Gibran Suhardin sedang membaca atau sekada melihat halaman buku |
Setelah rutin ikuti setiap cerita Spongebob di TV bersama Gibran, saya akhirnya sadar, setiap hari ada satu atau dua kisah yang sama; sudah diputar pada hari sebelumnya. Meski begitu, di antara kisah yang diputar ulang itu, tetap ada segmen lain dengan cerita baru, sehingga anak-anak seusia Gibran tidak mungkin menyadari taktik produser televisi tersebut.
Hingga saat ini, saya tidak bisa menghitung entah sudah
berapa cerita yang diperankan warga Bikini Bottom itu. Dari sekian banyaknya,
ada satu segmen yang lumayan membekas dalam ingatan saya.
Suatu hari, Spongebob mengajak sahabatnya Patrick membaca
buku di perpustakaan. Patrick sempat bingung pada awalnya dan tanpa beban
bertanya, "Apa itu membaca?"
Spongebob dengan sabar mengarahkan sahabat yang
berkarakter, --mohon maaf-- agak bodoh dan tidak berperasaan itu untuk latihan
membaca.
Sebagaimana film kartun pada umumnya, kejaiban selalu
terjadi, Patrick dapat mempelajari hal baru itu secepat kilat. Matanya menyapu
semua huruf yang ada di setiap buku, bahkan sebagian besar hurufnya tersedot
sendiri masuk ke rongga mata. Makin banyak buku yang dibaca, volume kepala
Patrick makin membesar. Hingga semua koleksi buku itu selesai dibaca, ukuran
kepala Patrick berlipat-lipat dari perut yang biasanya lebih besar.
Spongebob yang melihat peristiwa tidak biasa itu
tersenyum kagum. Dia memuji kawan baiknya itu.
Tapi, masalah mulai muncul ketika Spongebob mengajak
Patrik bermain di luar ruangan buku. Kepala Patrick, saking besarnya, tidak
bisa lolos melewati pintu rumah. Spongebob berulang kali berjuang menarik tubuh
tetangganya itu dengan mengerahkan seluruh tenaga, tapi kepalanya tetap tidak
bisa melewati pintu.
Spongebob bingung, berusaha mencari ide. Sudah ketemu
rupanya, dia tersenyum pada Patrick, dan memintanya duduk di kursi depan TV.
Dia menyalakan TV, kemudian membiarkan Patrick menonton.
Patrick tentu saja bahagia sekali, menonton adalah
kesenangannya tiap hari. Dia tidak pernah mematikan tv di rumahnya, takut
ketinggalan banyak acara. Dia tertawa sendiri di depan TV, asyik menikmati
tayangan di layar kaca.
Oh, semakin lama dia menonton, volume otaknya yang
direpresentasikan dengan ukuran kepala terlihat makin menyusut. Setelah
menonton agak lama, kepala Patrick kembali ke bentuk normal: kecil dan agak
lonjong. Mustahil otak bisa berkembang dalam ruang sempit seperti itu. Patrick
kembali seperti semula, sudah tau volume kepalanya kecil, dia juga malas
menggunakan otaknya untuk berpikir.
***
Sepotong kisah itu membuat saya teringat akan nasihat
para pegiat literasi selama ini, mereka sering menganjurkan untuk
sering-seringlah membaca buku dibandingkan dengan menonton TV. "Bila
perlu, jualah tv di rumahmu, beli banyak buku saja," kira-kira begitulah
anjuran mereka.
Ada juga yang pernah mengatakan begini, budaya literasi
kita lebih lamban dari negara maju lain. Hal itu terjadi karena kita lebih
dahulu dininabobokan dengan budaya menonton, baru kemudian pelan-pelan
dibiasakan dengan kegiatan baca-tulis dan gerakan literasi lainnya. Dampaknya,
kita malas berpikir kritis. Lebih mudah terbawa emosi dengan sinetron daripada
menganalisis peristiwa atau kebijakan yang berkaitan dengan kualitas hidup
sehari-hari.
Anggap saja tayangan Spongebob dan pendapat para pegiat
literasi tentang berbahayanya kebiasaan menonton, --apalagi tidak diimbangi
dengan kebiasaan membaca-- itu benar, lalu bagaimana nasib Gibran yang setiap
bangun tidur, nonton adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya? Apakah
sebaiknya TV di rumah segera dilelang?
Wah, dilema betul. Sebagai bagian dari bentuk antisipasi,
kami mulai menerapkan aturan sederhana di rumah. Setelah tayangan Spongebob
berakhir, kami wajib belajar bersama.
Bentuk belajarnya beragam. Kami belajar mengenal beraneka
binatang, sayur, dan buah lewat poster yang banyak dijual di toko buku.
Kemudian pelan-pelan belajar membaca atau menyanyi abjad A-Z, belajar mengenal
angka 0-9. Kami juga membacakan cerita atau mengajak Gibran bernyanyi bersama.
Saya senang, Mamanya Anyk Astuty lumayan rajin
berperan sebagai guru di rumah. Saya lebih banyak menjalani peran sebagai
pengawas saja, memberi anjuran penting dan mengoreksi kalau ada yang keliru.
Saat memantau aktivitas belajar ibu dan anak itu, saya
temukan hal aneh. Mungkin Gibran terinspirasi dengan Patrick, belum apa-apa
belajar mengenal abjad, dia buru-buru membuka buku, kemudian berlagak seperti
sudah melek huruf saja.
"Gibran, kamu buat apa?"
"Belajar..."
"Hmmm...sok
sekali..."
0 Komentar