Jika kita mendengar berita dari TV, radio, media cetak, media online,
maupun sekedar diskusi di tempat-tempat umum, mungkin sering terdengar orang
berkata tahun 2014 sebagai tahun politik bagi bangsa Indonesia. Memang
begitulah adanya. Tahun ini, kita akan memilih kembali waki-wakil rakyat yang
akan duduk di kursi DPR, DPD, sekaligus Presiden sebagai pemimpin bangsa ini
dalam waktu 5 tahun yang akan datang.
Menyongsong
peristiwa politik ini, maka bermunculan berbagai diskusi politik di berbagai
media. Ada yang membahas pemimpin lama yang dinilai gagal sebelumnya,
dimanifestasikan munculnya kasus KKN dan buruknya penanganan masalah
kesejahteraan rakyat. Adapula yang membahas munculnya figur baru yang mendadak
ingin menjadi presiden. Bermacam-macam isu politik, ramai dibicarakan. Entah
itu di kampus lewat berbagai seminar, media massa, dan tempat-tempat umum.
Dampaknya,
semua orang memiliki krieria masing-masing dalam menentukan kriteria pemimpin
yang ideal dan visioner. Mereka punya bayangan tersendiri, bagaimana sebaiknya
kalau menjadi pemimpin. Subyektif tentunya.
Pemimpin Ideal dan Visioner
Saya
akan membeberkan beberapa pendapat dari beberapa literatur yang ada, mengenai
pemimpin ideal dan visioner. Sebenarnya tipe-tipe pemimpin ada berbagai macam.
Dwiwibawa dan Riyanto (2008), dalam buku yang berjudul; Siap Jadi
Pemimpin ?: Latihan Kepemimpinan Dasar, menyebutkan bahwa, dari hasil riset
dan evidence based practice, tipe pemimpin yang ideal dan disukai
oleh banyak orang adalah tipe demokratik[1].
Secara leksikal, demokratik berarti berciri demokrasi. Demokrasi inilah yang
menjadi jiwa atau roh sistem pemerintahan bangsa Indonesia saat ini. Demokrasi
berarti, bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta
memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat; gagasan atau
pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan
yang sama bagi semua warga negara (KBBI).
Dari
uraian tersebut, pemimpin demokratik hendaknya mengedapkan prinsip demokrasi.
Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang mampu melibat seluruh orang yang
dipimpinnya, entah itu melalui wakil-wakilnya yang duduk di DPR dan DPD atau
secara langsung blusukan untuk mendengarkan keinginan rakyat,
serta mengarahkan rakyat yang dipimpinnya dalam mengikuti strategi yang telah
dikonsepsi bersama. Hal tersebut senada dengan Dwiwibawa dan Riyanto (2008)
yang lebih lanjut menjelaskan: “Seorang demokratik biasanya memandang
peran dan tugasnya selaku koordinator dan integritor yang mempunyai tugas
mengkoordinasikan seluruh anggota organisasi dan menyatukan atau menggabungkan
seluruh komponen organisasi”[2]. Itulah
makanya sistem demokrasi, atau seorang yang demokratik paling banyak disukai
dan diimplementasi di berbagai negara.
Lalu,
bagaimana dengan pemimpin visioner ? Visioner itu sendiri artinya orang yang
memiliki khayalan atau wawasan ke depan (KBBI). Sebuah artikel dalam website
Dunamis: Organization Services menuliskan: “PemimpinYang Visioner memiliki
visi yang jelas, baik terhadap dirinya sendiri sebagai seorang pemimpin,
terhadap keluarganya, tim atau organisasi yang dipimpinnya. Visi tersebut
dituangkan dalam pernyataan misi merupakan keputusan utama yang melandasi
keputusan-keputusan lainnya”[3].
Bagi
bangsa Indonesia, umumnya menyepakati Bapak Presiden R.I pertama Ir. Soekarno,
sebagai founding father bangsa, merupakan contoh konkrit
pemimpin visioner yang pernah ada. Beliau memiliki cita-cita kemerdekaan, dan
mampu menggerakkan seuruh bangsa dalam mewujudkan mimpi tersebut. selain itu,
cita-cita bangsa tersebut masih dilanjutkan oleh pemimpin yang akan datang.
Pemimpin
yang visioner harus cerdas dan kritis, yang ditunjukkan dengan kreativitas,
intuisi, pertimbangan subyektif atau kebijaksanaan yang istimewa[4].
Kemampuan seperti itulah yang memungkinkan seorang pemimpin mampu mewujudkan
visi yang jelas, terukur, dapat dicapai, rasional, dan memiliki batas waktu
pencapaiannya.
Aktualisasi Peran Mahasiswa
Berbicara
tentang mahasiswa, ada beberapa “gelar” atau sebutan dialamatkan padanya. Ada
yang bilang sebagai kaum intelektual, dan agen pembaharu (agent of change),
dan masih banyak lagi. Penulis mencoba melihat dari kedua “gelar” tersebut
dalam menerangkan perannya dalam membangun pemimpin yang ideal dan visioner.
Sebagai
kaum intelektual, mahasiswa memiliki tanggung jawab yang besar. Priyono (2010),
mendeskripsikan kata intelektual berasal dari kata interlegos, yang
berarti sosok intelek yang memiliki tiga bangunan kuat yang membawahinya
sebagai seorang yang cerdas. Ketiga bangunan tersebut adalah paham dengan
mendalam; prihatin dengan sepenuh hati; dan tergerak ingin memperbaikinya[5].
Dalam
kaitannya dengan pemimpin, mahasiswa sebagai kaum intelektual harus paham
dengan mendalam mengenai kepemimpinan, beserta hal terkait lainnya. Paham
secara mendalam dapat diperoleh bila mahasiswa mau belajar. Khusus pada
fakultas keperawatan, terdapat mata kuliah manajemen keperawatan. Mata kuliah
tersebut mengulas mengenai kepemimpinan sebagai salah satu topiknya. Hal ini
dikarenakan perawat pada dasarnya adalah seorang pemimpin, dimana selalu manage setiap
kebutuhan pasien selama di rumah sakit. Selain itu, ada pula kegiatan
ekstrakurikuler berupa pelatihan kepemimpinan (LKMM) baik di kampus maupun
ekstra kampus.
Setelah
memahami secara mendalam, mahasiswa sebagai kaum intelektual akan melihat
realitas kepemimpinan yang ada. Dari hal yang kecil, misalnya kepemimpinan
dalam kelas, kepemimpinan dalam ormawa fakultas, fakultas, universitas, daerah
tempat tinggal, negara, bahkan hingga level internasional. Dengan pemahaman
yang telah dimiliki tadi, mahasiswa akan mengetahui adanya masalah. Dan masalah
tersebutlah yang buat mahasiswa prihatin dengan sepenuh hati, lalu mencari
solusi terbaik berlandaskan riset (evidence based practice). Rasa
prihatin dengan sepenuh hati itulah yang memunculkan kegelisahan, dan tergerak
ingin memperbaikinya. Itulah ciri mahasiswa sebagai kaum intelektual yang
sebenarnya.
Sebagai
agen pembaharu (agent of change), mahasiswa melanjutkan proses perbaikan
yang dilakukan pada tahap sebelumnya. Di sini, mahasiswa akan memperkenalkan
atau mengapikasikan hasil temuannya (memperbaharui metode lama), yang terbukti
lebih efektif dan efisien. Kritisi metode kepemimpinan yang sedang berjalan
pada organisasi maupun kepemimpinan bangsa, apabila dinilai tidak membawa
perubahan yang baik. Mahasiswa juga mempunyai tanggung jawab dalam menyebarkan
informasi tentang metode kepemimpinan tersebut, sehingga masyarakat tercerahkan.Mengakhiri
tulisan ini, saya mengutip penyataan Prof.Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons), yang
menyatakan:“Keberhasilan perubahan tergantung dari strategi yang diterapkan
oleh agen pembaru. Hal yang paling penting adalah HARUS MEMULAINYA. Mulai dari
diri sendiri, mulai dari hal-hal yang kecil, dan mulai sekarang, jangan menunda[6]”.
Sumber Bacaan:
Dwiwibawa F. Rudy, & Riyanto, Theo. (2008). Siap Jadi Pemimpin
?: Latihan Kepemimpinan Dasar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. P. 16
Haryanto. (2010). Pengembangan Kesadaran Kritis dalam Pembelajaran
untuk Mewujudkan Pemimpin Visioner. In: Icemal. Dari http://eprints.uny.ac.id/616/, diakses 14 Maret 2014.
Priyono, Herien. (2010). Mind Writing. Yogyakarta: Leutika. P.
35
Nursalam. (2013). Manajemen keperawatan: Aplikasi dalam praktik
keperawatan profesional. Ed.3. Jakarta: Salemba Medika. Hal. 11-12.
[1] Dwiwibawa F. Rudy, & Riyanto, Theo.
(2008). Siap Jadi Pemimpin ?: Latihan Kepemimpinan Dasar. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius. P. 16
[2] Ibid
[4]Haryanto. (2010). Pengembangan Kesadaran Kritis dalam Pembelajaran
untuk Mewujudkan Pemimpin Visioner. In: Icemal. Dari http://eprints.uny.ac.id/616/,
diakses 14 Maret 2014.
[6]Nursalam. (2013). Manajemen keperawatan: Aplikasi dalam praktik keperawatan
profesional. Ed.3. Jakarta: Salemba Medika. Hal. 11-12.
0 Komentar