Bapak Emil Dardak, Wagub Jatim, ikut membagikan pengalamannya tentang perhumasan. |
Entah sudah berapa kali semasa sekolah hingga kuliah, saya dipercayakan sebagai seksi humas dalam sebuah organisasi atau kepanitiaan suatu kegiatan. Pada masa-masa awal, saya agak bingung dengan tugas yang harus dikerjakan.
Apa itu humas, saat itu menjadi pertanyaan yang bikin gemas, karena terdengar mudah tapi sebenarnya membingungkan.
“Apa itu humas?” saya akhirnya menanyakan pada seorang teman yang tampaknya agak amatiran juga dari saya. Mau bagaimana lagi, kalau saya tanyakan pada orang yang lebih pintar dan berpengalaman, malah saya yang merasa takut dicap bodoh.
“Ya, hubungan masyarakat, toh...,” teman saya menjawab dengan mantap.
“Apa tugas seksi humas itu?”
“Pokoknya berhubungan dengan masyarakat, toh...”
“Berhubungan yang bagaimana?
“Intinya ada hubungan. Berhubungan keluarga juga baik...hehehe”
Rupanya teman saya juga banyak yang tidak paham dengan tugas dan tanggung jawab sebagai humas. Pernah juga saya mendesak teman lain dengan pertanyaan serupa, apa sebenarnya tugas seksi humas itu?
“Tugasnya hanya pergi antar-antar surat saja,” demikian jawaban seorang teman yang mengaku diri telah lama berorganisasi.
“Hanya antar surat saja?” saya agak kurang percaya, nama sekeren itu kok hanya bertugas sebagai pengantar surat saja. Bikin gemas saja.
Hari, minggu, bulan, tahun berlalu. Selama itu, tiap kali dipercayakan sebagai seksi humas, hal yang dipikirkan hanya mengantar surat. Hingga pada usia 30 tahun, saya baru sadar ternyata anggapan itu sangat keliru. Ternyata humas ini sebuah profesi yang unik dan menjalankan tugas yang begitu banyak dan rumit, dengan sasaran utama meningkatkan reputasi institusi yang memperkerjakannya.
Kesimpulan itu saya dapatkan dari sebuah kegiatan perhumas (Perhimpunan Humas) perguruan tinggi negeri maupun swasta yang berada di daratan Jawa. Mereka berkumpul untuk saling berbagi pengalaman menjalankan tugas sebagai praktisi humas yang sudah diterapkan masing-masing kampus. Kebetulan mereka mengadakan acara di kampus Unair dan membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin berpatisipasi.
Saya iseng-iseng mendaftar, karena pada waktu pelaksanaannya, saya sedang tidak ada perkuliahan. Daripada hanya rebahan di kos-kosan, lebih baik ikut acara gratis di kampus. Prinsipnya, kalaupun nanti tidak mendapat pengetahuan apa-apa, minimal dapat snack atau makan gratis, hehehehe....
Rupanya apa yang saya dapatkan lebih dari itu. Saya akhirnya paham, tugas humas tidak kerdil dalam urusan mengantar surat semata. Ternyata tugas mereka sangat kompleks, yang pada intinya mengelola isu-isu dalam institusi sehingga makin bereputasi di mata publik.
Jika ada persoalan di kampus misalnya, apalagi yang mencoreng nama baik dan sudah diberitakan berbagai media massa, maka praktisi humas akan melakukan berbagai komunikasi untuk meluruskan kabar buruk tersebut. Humas akan mengomunikasikan seperti apa respons atau sikap kampus terhadap sebuah peristiwa.
Sebagai salah satu contoh dalam sesi berbagi pengalaman saat itu, seorang praktisi humas dari salah satu PTS di Surabaya menceritakan kalau mahasiswa mereka pernah merekam aksinya saat usil dengan kucing. Video yang viral di medsos itu ternyata memancing emosi kelompok pecinta binatang. Mereka mencari tahu siapa sosok di balik pelaku keji tersebut.
Begitu tahu pelakunya seorang mahasiswa dari kampus X, maka tidak lama berselang muncul berita di media daring, kemudian esoknya tampil di media cetak. Nama kampus tempat pelaku itu belajar tetulis sangat besar dalam judul berita. Peristiwa ini tentu saja merugikan pihak kampus, reputasinya akan tercoreng. Bila tidak direspons secara baik, maka bisa berdampak pada rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi tersebut.
Supaya tetap memberi kesan positif, praktisi humas kampus tersebut langsung merespons dengan menghubungi mahasiswa pelaku penyiksaan kucing tersebut. Setelah mengkajinya lebih mendalam, humas kampus memfasilitasi mahasiswa mereka untuk sampaikan permohonan maaf kepada publik, khususnya pecinta hewan peliharaan.
Masih banyak contoh lain dari tugas seorang humas yang saya dengarkan dari kegiatan tersebut. Ternyata tidak sesederhana mengantarkan surat saja, tapi lebih dari itu, merekalah yang mengomunikasi visi-misi sebuah institusi sehingga makin dikenal dan dikenang masyarakat umum.
Setelah mengikuti kegiatan tersebut, seperti biasa, saya mencoba buatkan liputannya. Hasilnya seperti di bawah ini. Saya sengaja memuatnya di sini tanpa perubahan sedikitpun, karena memang repotase ini belum saya terbitkan di manapun. Waktu itu masih kurang percaya diri, sehingga disimpan saja dalam arsip laptop. Daripada hanya memenuhi hardisk laptop, lebih baik saya bagikan buat Anda di blog ini.
***
Praktisi humas atau lebih dikenal PR (Public Relations) dari berbagai PTN dan PTS di Indonesia, kemarin hari Kamis (22/8) berkumpul di Ruang Amerta yang berlokasi di lantai 4 gedung manajemen Kampus C Unair Surabaya. Kehadiran mereka bertujuan mengikuti acara yang diberi nama “Sharing Session” dengan tema: Manajemen Reputasi, Krisis dan Public Relations Institusi Pendidikan di Era Disrupsi.
Dalam sambutannya, Bapak Suko Widodo yang menjabat sebagai Ketua Perhumas Surabaya sekaligus ketua penyelanggara acara, kembali mengingatkan hadirin akan pentingnya peran PR bagi perguruan tinggi. Beliau mengutip pernyataan Bill Gates yang berkaitan dengan dunia PR, yang kurang lebih mengatakan, “Jika uang saya hanya tersisa 2 Dollar saja, maka 1 Dollarnya akan saya berikan pada bidang humas.”
Sesi berbagi pengalaman itu menampilkan 2 narasumber, dengan karakteristik PT yang berbeda. Pertama mewakili PTN, Ibu Vinda Setianingrum, sebagai pengurus PR di kampus Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Kemudian dilanjutkan dengan cerita contoh praktik baik yang dilakukan di PTS, oleh Ibu Hayuning Dewi dari kampus Universitas Surabaya (Ubaya).
Keduanya masing-masing mengisahkan apa saja yang pernah lakukan selama ini, suka-dukanya, tantangannya, dan yang lebih penting bisa beradaptasi dengan perkembanan terkini. Bidang kehumasan termasuk salah satu yang mengalami disrupsi akibat perkembangan iptek yang pesat, sehingga tidak lagi bisa bekerja konvensional.
Acara selanjutnya berpindah ke kantor redaksi Jawa Pos, di Graha Pena Surabaya. Di sana ada sesi diskusi kedua yang bernama Ruang Ide, masih dengan tema yang sama tentang perhumasan PT.
Ada 4 narasumber yang sudah lama bergelut dalam bidang PR juga. Di antaranya ada Pak Emil Dardak, Wagub Jatim saat ini; Pak Heri Rakhmadi sebagai Wakil Ketua Umum Perhumas; Pak Suko Widodo sebagai Ketua Perhumas Surabaya; dan Pak Burham Bungin sebagai pakar PR yang menjabat sebagai dekan Fikom dan Bisnis Media Universitas Ciputra.
Sebelum masuk dunia politik, ternyata Pak Emil pernah bekerja dalam bidang PR juga. Mereka mengisahkan pengalaman kerja di bidang PR selama ini. Peserta sangat antusias mendengarkan, termasuk saat diskusi berlangsung. Informasi yang diperolah mungkin bisa dijadikan inspirasi untuk diterapkan di PT masing-masing.
Acara diakhiri dengan berkeliling ke dapur redaksi Jawa Pos. Hal itu sengaja dilakukan, sebab salah satu tugas PR adalah membangun hubungan baik dengan media massa.
0 Komentar