Kemiskinan dan Stunting


 
Kemiskinan dan Stunting
Ilustrasi Anak Bersama Orang Tua Rutin ke Posyandu (Dok. Pribadi)

Bila kita membaca hasil penelitian terkait masalah kesehatan di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan status nutrisi anak (stunting), salah satu faktor determinan yang selalu disebutkan adalah sosial ekonomi alias kemiskinan (Riyadi, dkk., 2006; Picauly & Toy, 2013; Ni’mah & Nadhiroh, 2015). Iya, keduanya selalu beriringan. Kondisi miskin, biasanya diikuti buruknya kondisi kesehatan (termasuk masalah nutrisi).
Penulis tidak menampik dengan banyaknya faktor determinan yang lain. Tapi, pada tulisan ini akan fokus pada cara sederhana agar anak tetap mendapatkan tumbuh kembang yang baik meskipun berasal dari keluarga pra-sejahtera. Selain itu, tulisan ini juga akan lebih banyak menyinggung kondisi di NTT, tempat di mana penulis mengamati fenomena ini.

Masalah Gizi dan Dampaknya
Sebagai salah satu daerah miskin, Provinsi NTT menjadi langganan berbagai masalah kesehatan, termasuk persoalan gizi yang buruk (stunting). Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilakukan Kementrian Kesehatan di seluruh Indonesia, NTT juara pertama untuk semua kategori. Pada kategori status gizi Balita umur 0-59 bulan berdasarkan indeks  BB/U (berat badan/umur), NTT mendapat persentasi tertinggi, dengan rincian sebagai berikut: gizi buruk 6,9%, sedangkan rata-rata nasional hanya 3,4% dan gizi kurang 21,3%, sedangkan rata-rata nasional hanya 14,4%. Khusus masalah stunting, NTT juga mendulang persentase tertinggi se-Indonesia. Kasus balita sangat pendek sebanyak 15% sedangkan rata-rata nasional hanya 8,5% dan balita pendek sebanyak 23,7%, sedangkan rata-rata nasional hanya 19% (Kemenkes RI, 2017).
Anak-anak dengan gangguan nutrisi stunting memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang lambat. Selain itu anak akan gampang sakit, bila sakitnya tidak ditangani dengan baik bisa juga berakibat fatal, menurunnya minat belajar, kemampuan koginitif yang rendah, dan pada ujungnya akan mempengaruhi produktivitas sebagai generasi bangsa. Salah satu penelitian yang dilakukan di Kupang dan Sumba Timur, NTT menunjukkan hasil:  Siswa yang stunting lebih banyak memiliki prestasi belajar yang kurang, sementara siswa yang non stunting lebih banyak memiliki prestasi belajar yang baik (Picauly & Toy, 2013).
Bila hal itu tidak ditangani dengan segera, maka ini akan menjadi ancaman yang berat bagi masa depan Indonesia. Sebagaimana kita pahami bersama, kemajuan suatu bangsa sangat bergantung pada sumber daya manusianya. Bila semakin banyak anak-anak yang mengalami stunting, maka semakin banyak pula angkatan kerja yang tidak produktif. Akibat selanjutnya, beban negara dalam membiayai kebutuhan dasar masyarakat makin besar. Itu artinya, kesempatan untuk meraih cita-cita generasi emas pada tahun 2045 agak sulit (bahkan mustahil) dicapai. Karena itu, langkah tegas memberantas stunting perlu segera dilakukan bersama-sama.

1000 Hari Pertama Kehidupan yang Menentukan
Sejauh ini, solusi terbaik untuk masalah stunting berserta dampak turunannya adalah dengan memperhatikan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) ananda. Seribu hari itu dihitung sejak terjadinya pembuahan dalam rahim seorang ibu, hingga ananda berusia 2 tahun. Rinciannya terdiri dari periode kehamilan selama 280 hari; periode 0-6 bulan selama 180 hari; dan periode 6-24 bulan selama 540 hari.
1000 HPK ini dianggap penting karena pertumbuhan dan perkembangan paling pesat terjadi selama masa kehamilan, kemudian dilanjutkan hingga usia 2 tahun. Bila selama periode ini mendapatkan dukungan nutrisi, pola asuh dan sanitasi yang baik, maka ananda dipastikan bertumbuh dan berkembang secara positif. Tapi, bila tidak optimal, maka upaya perbaikan setelah periode emas itu tidak akan mendapatkan hasil yang optimal juga. Untuk mengetahui ciri pemberian nutrisi pada tiap periode krusial di atas, Anda bisa melihat pada beberapa gambar berikut ini. (Hidayati, 2014).


Kemiskinan dan Stunting
Ciri Pemberian Nutrisi selama 1000 HPK (Hidayati, 2014)

Posyandu Adalah Kunci
Perhatian selama 1000 HPK ananda tidak hanya fokus masalah nutrisi, itu hanya salah satu saja. Dalam buku Pedoman Perencanaan Program Gerakan Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK) yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI pada tahun 2013, intervensi untuk 1000 HPK itu dipilah menjadi dua, yaitu: Intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
Intervensi spesifik, meliputi kegiatan sektor kesehatan, seperti imunisasi, PMT ibu hamil dan balita, monitoring pertumbuhan balita di Posyandu, suplemen tablet  besi-folat ibu hamil, promosi ASI Eksklusif, MP-ASI dan sebagainya. Sedangkan intervensi sensitif berisi kegiatan yang lebih umum, tapi dampaknya sensitif terhadap pertumbuhan dan perkembangan ananda selama 1000 HPK. Kegiatannya berupa penyediaan air bersih, sarana sanitasi, berbagai penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi, fortifikasi pangan, pendidikan dan KIE Gizi, pendidikan dan KIE Kesehatan, kesetaraan gender, dan lain-lain.
Bila kita memperhatikan semua kebutuhan dalam kedua intervensi tersebut, barangkali kita berpikir, semuanya membutuhkan biaya yang cukup besar. Matilah sudah kami yang miskin ini.
Sebaiknya kita tidak perlu terlalu pesimis seperti itu. Bagaimana pun juga, pemerintah berkewajiban bertanggung jawab dengan masalah kesehatan warganya. Seperti penegasan Direktur Umum WHO – Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus- saat perayaan Hari Kesehatan Sedunia (HKS) kali lalu, “Health is a human right. No one should get sick and die just because they are poor, or because they cannot access the health services they need.” (Kesehatan merupakan hak asasi. Tidak boleh seorang pun sakit dan meninggal hanya gara-gara mereka miskin, atau karena mereka tidak bisa mengekses pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan).
Sebagai bagian dari WHO, pemerintah RI tentunya menjalankan prinsip yang sama. Hingga saat ini kita sudah bisa menikmati fasilitas kesehatan dari tingkat dasar (Posyandu) hingga level yang lebih tinggi (RS rujukan).
            Kunci penanganan dan pencegahan kejadian gizi buruk ini sangat bergantung pada kemauan masyarakat untuk mendatangi fasilitas kesehatan yang ada. Hemat saya, bila ibu hamil atau orang tua yang memiliki bayi/balita, mau rutin ke posyandu yang berada dekat dengan pemukiman, masalah-masalah di atas bisa dikurangi secara drastis.
Di posyandu, ibu hamil atau bayi/balita akan dipantau perkembangannya. Bila ditemukan tanda-tanda yang tidak normal, sudah tentu petugasnya akan memberikan petunjuk yang tepat. Bila gangguannya lumayan berat, maka dirujuk ke tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Kalau masalahnya masih bisa diatasi di tingkat posyandu, tentunya langsung ditangani, misalnya kalau kurang gizi, bisa diberikan nutrisi tambahan seperti susu dan biskuit khusus.
Penelitian menunjukkan, salah satu faktor yang berhubungan dengan status gizi balita stunting adalah tingkat kehadiran di posyandu (Welasasih & Wirjatmadi, 2012). Selain itu, penting juga mengikuti petunjuk atau pesan-pesan yang disampaikan oleh tenaga kesehatan. Bila itu dilakukan dengan baik, niscaya persoalan gizi buruk/stunting bisa dikurangi lebih cepat. Jadi, status ekonomi yang miskin tidak berarti hilang harapan sama sekali. Kuncinya tetap aktif dalam hidup bermasyarakat (ikut Posyandu), dan mau mengikuti arahan petugas berwenang. 



Daftar Bacaan:

Hidayati, Nurul Laily. (2014). 100 Hari Emas Pertama dari Persiapan Kehamilan sampai Balita. Ed.I. Yogyakarta: Rapha Publishing.
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Hasil Pemantauan Gizi (HPG) tahun 2016. Diakses tanggal 15 Januari 2018, dari http://www.kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Buku-Saku-Hasil-PSG-2016_842.pdf
Ni’mah, Khoirun & Nadhiroh, R. Siti. “Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita.” Media Gizi Indonesia, Vol. 10, No. 1 Januari–Juni 2015: hlm. 13–19
Picauly, Intje & Toy, M. Sarci.  “Analisis Determinan dan Pengaruh Stunting Terhadap Prestasi Belajar Anak Sekolah di Kupang dan Sumba Timur, NTT.” Jurnal Gizi dan Pangan, Maret 2013, 8(1): 55—62.
Pemerintah Republik Indonesia. (2013). Pedoman Perencanaan Program Gerakan Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK). Diakses tanggal 2 Novermber 2018, dengan alamat: https://www.bappenas.go.id/files/5013/8848/0466/PEDOMAN_SUN_10_Sept_2013.pdf
Riyadi, Hadi., dkk. “Studi Tentang Status Gizi Pada Rumahtangga Miskin Dan Tidak Miskin.” Jurnal Gizi Indonesia, Vol. 1, Tahun 2006.
Welasasih, B. Dwi & Wirjatmadi, R. Bambang. “Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita Stunting,The Indonesian Journal of Public Health, Vol. 8, No. 3 Maret 2012: 99–104
WHO. (2018). Campaign essentials for World Health Day 2018. Diakses pada tanggal 5 Maret 2018 dari http://www.who.int/campaigns/world-health-day/2018/campaign-essentials/en/




Posting Komentar

0 Komentar