Jalan Pagi: Memikirkan Hak Anak


Kalau saja tidak ada perayaan Hari Anak Nasional (HAN) pada Kamis (23/07/2020) lalu, barangkali saya tidak banyak tahu tentang hak-hak anak.

Dari para aktivis yang rajin mengampanyekan informasi tentang HAN --termasuk dengan hak anak, saya akhirnya tahu jumlah hak anak itu ada sepuluh.

Saya bolak-balik membaca hak anak itu, kemudian membandingkan dengan apa yang telah kami buat pada Gibran; anak kami yang sudah berusia 3 tahun itu.

Setiap kali #JalanPagi seperti hari ini, saya kembali memikirkan, bisa tidak kami memenuhi semua hak itu secara konsisten?

Kita mulai dengan hak pertama dulu, hak untuk bermain. Bagian ini, secara umum memang tidak bermasalah. Lagian, pekerjaan orang tua apa yang dibantu anak seusia Gibran?

Kalau diminta bantu cuci piring misalnya, pasti nanti menyisakan bau sabun atau piring dan gelasnya disimpan dalam bentuk serpihan-serpihan saja.

Karena itu, selama usia balita ini, memang tepat baginya untuk  bermain saja. Hanya saja, selama masa pandemi Covid-19 ini, kami ada kekhawatiran ketika dia harus bermain dengan anak-anak lain di halaman rumah.

Ketika masa-masa awal anjuran #DirumahSaja, kami dan semua warga sekompleks perumahan memang kompak, semua anak tidak ada yang keluar rumah.

Makin ke sini, apalagi memasukan masa kenormalan baru, satu per satu anak-anak itu sudah dibiarkan bermain di halaman dan gang perumahan.

Gibran seringkali mengintip mereka dari balik jendela, kemudian merengek-merajuk-memohon untuk segera bukakan pintu. Dia juga ingin bebas bermain bersama kawan-kawannya.

Kalau sekadar memenuhi syarat bisa bermain, toh, saya juga bisa jadi teman bermainnya di dalam rumah. Berbagai jenis mainan yang dikirim tantanya, Inang Ellyn, tidak kurang dari segi jumlah dan jenisnya.

Tapi, anak-anak tetap lebih antusias bila teman mainnya berusia sepantaran. Sejago apapun kita bermain peran, sebanyak apapun mainan yang sudah kita beli, tetap tidak sebanding dengan nikmatnya kehadiran seorang teman sebaya.

Setelah mulai ada pelonggaran karantina mandiri, Gibran kami bebaskan untuk bermain dengan teman-temannya. Tapi, tetap ada batasan. Hanya boleh main sampai jam 10.00, kemudian wajib mandi.

Bila aturan itu dilanggar, maka hak bermain itu pun tidak akan kami penuhi lagi. Meskipun dia menangis keras dan panjang, kami biarkan saja. Dia harus sadar sejak dini, selain punya hak bermain, dia juga ada kewajiban mengikuti aturan.

Hak kedua yang sempat saya pikirkan ketika #JalanPagi adalah hak yang ke-9: Hak Rekreasi.

Saya pikir, dalam kegiatan bermain, sudah mengandung unsur rekreasi. Tapi, anggap saja pengertian rekreasi ini adalah mengunjungi tempat wisata, berarti saya juga jarang memenuhinya.

Sejak masa lockdown, Gibran punya permintaan sederhana saja, dia ingin bermain pasir di pantai.

Mamanya setuju, kemudian meminta pertimbangan saya. Sejujurnya saya malas jalan-jalan, maka pembatasan aktivitas akibat Covid-19 ini saya jadikan alasan ampuh.

Hingga kemarin, ketika berita Ikan Paus yang terdampar di Pantai  Nunhila, Kupang banyak beredar di medsos, tanpa sengaja Gibran juga ikut melihatnya.

Dia tampak antusias sekali. Kalau kami sedang pegang hp, permintaannya cuma satu: Lihat Ikan Paus.

Selama menonton itulah, dia kemudian meminta lagi untuk segera bermain di pantai.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Adek-adek mahasiswa dari Manggarai yang Gibran biasa memanggil mereka dengan sebutan manja: Om dan Tanta, mengajak kami sekeluarga untuk rekreasi ke pantai.

Ada Om Iren, Om Aris, Om, Apong, Tanta Mega, Tanta Terry, Saya, Mamanya Gibran, Gibran dan seorang teman saya dari Manggarai yang sedang ada urusan di Kupang: Om Gusty.

Kami memutuskan ke pantai yang berlokasi di daerah Noelbaki. Entah apa nama pantai itu, belum ada plang atau petunjuk apapun sebagaimana tempat wisata yang sudah resmi lainnya.

Lokasinya berada di belakang perkebunan warga. Jalan masuknya belum terurus; berbatu dan berdebu. Tempat parkir bisa di mana saja, disesuaikan dengan pohon yang memberi perlindungan dari terik matahari.

Warga setempat pun bebas membuka lapak jualan. Pendek kata, semuanya belum terurus dengan baik.

Meski begitu, tempat itu barangkali sudah dianugerahi Tuhan dengan bentuk yang unik, sehingga sangat memikat bagi banyak orang.

Munggu sore (26/07/2020) itu, kami bergembira di sana. Sialnya, kami berangkat agak telat, sehingga tidak bisa berlama-lama. Yah, paling tidak, kami bisa memenuhi satu lagi hak anak: Hak Rekreasi.

Bagaimana dengan hak lainnya? Wah, saya tidak berani mengatakan kalau hak-hak itu bisa saya penuhi semuanya. Berat.

Tapi, saya senang melihat banyak muda-mudi yang gencar megampanyekan hak-hak anak itu. Semoga mereka kelak, ketika sudah berkeluarga dan memiliki anak, bisa konsisten dengan materi kampanye sendiri. Semoga...


Posting Komentar

0 Komentar