Wijayakusuma: Merekah Memberi Arti, Kemudian Pergi*

Wijayakusuma: Merekah Memberi Arti, Kemudian Pergi
Bunga Wijayakusama buah karya Om Kanisisu Sarimin


Saya sedang terlelap ketika kakak saya menelepon pagi itu. Saya baru tersadar ketika getarannya hampir mati. Begitu saya cek, sudah ada dua panggilan yang saya lewatkan. Jam sudah menunjukan pukul satu dini hari lewat sekian menit, saya tidak begitu perhatikan terlalu jelas.

Saya mulai khawatir, sebab antara saya dan kakak, jarang sekali telepon. Apalagi waktunya sepagi itu. Artinya, ada sesuatu yang genting sedang terjadi.

Betul saja, begitu saya menelepon balik, dari seberang mengabarkan berita duka. Jauh dari bayangan saya sebelumnya, ternyata Om Kanis Sarimin mengalami kecelakaan sepeda motor. Saya tidak mungkin menanyakan detail kejadian saat itu, intinya menyebabkan salah satu orang yang kami sayangi itu pergi selamanya.

Selepas itu, saya tidak bisa tidur lagi. Saya memantau grup keluarga dan media sosial, khususnya FB. Saya melihat beberapa orang sudah mengabarkan juga. Ada video ketika jenazahnya tiba di Dempol. Terlihat sudah banyak menunggu, mereka menangis sejadi-jadinya. Saya makin sedih. Tidak sadar, mata saya ikut meleleh.

Selanjutnya saya hanya bisa merenung; mengenang kembali momen-momen bersamanya. Pagi itu hari Sabtu, biasanya saya #JalanPagi, tapi saya batalkan. Begitu pula hari Minggunya. Bahkan saya berusaha puasa menulis atau mengunggah sesuatu di medsos. Ini saya lakukan sebagai bentuk hormat saya kepadanya, dan cuma ini saja yang bisa saya lakukan.

Kemarin hari Rabu (6/10) merupakan hari ketiga setelah beliau dimakamkan, dalam budaya orang Manggarai, ada acara adat yang namanya: Saung Ta'a. Sekalian ada misa/ibadah juga. Acaranya ini pada intinya mengingat orang-orang yang ditinggalkan agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Tidak ada yang mudah memang, apalagi ini kehilangan orang yang kami cintai. Tapi, kami juga percaya semua terjadi atas rencana Tuhan, karenanya kami harus belajar mengiklaskan kepergiannya.

Hari ini saya menulis lagi di FB, langsung mengisahkan beberapa potong kenangan bersama Alm. Om Kanis.

Dulu sekali, saya masih kanak-kanak. Setelah Oma Katarina Bubur (Buet) meninggal dunia, Om Kanis memutuskan pulang kampung. Tinggal di Dempol, biar bisa menemani Opa Pue.

Kalau saya pikirkan saat ini, keputusan yang Om Kanis lakukan dulu merupakan hal yang luar biasa.

Saya bercermin pada pengalaman sendiri. Saat ini ketika baru berapa tahun merantau, mulai ada perasaan ingin pulang kampung, biar dekat dengan orang tua. Tapi, semuanya tidak mudah lagi. Maju resah, mundur salah.

Saya selalu kagum dengan orang yang berani memutuskan pulang kampung setelah sekian lama menikmati zona nyaman di rantauan.

Selama tinggal di kampung, saya selalu mengamati apa yang beliau lakukan. Ada dua saja yang akan saya tuliskan hari ini.

Pertama, saya mengamati Om Kanis mempunyai jiwa seni dan daya kreativitas lebih dari orang pada umumnya.

Saya berani simpulkan begitu, karena saya sering melihat beliau memanfaatkan barang-barang bekas menjadi lebih bermanfaat.

Misalnya, sendal Swallow yang sudah putus, beliau potong-potong, membentuk huruf yang indah dan ditempelkan di dinding. Bahkan potongan sendal yang kecil-kecil itu, dia menatanya hingga membentuk sketsa wajah yang artistik.

Begitu pula ban mobil bekas, berubah jadi pot bunga. Tiap kali perayaan Natal dan Tahun Baru, di Pa'ang Dempol jadi gemerlap oleh lampu kelap-kelip dengan ornamen dari bahan-bahan yang ada di sekitar rumah.

Masih banyak contoh lainnya, tapi saya kira apa yang saya tulis di atas sudah cukup mewakili.

Kedua, jauh sebelum gerakan literasi berjamur seperti saat ini di NTT, Om Kanis sudah pernah menginisiasi perpustakaan warga di Dempol.

Setahu saya, koleksi bukunya dibawa dari Jakarta, kota tempat rantauannya dulu. Mungkin sebagian besar diambil dari koleksi buku milik kakaknya, Om Frans.

Koleksi bukunya saat itu lumayan banyak, tersusun rapi di rak yang ditempat dekat ruang tamu. Tetanggga bisa datang membaca atau meminjam buku.

Ada kebiasaan yang menurut saya sangat bagus. Setiap kali ada orang yang mengembalikan buku, biasanya diajak ngobrol dulu sambil minum kopi. Saat itu lah, Om Kanis akan mengorek informasi tentang apa isi buku yang dibaca tamu itu. Mereka berdiskusi makin seru, saya menikmati dan mengamati dari jauh.

Ketika saya pikirkan lagi saat ini, mestinya Om saya itu yang pantas diberi penghargaan dalam bidang literasi di kampung. Dan beliau sudah melakukan itu sejak lama.

Itu dua hal yang paling berkesan bagi saya. Masih banyak sebenarnya, mungkin akan ditambah pada catatan lain.

Selain dua hal baik itu, saya sebenarnya punya rasa takut dengan Om Kanis. Hal ini terjadi, mungkin karena pengondisian saat masa kanak-kanak dulu.

Biar mudah memahami apa yang saya sebutkan "pengondisian" itu, langsung saya berikan contoh saja.

Saat berlibur ke rumah Opa Pue di Dempol, saat itu lah saya bertemu dengan Om Kanis. Di Dempol, banyak sekali yang membuat saya betah.

Tapi sialnya, tidak semua yang saya inginkan itu dipenuhi. Padahal sudah tersedia di dekat rumah.

Saat saya mulai melirik buah rambutan yang ranum menggelantung di depan rumah, ada saja yang memberi peringatan, "Jangan petik dulu, nanti Om Kanis marah."

Saat saya menatap toples permen di kios sambil menelan ludah berulang-ulang, ada saja yang memberi peringatan, "Jangan curi permen ya, nanti Om Kanis marah."

Saat saya berpindah ke samping rumah dekat pohon mangga, ada lagi suara yang lain, "Jangan dulu petik mangganya, nanti Om Kanis marah."

Begitu seterusnya, berlaku pada jambu, salak, jeruk, pisang, dll. Karena diulang-ulang, sebagai anak kecil saya percaya kalau Om Kanis itu suka marah.

Hal itu membuat saya sangat hati-hati sekali berbuat sesuatu. Saya harus memikirkan berulang-ulang sebelum bertindak.

Apakah yang dibicarakan orang-orang terdekat itu benar?

Tidak sama sekali. Saya ingat betul, tidak pernah sekali pun Om Kanis memukul atau mencubit saya. Bentak pun jarang.

Saya memang terlanjur menganggap beliau itu agak menakutkan. Tampangnya memang bengis, apalagi kalau tidak tersenyum dan kumisnya sengaja dilepas. Padahal hatinya sangat lembut. Apalagi dengan anak-anak.

Lalu, mungkin Anda penasaran, apakah saya tidak jadi mengutil setelah ditakut-takuti dengan embel-embel "Om Kanis"?

Oh, masa anak nakal manut saja. Sepandainya mereka memantau, tentu ada juga saat lengahnya. Saya tetap memetik diam-diam apa yang ingi saya makan. Meski masih diliputi rasa takut, saya tetap yakin, orang-orang di rumah tidak mungkin marah benaran dengan saya.

Oh iya, saya menyertakan tulisan ini dengan foto bunga Wijayakusuma. Foto ini dikirim oleh Om Kanis dalam WA grup keluarga sejak lama. Saya masih menyimpannya.

Bunga ini menjadi bukti lain, bahwa salah satu kesenangan beliau saat waktu luang adalah menanam. Persis seperti ayahnya, Opa Pue.

Saya kagum dengan bunga ini, hanya sekali mekar dalam hidupnya, kemudian menyusut layu.

Saya menganggap kehadiran Om Kanis dalam dunia ini seperti Wijayakusuma. Dia mekar memberi warna dan keindahan bagi sekitar. Memang tidak abadi, tapi pasti akan dikenang. Setelah itu dia pergi, tapi kisahnya masih tertinggal abadi dalam benak orang-orang.

Saya pun jadi teringat dengan sepenggal puisi entah karangan siapa, "Hidup ini cuma sekali, jadilah berarti..."

 (*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 31 Oktober 2019)

 


Posting Komentar

0 Komentar