Serial Story, Traveling in Jogja (Session Two: Public Transportation)



 Tulisan ini merupakan cerita lanjutan tentang pengalaman saat jalan-jalan ke Jogja beberapa minggu lalu. Sesi satu saya muat juga di sini (Kompasiana) kemarin, kalau Anda belum baca, silahkan klik di sini.

Kaliurang, 15 Mei 2014

Tanpa menggunakan alarm, pukul 05.00 saya sudah terjaga. Meski kuantitas tidur tidak begitu lama tapi secara kualitas sangat memuaskan. Penuh energi, gejolak dalam hati untuk mengeliling kota Jogja sudah sabaran.

Hal pertama yang dilakukan adalah mengecek sms atau panggilan di Hp. Ternyata ada pesan masuk dari Kak Caroline: “Saudara, bangun sudah dan segera siap. Jam 06.00 kita berangkat menuju Candi Prambanan”. Tanpa menunggu lama, saya beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Cuaca di daerah Kaliurang cukup dingin yang berpengaruh pada suhu air, memberi sensasi yang luar biasa. Bbbrrrr....., respon menggigil memberi kompensasi. Setelahnya, badan terasa segar.

Sebelum check-out  dari penginapan, tidak lupa saya menikmati paket sarapan yang sudah disiapkan. Suasana ruang makan yang terbuka, memungkinkan kita menikmati lingkungan sekitar yang begitu indah, rapi dan bersih. Cahaya matahari pagi yang menerpa kulit memberi kehangatan yang bersinkron dengan hangatnya kopi yang kuteguk perlahan-lahan. Nikmat !!!. 
Sedang sarapan di penginapan (Hotel Lido, Kaliurang-Jogja)

 Transportasi Publik di Jogja

Setelah semuanya beres, saya menuju ke kontrakan tempat ketiga teman menginap. Ternyata mereka juga sudah siap untuk jalan. Sebagaimana pada umumnya orang berpergian, pasti membutuhkan alat transportasi. Begitupun kami sebagai wisatawan domestik saat itu. 

Ada beberapa hal yang kami pertimbangkan dalam memilih jenis transportasi yang digunakan, terutamanya masalah biaya. Maklum, ini perjalanan mahasiswa rantau. Beruntung, jauh-jauh hari Kak Rizza sudah search di mbah google mengenai transportasi murah di Jogja. Ada transportasi publik yang murah, nyaman dan aman yaitu bis trans Jogja. Tapi, sialnya di wilayah Kaliurang bukan merupakan jalur yang dilewati bis tersebut. Dengan terpaksa, kami menggunakan taksi hingga halte bis terdekat dengan wilayah Kaliurang.
Tampak luar bis Trans-Jogja di salah satu halte

 Setiba di halte (saya lupa namanya), saya perhatikan betul detailnya. Bentuknya seperti rumah, ukurannya kecil  (lebar) mengikuti ukuran trotoar, dan agak lebih panjang. Ada petugas khusus yang berjaga di sana, menjual tiket, dan mengatur (memberi informasi) kepada penumpang mengenai jalur yang akan dilewati bis. Petugasnya ramah, dan berseragam rapi. Dari seragamnya kemudian saya paham, bus trans Jogja beserta haltenya dikelola langsung oleh Pemerintah daerah (Pemda).

Biaya tiket per orang memang ternyata murah, sangat terjangkau dengan ukuran kantong kami. Cuma mengeluarkan Rp. 3.000 sudah bisa kemana saja sesuai jalur yang dilewati bis. Jika kita berpindah jalur dan harus berganti dengan bis yang lain, harus membeli tiket lagi dengan harga yang sama. Tapi selama tidak berubah jalur, sejauh apapun, tetap dengan harga yang sama.
Tampak bagian dalam bis Trans-Jogja
 Sopir dan kondekturnya juga berseragam yang sama, terlihat rapi, dan profesional. Pelayanan yang diberikan, bagi saya, memuaskan. Suasana dalam bis juga cukup nyaman, harum, dan mempunyai pendingin udara (AC). Serasa lagi menikmati mobil lux pribadi. Tidak ada yang merokok, karena memang dilarang. Tersedia juga alat pemadam kebakaran ringan (portabel) atau biasa disingkat APAR. Pokoknya mantap.

Bis ini tidak berhenti di sembarang tempat, kecuali di halte. Itupun kalau ada penumpang yang hendak turun atau dari halte ada yang ingin menumpang. Waktu tunggu tidak begitu lama. Jalan/jalur yang dilewati juga khusus untuk bis (busway), meski kadang-kadang ada pula kedaraan umum lainnya yang menggunakan jalur tersebut. Secara umum jalur tersebut cukup lancar, tidak macet, sehingga bisa lebih cepat sampai tujuan.
Kak Fikka (tengah), Kak Rzza (kanan) dan seorang penumpang lain (kanan) dalam bis Trans-Jogja

Setelah menikmati perjalanan dengan bis trans-Jogja tersebut, saya kemudian memahami, mengapa begitu gencarnya Gubernur dan Wagub DKI Jakarta, Jokowi-Ahok dalam menyiapkan transportasi publik yang baik dengan menambah armada bis Transjakarta. Ternyata sangat nyaman, dan sangat membantu kelancaran mobilitas dari warga. Meski belum pernah menggunakan bus Transjakarta, tapi saya yakin sistem yang digunakan hampir sama dengan punyanya Jogja, bahkan mungkin lebih baik. Di Suarabaya, tempat saya kuliah belum ada sistem seperti itu. Apalagi di daerah saya NTT, belum ada sama sekali. Makanya, sejak itu baru saya tahu manfaatnya.
Saya (Saver) dan Kak Caroline dalam bis Trans-Jogja

Lamunan saya memikirkan/membandingkan sistem transpotasi yang ada di daerah NTT dengan Jogja, terbuyar saat bis berhenti di stasiun yang berlokasi dekat pasar Prambanan. Kami pun turun untuk meneruskan pernjalanan menuju Candi Roro Jonggrang atau biasa disebut Candi Prambanan.

Sekian dulu untuk sesi ini, kisah selanjutnya akan segera hadir di sini juga. Salam "Sejuta Mimpi". Tulisan ini bisa juga dibaca di blog Kompasiana.

Posting Komentar

0 Komentar