Foto bersama Pater Venty setelah misa perutusan ke tanah misi, di Brazil |
Mungkin karena
keseringan membaca berbagai teori psikologi, saya punya kesenangan mengamati
dua hal.
Pertama, bila
bertemu dengan orang yang saya anggap sukses meraih impiannya, maka saya punya
kecenderungan untuk ingin mengetahui bagaimana dia melewati masa kecilnya.
Kedua, bila saya
mengamati kehidupan seorang anak yang kelihatannya bahagia, saya selalu
berharap diberi umur panjang oleh Tuhan, biar bisa mengetahui perkembangan masa
dewasa anak tersebut.
Beberapa teori
psikologi yang pernah saya ikuti, disebutkan kalau pengalaman seseorang saat
masa kecil atau masa kanak-kanaknya, sangat berpengaruh besar dalam pembentukan
karakternya ketika sudah remaja atau dewasa.
***
Seorang teman
baik saya sewaktu SD, hari ini resmi dithabis menjadi imam katolik. Kalau
sebelumnya kami menyapanya dengan sebutan "Bro" atau bahkan diselipi kata
makian seperti ketika masih kanak-kanak dulu, kini sudah berubah. Kami tentu
saja akan meyapanya lebih lengkap dan penuh hormat, Pater Aventinus Serundi,
SVD.
Mau tahu seperti
apa masa kecilnya?
Sebelumnya saya
mohon izin sekaligus mohon maaf kepada keluarga besar P. Venti, cerita ringkas
ini tidak bermaksud menganggap diri paling tahu tentang beliau. Saya mungkin
hanya menilai pada sisi yang kecilnya saja, tidak komprehensif. Bagaimana pun
juga, orang tua dan keluarga dekat lah yang paling tahu.
Sebagai teman
sekolah sekaligus teman bermain, saya mengenal Venti kecil sebagai sosok yang
cerdas, rajin, sekaligus baik hati.
Dia menerima
pelajaran di sekolah dengan sangat baik. Sepulang sekolah, dia jarang
berleha-leha sebagaimana anak-anak pada umumnya yang senangnya bermain. Dia
banyak membantu pekerjaan orang tua di rumah.
Kehidupan kami
di kampung saat itu, anak-anak memang diharapkan terlibat bekerja hal-hal
ringan dalam keluarga. Misalnya mencuri piring dan alat dapur, menimba air,
mencari kayu bakar, mencari makanan babi, menggembalakan sapi atau kerbau,
menjagai adik, dan masih banyak lagi.
Secara umum,
orang-orang di kampung saat itu mengakui kerajinan Venti kecil dalam
mengerjakan tugas-tugas domestik tersebut. Termasuk mama saya di rumah.
Celakanya, mama
saya seringkali membandingkan kerajinan Venti kecil demi membuat saya ikutan
rajin juga.
Misalnya kalau
saya lalai mengerjakan tugas di rumah, maka pasti ada embel-embel seperti
ini..., "Coba kamu lihat anak-anak lain, Venti misalnya, dia rajin bantu
orang tuanya kalau pulang sekolah."
Sepintas, cara
nasehat seperti itu lumayan efektif. Saya terpaksa rajin, biar tidak dianggap
rendah dari sahabat sendiri.
Padahal, apapun
alasannya, membandingkan anak-anak itu cukup menyakitkan. Tapi, mau bilang apa lagi.
Semua ada hikmahnya.
***
Selain
kecerdasan dan keuletannya, saya juga ingin mengenang Venti kecil yang
mempunyai kegemaran memerangkap puyuh.
Dia menyiapkan
semua bahan dan alatnya dari lingkungan sekitar, tidak harus membeli ke pasar.
Tali yang digunakan
untuk menjerat burung puyuh, biasanya dibuat dari tali rafia yang dibuang
orang.
Kalau dia
melihat ada tali rafia, maka buru-buru dia mengambilnya. Dia duduk bersila,
kemudian menarik sedikit celana pendek warna merah anak SD ke atas, lalu mulai
memilin tadi rafia itu di atas pahanya sendiri. Biar proses pemintalannya
lancar dan tidak menimbulkan lecet di pahat, dia acap kali meludahi tangannya.
Kalau talinya
sudah cukup, maka selanjutnya dia akan mencari di mana tempat yang biasa
dilewati puyuh.
Saya memang
jarang ikut bersamanya dalam urusan ini, tapi tiap tidak ada pelajaran di
kelas, salah satu topik yang sering diceritakannya adalah tentang cara
memerangkap puyuh.
Berdasarkan
ceritanya, kami sangat yakin dia memang cukup ahli pada bidang itu. Dia mendeskripsikan
dengan baik bagaimana ciri-ciri tempat yang biasa dilewati puyuh.
Dia bercerita,
ada dua teknik memerangkap puyuh. Ada istilah khususnya, tapi saat ini saya
sudah lupa.
Intinya begini.
Tekni pertama, puyuh akan terjerat tali, tapi tidak sampai mencekik dengan kuat
pada lehernya. Teknik kedua, bila puyuhnya terjerat, maka burung sial itu
tergantung di tiang yang lebih tinggi dari tanah. Talinya akan semakin menyekik
leher, sehingga puyuhnya cenderung cepat mati.
Venti juga
menceritakan bagaimana cara memancing burung puyuh itu mendekati perangkap yang
sudah dipasangnya. Termasuk bila ada yang berhasil ditangkap, dia juga pandai
menjelaskan bagaimana mengolah dagingnya supaya menjadi santapan yang lezat.
Berhubung hari
ini dia dithabis menjadi imam katolik, saya menemukan ada kemiripan kisah masa
kecilnya di atas dengan kisah dalam Alkitab, khususnya tentang Yesus yang
memanggil murid-murid yang pertama.
Dalam injil
Matius 4: 18-20, dikisahkan bagaimana Simon yang disebut Petrus dan Andreas
saudaranya dipanggil Yesus. Saat itu keduanya sedang asyik menjala ikan di
danau, lalu Yesus datang mengajak, "Mari ikutilah Aku, dan kamu akan
Kujadikan penjala manusia."
Bagi saya, kisah
injil itu mempunyai kemiripan dengan kisah Venti kecil. Pada mulanya, para
murid panggilan Tuhan itu sama-sama berburu hewan. Petrus dan Andreas mencari
ikan, sedangkan Venti kecil menjerat puyuh.
Saya kemudian
berimajinasi, jangan sampai ketika Venti kecil dulu sedang asyik memerangkap
puyuh, dia mendengar ada "panggilan khusus" dari Yesus untuk
meneruskan pewartaan Injil di dunia.
Mungkin saja
Venti kecil mendengar panggilan itu seperti ini, "Cukup sudah kamu
memerangkap puyuh, dan bersiaplah untuk 'memerangkap' manusia yang masih di
luar jalur, biar kembali pada jalan yang benar."
Cerita ini tentu
saja hanya imajinasi saya. Rahasia panggilan hidup Pater Venti tentunya sangat
unik, dan cuma dia dan Tuhan sendiri lah yang paling tahu.
Akhirnya saya
mengucapkan sekali lagi, proficiat Bro Pater Venti atas penthabisan imamat hari
ini. Sebagai teman semasa kecil, saya turut dan bangga. Paling tidak, dari
sekian banyak yang berharap jadi romo dulu, ada satu juga yang berhasil.
Memang benar itu
sabda, "Banyak yang dipanggil, sedikit yang dipilih....."
0 Komentar