami Gibran terpaksa ditinggal di rumah kerabat
kami yang lain.
Awalnya Gibran
kami masukan ke sebuah tempat pengasuhan anak-anak berskala rumahan. Ada
tetangga kami yang membuka usaha warung. Sembari ia menjagai warungnya, ia juga
menerima jasa mengasuh anak bagi orang tua yang sibuk bekerja.
Entah kenapa,
Gibran kurang betah di sana. Setiap kali mamanya mengantar ke sana sebelum
bekerja, selalu mengirim laporan ke saya, "Gibran tadi mengangis, tidak
mau lagi bermain di Oma." Pengasuhnya kami sudah biasa panggil dengan
sebutan Oma.
Saya makin tidak
tenang di tempat rantauan. Beruntung, ada kerabat kami yang lainnya, adek-adek
dari Manggarai yang sedang kuliah di Kupang. Rumah kontrakan mereka tidak
begitu jauh, dan Gibran begitu betah dan senang bermain bersama mereka. Saat
itu, Gibran lebih sering di sana. Saya sedikit lega dan berterima kasih pada
adek-adek yang baik hati itu.
Dua minggu
berlalu, pihak kampus mengeluarkan kebijakan baru kalau perkuliahan daring akan
diperpanjang hingga akhir semester.
Saya makin tidak
tenang. Apakah harus terus mendekam di Surabaya, sementara istri dan anak
dibiarkan sendiri? Kalau masa-masa tanpa ancaman corona seperti sebelumnya,
barangkali kami sama-sama kuat untuk berjauhan. Selama corona ini terus
mengancam, saya butuh dekat dengan mereka. Saya merasa imunitas tubuh lebih
baik bila berada dekat dengan mereka.
Setelah banyak
merenung, sebelum kepala benar-benar pecah karenanya, saya putuskan membeli
tiket pulang. Tanggal 30 Maret 2020, saya mengingkari anjuran tentang "Jangan
pulang kampung" itu.
Saat
bersiap-siap dari kos hingga ke Bandara Juanda, saya benar-benar praktikkan
prinsip pencegah corona. Saya pakai masker lapis dua. Bagian dalam masker bedah
(medis), kemudian dilapisi lagi dengan masker kain. Di ruang tunggu, saya lupa,
entah berapa kali saya keluar-masuk kamar mandi hanya untuk cuci tangan.
Saya tiba malam
hari di Bandara El Tari, Kupang. Sebelumnya istri mengabarkan kalau dirinya
masuk kerja malam dan Gibran berada di rumah kerabat kami tadi. Tidak ada yang
bisa mejemput di bandara.
Tiba di rumah,
saya mengikuti petunjuk istri yang disampaikan lewat WA. Ia sudah menyiapkan
air dan perlengakapan mandi di teras rumah. Saat itu sudah menjelang tengah
malam, suasana sudah sepi, saya mandi tanpa canggung. Semua pakaian yang saya
bawa langsung direndam dengan deterjen.
Setelah semuanya
terasa aman, barulah masuk ke dalam rumah. Saya berusaha tidur, tapi terasa
kurang nyenyak malam itu. Ada banyak hal yang mengganggu pikiran saya.
Esok paginya,
saat istri pulang kerja, ia hanya berteriak dari teras. Setelah saya berdiri di
pintu, ia meminta saya tidak maju lagi. Ia menjelaskan kalau saya harus berdiam
di rumah dulu, sedangkan ia bersama Gibran tinggal di rumah kerabat kami. Demi
kebaikan bersama, saya jalani aturan itu, meski tiap menjelang tidur malam
selalu merasa gelisah sendiri.
Setelah melewati
seminggu masa karantina mandiri, rasa gelisah tiap menjelang tidur malam itu
makin menjadi-jadi. Seperti orang yang mengalami gangguan jantung.
Saya akhirnya
menyampaikan ke istri mengenai masalah gangguan tidur yang tidak biasa itu.
Meski belum genap 2 minggu, dia akhirnya memutuskan untuk akhiri masa physical
distancing-nya. "Ayo kita pergi cek ke dokter," desaknya kemudian.
Kami pergi ke
tempat praktik dokter spesialis jantung. Hasil rekam jantung (EKG) disimpulkan
baik-baik saja. Meski begitu, dokternya menjelaskan kalau EKG belum cukup ampuh
untuk menilai keseluruhan fungsi jantung. Kami perlu menjalani pemeriksaan
lain-lain, kemudian disarankan ke sebuah pusat laboratorium.
Karena sudah
sore, kami langsung pulang saja. Mulai saat itu, kami tidak "jaga
jarak" lagi. Anehnya, rasa khawatir yang berlebihan seperti gangguan
jantung tadi, pelan-pelan hilang. Saya merasa lebih tenang ketika tinggal
bersama dalam rumah. Lebih rileks, apalagi sudah bisa bermain bersama Gibran.
Kekhawatiran
berikutnya adalah tentang menularkan corona. Jangan sampai, selama dari
Surabaya hingga Kupang, ada corona yang sudah bercokol dalam tubuh saya.
Saat itu, kabar
pasien 01 Covid-19 di NTT mulai merebak. Riwayat pasien tersebut baru saja
pulang dari Jawa. Saya makin khawatir, jangan sampai saya juga...?
Dua minggu
terlewati. Tingga minggu. Hingga saat menulis ini sudah lebih dari empat minggu
saya berada di Kupang. Saya sendiri tidak mengalami gejala yang menjurus ke
Covid-19. Kalaupun saya tergolong orang yang tanpa gejala, istri dan anak yang
sudah terpapar dengan saya selama kurang-lebih dua minggu juga tampak baik-baik
saja. Kesimpulan sendiri, saya tidak membawa virus saat pulang dari Surabaya
kemarin. Saya tidak bisa pastikan lewat hasil laboratorium, karena terbatas,
biarkan hanya untuk yang paling berisiko atau lebih membutuhkan saja.
***
Setelah saya
merasa tidak membawa virus dari Surabaya, kekhawatiran berikutnya bersumber
dari istri yang harus tetap aktif bekerja di rumah sakit.
Dia memang
bertugas di ruang bayi yang baru lahir (Neonatal Care), tapi yang namanya RS,
pasti menjadi pusat pertemuan banyak orang. RS juga dianggap sebagai pusat
sumber penyakit, makanya kalau tidak betul-betul mendesak, sebaiknya tidak usah
ke sana.
Banyak hasil
penelitian yang melaporkan kegelisahan perawat dan masyarakat umum selama wabah
corona ini berlangsung. Sebagian besar perawat merasa stres, tertekan dengan
beban kerja yang sangat berisiko menjadi buruk, lalu fatal.
Sebuah studi
lain menunjukkan hasil yang menarik. Ternyata setelah diurutkan tiap kelompok,
rasa khawatir perawat yang bertugas di ruang pasien Covid-19 tenyata lebib
rendah bila dibandingkan dengan perawat yang bertugas di ruangan lain dan masyarakat
umum.
Iya, perawat
yang sudah jelas bertugas melayani pasien Covid-19 tentunya sudah jelas apa
yang mesti dihindari. Mereka sudah disiapkan APD yang memadai. Selepas dinas,
mereka tidak pulang ke rumah, tapi beristirahat di penginapan yang nyaman.
Semua kebutuhan dasar disiapkan. Pemeriksaan rutin untuk mengecek apakah
tertular atau tidak, mudah diakses. Vitamin dan obat-obatan yang dibutuhkan
pasti terjamin. Kalau sampai sakit dan membutukan ventilator, pasti
diprioritaskan. Dan, tunjangan yang dijanjikan pemerintah lumayan memadai meski
tidak pernah sebanding dengan risikonya.
Berbeda dengan
perawat yang bertugas di ruang penyakit umum seperti istri saya. Ia berhadapan
dengan klien yang tampak baik-baik saja, bukan didiagnosis Covid-19. Tapi, apakah
mereka benar-benar bersih dari virus tersebut? Tidak ada yang tahu, entah kalau
Tuhan.
Karena
ketidakjelasan itulah, maka rasa khawatir itu terus terpupuk dalam pikiran.
Maka, mau tidak mau, saat ini semua esktra waspada sebelum-selama-setelah
bekerja.
Dari rumah,
istri saya mengenakan pakaian biasa. Itu anjuran dari tempatnya bekerja. Sampai
di RS, barulah ia mengganti dengan seragam dinas, kemudian ditambah APD (alat
pelindung diri) lengkap seperti yang terlihat dalam foto; sudah kayak astronot
yang mau ke bulan.
Setelah jam
dinas, APD itu dilepaskan di RS, kemudian ada petugas yang bertugas
mencuci/mensterilkannya lagi. Baju dinas dilepas, kemudian memaki baju biasa
yang dipakai dari rumah tadi.
Sampai di teras
rumah, saya yang bertugas menyemprot desinfektan di tangannya, kemudian lap
semua hp, kuncing motor, dompet, tas dan perkakas lain yang dibawanya.
Sementara itu, ia jalan lewat pintu dapur, langsung ke kamar mandi; mandi dan
langsung merendam semua seragam kerjanya.
Bila
dibandingkan dengan situasi sebelum corona, tentu saja saat ini makin terasa
merepotkan sekali. Saya kadang menaruh rasa kasihan, tersimpan rapat dalam
hati, bingung menyampaikan kepadanya secara langsung.
Apakah sebaiknya
dia berhenti kerja saja?
Akh, berat
sekali rasanya. Dia sudah bekerja kurang lebih setahun di RS tersebut. Ia
tampaknya sudah menikmati suasana kerja di sana. Hal itu bisa saya rasakan
lewat interaksinya bersama rekan kerja lewat HP, tampaknya sudah akrab sekali.
Kalau suasana itu tiba-tiba diakhiri, tentunya kurang baik juga.
Lagian, apa yang
dia kerjakan sangat mulia menurut saya. Ia sering bercerita bagaimana ia
merawat bayi-bayi yang masih tampak lemah itu. Mereka harus rutin diberi minum
ASI/susu, memperhatikan pernapasan mereka, mengganti popok, memandikan mereka
biar makin nyaman dan kadang perlu menusuk jarum infus di pembuluh darah mereka
yang masih kecil dan rapuh.
Kebahagiaan
mereka adalah ketika bayi-bayi itu dinyatakan boleh pulang sehingga bisa
menyatu lagi dengan ibu dan ayahnya.
Pekerjaan baik
dan mulia seperti itu, sangat sayang bila ditinggalkan begitu saja. Barangkali
Tuhan memakai istri saya untuk menjalani misi pelayanan bagi sesama manusia.
Dan, yang paling
penting, di balik omong kosong pada paragraf terakhir di atas, istri saya tetap
mesti bekerja supaya dapur kami terus megepul. Kalau ia tidak bekerja, terus
kami makan apa selama masa krisis seperti ini?
Pada akhirnya,
kekhawatiran kecil itu sirna dengan sendirinya ketika dihadapkan pada
kekhawatiran yang satu ini: khawatir tidak bisa makan apa-apa lagi.
Tuhan, kamu tahu
segalanya. Kami mohon, aturlah yang terbaik, Amin. Selamat hari minggu...
0 Komentar