Tu'i*

Tu'i
Gambar sekadar pemanis, meski kurang sesuai dengan tulisannya


Supaya Anda tidak lama menyimpan tanya, kata tu'i dalam bahasa Manggarai artinya kebiri.

Awal pekan, selama dua hari berturut-turut saya mengikuti berita tentang hukuman kebiri yang akan diberikan kepala pelaku kejahatan seksual pada anak.

Ketika membaca kata "kebiri" di judul berita, saya langsung membayangkan proses "tu'i" babi dulu di kampung. Selama hidup hingga setua ini, saya pernah sekali menyaksikan langsung proses tu'i pada babi.

Suatu masa ketika saya masih SD, kami memelihara beberapa ekor babi. Salah satunya berjenis kelamin laki-laki.

Menurut mama Sin sebagai penanggung jawab utama urusan babi di keluarga kami, babi laki-laki muda itu harus dikebiri alias tu'i.

Waktu itu, sebagai anak-anak yang masil polos, tentu saja saya ingin tahu.

"Kenapa harus tu'i ini babi, Mama?"

"Biar dia bisa gemuk," begitu saja jawaban singkatnya.

Saya belum puas, lalu langsung bertanya sama bapak yang kami percayakan sebagai petugas kebiri.

Beliau adalah orang yang lumayan tua di kampung kami, punya jam terbang tinggi dalam hal tu'i babi.

Ahli tu'i itu menjawab pelan ke saya, "Kalau babi ini tidak ditu'i, maka dia akan kawin terus bila dekat babi betina. Kalau dia kawin terus, maka akan susah untuk gemuk."

Saya manggut-manggut, berusaha untuk memahaminya.

Sebelum proses tu'i dimulai, bapak yang bertugas menyiapkan satu ramuan. Campuran antara daun susang (maaf, saya belum tahu bahasa latin daun itu) dan ta'i batrei (kalau ini adalah serbuk hitam dalam batrei ABC).

"Itu untuk apa nanti?"

"Supaya lukanya cepat kering."

Proses tu'i dimulai. Saya ikut ambil bagian memegang kaki babi, tentu saja bersama dengan orang dewasa lainnya, hingga babi muda itu tidak bisa berkutik lagi.

Petugas tu'i mencabut parang dari sarungnya, lalu membelah dua biji zakar babi itu. Babi menjerit, melengking bukan main. Setelah kantung zakar terbelah, dua biji itu dipotong, lalu buang ke tanah. Anjing yang sedari tadi duduk di dekat situ, langsung menjepit kedua biji itu dalam mulutnya, lalu berlari kencang.

Rongga bekas buah zakar tadi, kemudian dimasukkan ramuan penyembuh luka tadi. Babi itu makin menjerit saja. Setelah selesai, babinya dilepaskan. Puji Tuhan, meski tanpa zakar, babinya tetap hidup.

Itulah bayangan yang ada dalam benak saya ketika membaca ada hukuman kebiri yang akan diberlakukan pada seorang napi kejahatan seksual dengan korban anak-anak (pedofil).

Setelah membaca berita lengkapnya, ternyata tidak sekejam proses tu'i babi tadi. Pelaku yang diketahui bernama M. Aris dan tinggal di Mojokerto itu, -bila eksekusi kebiri itu benar dilaksanakan- hanya akan disuntik beberapa obat yang berefek terjadinya penurunan kadar hormon testoteron dalam tubuhnya. Mereka menyebutnya dengan nama: Kebiri kimia.

Meski buah zakar pelaku kejahatan itu nantinya masih menggantung pada tempatnya, tapi secara fungsional tidak berguna lagi. Kita semua tahu, tanpa hormon testoteron, maka laki-laki akan kehilangan ciri kelaki-lakiannya. Salah satunya tidak bisa ereksi, alias burung tidak bisa berdiri.

Meski hukuman kebiri itu terkesan agak lunak (bandingkan bila seperti tu'i babi tadi), tetap saja tidak mudah dilakukan.

Seorang dokter spesialis andrologi Indonesia, dr. Wimpie Pangkahila dalam wawancaranya dengan wartawan Jawa Pos mengatakan, lebih baik dipenjara seumur hidup saja dari pada dikebiri.

Etik profesi kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya sama-sama tidak membenarkan hal tersebut. Kalau tujuannya untuk pengobatan dan atas dasar persetujuan pasien, barulah boleh dilakukan. Kalau dilakukan secara paksa, itu bertentangan dengan nilai etik dan sumpah profesi.

Selain itu, masih menurut dr. Wimpie, kalau misalnya pasca hukuman kurungan telah usai, bisa saja si pelaku mencari pengobatan ke dokter lain yang belum mengenal latar belakangnya. Dia bisa diberi obat lagi untuk menaikkan testoteronnya. Kemugkinan untuk melakukan ulang kejahatan yang sama, masih berpeluang besar.

Makanya supaya aman, lebih baik dikurung seumur hidup saja.

M. Aris yang akan menerima hukuman kebiri untuk pertama kalinya di Indonesia itu tentu saja menolak.

"Lebih baik saya ditembak mati saja. Percuma hidup kalau itunya (burung/penis) mati," begitu kurang lebih jawabannya ketika diwawancara wartawan Jawa Pos.

Dari hasil wawancara itu, ada satu jawaban yang membuat saya berpikir lebih baik dia di-tu'i saja.

Wartawan bertanya, "Bagaimana perasaan kamu setelah melakukan tindakan cabul pada anak?"

Jawabannya singkat dan terkesan enteng sekali, "Kesel..."

Perlu diketahui, kesel itu bukan plesetan dari kata kesal yang artinya jengkel.

Kesel itu bahasa daerah yang artinya: lelah atau letih.

 (*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 29 Agustus 2019)


 


Posting Komentar

0 Komentar