Jalan Pagi: Pepaya Mati


Jam 04.30 saya sudah bangun. Sejak saat itu saya memutuskan untuk #JalanPagi lagi. Tapi supaya tidak dianggap pencuri oleh tetangga karena terlalu pagi, saya isi waktu dengan memantau medsos.

Lini masa masih dipenuhi ungkapan duka atas meninggalnya salah satu sastrawan besar Indonesia, Eyang Sapardi Djoko Damono (SDD).

Meski tidak terlalu paham soal sastra, tapi saya cukup menikmati karya beliau, khususnya yang telah dijadikan lagu --orang menyebutnya dengan istilah musikalisasi puisi-- oleh Ari dan Reda. Anda bisa mengeceknya di Youtube.

Setelah tahu, saya pun menjajal beberapa karya beliau yang tersedia di aplikasi iPusnas. 

Saya membaca beberapa buku kumpulan puisi dan novelnya, kesannya terasa nyaman ketika membacanya. Saya suka dengan karyanya, termasuk dengan kepribadiannya yang terlihat tenang, rendah hati dan ramah.

Kalau melihat bagimana respons masyarakat Indonesia ketika beliau mangkat, khususnya para penulis yang mungkin pernah belajar dari karya-karyanya, kita bisa mudah menyimpulkan kalau Eyang SDD memang sosok yang sudah mengisi hati banyak orang, sebagaimana puisi-puisinya yang lekat dalam ingatan.

Aku ingin...

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak pernah diucapkan kayu kepada api, yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan, yang menjadikannya tiada.

Saya tulis ulang puisi pendeknya di atas tanpa perlu mencontek lagi dari sumber aslinya. Saya yakin, puisi itu juga selalu menggema dalam pikiran jutaan orang Indonesia.

Ketika melihat, lebih tepatnya membaca berbagai ungkapan belangsungkawa atau tulisan obituari tentang Eyang SDD, saya makin kagum dengan sosok hebat tersebut.

Kalau tidak salah,  beliau meninggal pada usia 80 tahun. Bagi saya, itu tergolong umur panjang juga. Selama masa hidup yang panjang itu, beliau telah menjadi "berarti" bagi orang lain.

Sebelum pergi selamanya, dia telah "berbuah" banyak. Karya-karyanya abadi. Tidak heran bila ada yang mengadaptasi syair puisinya menjadi: Yang fana adalah waktu, Sapardi abadi...

Iya memang abadi dalam pikiran jutaan orang Indonesia. Buah karyanya yang menjadikan ia abadi. Waktu terus berjalan, karya tetap ada, yang tentunya akan terus dinikmati oleh kita dan generasi mendatang. 

***

Eh, waktu sudah jam 05.30, saya membuka pintu, lalu duduk sebentar untuk memakai sepatu.

Belum sempat berdiri lagi, Gibran sudah berdiri di samping saya. Anak kami ini bangun terlalu pagi hari ini. Saya membujuknya untuk kembali tidur, ikut mamanya yang masih di kamar.

Tapi, kalau Gibran sudah mau ikut, tidak mungkin dihalangi lagi, kecuali kalau kita juga batal berangkat.

Gibran langsung naik di punggung, tangannya melingkar ke leher saya, kedua kakinya menggapit di pinggang. Berbagai upaya saya lakukan supaya dia mau turun, oh, dia tetap bergeming.

Saya terpaksa #JalanPagi  bersamanya. Dia tetap pada posisinya. Supaya lebih aman, kedua tangan saya arahkan ke belakang untuk menyokong bokongnya.

Saya ingatkan dia untuk memang erat, kemudian mulai berlari pelan saja. Kami melakukan itu sekitar 10 menit. Setelah matahari semakin menerangi pagi, dia mau turun dan duduk di teras rumah.

Gibran duduk sambil melihat saya mondar-mandir berlari. Saat itu, salah seorang tetangga kami keluar ke jalan juga. Kami saling menyapa, berbasa-basi sebentar. Mau tidak mau, saya berhenti sejenak dari #JalanPagi.

Saya pikir itu tidak akan lama, ternyata basa-basi itu merembet pada hal-hal lain yang kadang tidak punya batasan lagi.

Sampailah kami pada masalah pepaya di kompleks perumahan kami yang rata-rata mati sebelum menghasilkan buah atau bunga.

Iya, beda sekali dengan Eyang SDD yang banyak meninggalkan legacy sebelum pergi untuk selamanya. Pepaya kami, mengering begitu saja sebelum mencapai kematangannya sebagai pohon yang harusnya menghasilkan buah atau bunga.

Kenapa pepaya itu bisa mati? Berbagai analisa pun berdatangan. Seorang Oma yang tinggal di sisi rumah kami mengatakan kalau pepaya itu mati karena keseringan disiram. Siram dua hari sekali saja, jangan terlalu banyak dan jangan pakai air bekas cuci pakaian. Begitu saran beliau.

Ada lagi analisa lainnya, mulai menghubungkan dengan Corona dan bermacam-macam "cocokologi" lainnya. Tidak ada ahli pertanian yang menelaah masalah itu, sehingga yang ramai hanyalah gosip-gosip saja.

Gara-gara bicara soal pepaya, saya jadi ingat pohon pepaya yang pernah tumbuh di samping rumah.

Pohonnya tumbuh besar, tampak kokoh sekali. Tidak heran bila buahnya sarat. Batang daunnya unik, berwarna merah agak kehitam-hitaman.

Setiap orang lewat di depan rumah dan melihat pepaya itu, mereka sering memujinya, karena buahnya; karena warna batang daunnya.

"Pepaya seperti ini bisa jadi obat," kata seorang tetangga yang usianya paling senior di antara kami warga satu gang. Saya agak percaya, yang bicara orang tua na...

Hingga pada suatu siang, datanglah seorang bapak. Tubuhnya kurus, tampak kurang terurus. Bicaranya pelan sekali, itu membuat orang yang baru pertam kali melihatnya, langsung merasa kasihan.

Saya juga saat itu langsung menanyakan apa yang beliau butuh, karena di tangannya ada sebuah karung. Ternyata ia melihat pepaya kami yang berbuah lebat, dia ingin minta beberapa buah, "Untuk obat istri saya," begitu pengakuannya.

Saya langsung mengiyakan, tanpa perlu tanya ini-itu lagi. Tapi, setelah melihat bapak itu memetik hingga karung ukuran 50 kg itu penuh, saya mulai iseng bertanya.

"Istri bapak sakit apa?"

"Kencing darah..."

Saya mulai menganalisa, apa saja hal-hal yang bisa membuat seseorang kencing darah. Sebagai perawat, saya mulai membayangkan organ-organ sistem perkemihan dan sekitarnya.

"Pernah jatuh?"

Bapak itu menggeleng.

"Lalu, bagaimana awalnya..."

Bapak itu menjawab, tapi kurang jelas. Saya tidak tega menanyakan lebih lanjut. Meski dalam benak, saya agak susah menemukan hubungan bagaimana pepaya bisa menyembuhkan orang yang kencing darah.

Saat mau pamit, bapak itu mengambil sesuatu dari saku celana, ternyata sebuah kantung plastik.

Bapak itu membukanya. Setelah saya perhatikan ternyata isinya uang. Lantas dia bertanya, berapa harga pepaya satu karung itu?

Saya tentu saja menolaknya, "Bawa saja bapa, ko untuk orang sakit, kenapa harus pake beli."

Dia berterima kasih. Saya bilang, semoga istrinya lekas sembuh. Kemudian dia pergi.

Beberapa jam kemudian, saya pergi ke pasar Penfui. Saya melihat bapak itu berdiri di dekat salah satu stan di pasar, karung berisi pepaya tadi masih berdiri di sampingnya.

Saya biarkan saja, tapi kemudian bertanya-tanya, apakah rumah bapak itu di pasar? Jangan-jangan..., pepaya itu untuk dijual, bukan untuk pengobatan sebagaimana pengakuannya.

Ah...saya lekas menghapus dugaan buruk itu dalam kepala, sambil terus mendoakan, "Semoga istrinya lekas sembuh..., Amin."

Posting Komentar

0 Komentar