![]() |
Bermain tembak-tembakan bersama Gibran Suhardin |
Dua puluh empat
Desember, saya belum bisa memastikan bisa pulang libur atau tidak. Di luar
sedang mendung. Hampir tiap hari turun hujan yang dibarengi ancaman guntur dan
kilat. Di medsos, orang sedang ramai membagi sebuah video pesawat yang
mengalami keretakan kaca depan, kemudian pecah dan hampir saja pesawat itu
mampus bersama ratusan penumpangnya (Tapi ketenangan pilotnya membuat mereka
tetap bisa mendarat darurat dengan selamat). Di Traveloka, harga tiket sudah
tidak masuk akal kenaikannya. Saldo di ATM makin sekarat. Kiriman uang dari
tempat kerja belum ada kepastian.
"Sayang,
belum pulang libur Natal juga? Sekolah macam apa itu sampai tidak ada libur
Natal-nya?" Istri saya bertanya, banyak sekali omelan lainnya.
"Bapa,
tembak-tembak...," Gibran Suhardin,
anak kami yang berusia 2,5 tahun itu ikut menyahut lewat vidoe percakapan WA.
Ibunya
menjelaskan kalau dia sedang mengharapkan hadiah pistol. Saya mengiyakan saja
waktu itu, meski belum jelas saya jadi pulang atau tidak.
Kabar belum
pastinya saya bisa pulang libur atau tidak ini akhirnya sampai juga kepada
orang terdekat yang menjadi donatur utama sepanjang saya mengalami kesulitan.
Begitu mereka
tahu saya sedang mengalami Desember yang depresi, berbagai pertolongan yang
memudahkan hadir dalam sekejab. Saya memutuskan pulang tanggal 26 Desember.
Setelah sudah
pasti pulang, Gibran dan Mamanya semakin rutin menelepon.
"Kami titip
ini-itu."
"Kalau
bisa, tambah yang sana juga."
Gibran tetap
konsisten dengan tuntutannya, "Bapa, tembak-tembak..."
"Aeh, tidak
baik itu. Beli kue saja, e?"
"Tembak-tembak..."
"Mau buat
apa itu?"
"Tembak
cetan...," maksudnya setan.
"Tidak ada
setan!"
"Ada..., di
luar," wajahnya begitu serius di layar hp, sepertinya memang dia butuh
mainan pistol-pistolan.
Saya pergi ke
sebuah mall di Surabaya. Dari sekian banyak gerai di sana, cuma ada satu yang
jual mainan anak-anak. Karena tanpa saingan, mereka menjual dengan harga yang
menurut saya semaunya saja. Mereka mau kaya mendadak sepertinya.
Sejak siang
hingga malam, saya berkeliling di setiap sudut mall itu sampai capai, pistol
buat Gibran yang pas dari segi bentuk, fungsi dan harga belum juga ketemu.
Malam hari
tanggal 25 Desember, setelah mengucapkan selamat dan doa-doa baik Hari Natal,
saya coba menegosiasi lagi dengan Gibran.
Saya tetap
mengimingi dia dengan kue bronis cokelat saja, sebab itu enak dan mengenyangkan
perut.
Rupanya dia
tetap kukuh.
"Iban mau
jadi plisi, Bapa," maksudnya polisi.
"Aeh, untuk
apa?"
"Tangkap
jahat," maksudnya penjahat.
Waduh, entah
anak saya itu sudah menonton film atau video apa, sampai dia begitu keras
kepala dengan kemauannya.
Gara-gara pistol
itu, saya terbawa kenangan kembali ke masa kecil dulu di kampung. Ketika SD,
saya pernah menginginkan punya pistol. Biasalah, setelah menonton film laga di
TV yang selalu memamerkan pistol, saya juga kepingin ikutan main, meski yang
imitasinya saja.
Saya pernah
minta sama orang tua ketika ke pasar. Oh, mereka tentu saja marah. Sebagai anak
yang bertumbuh di kampung, saya hampir tidak punya mainan ketika masa kecil yang
dibeli di toko. Semua mainan biasa kami buat dari bahan bekas seperti sendal
yang sudah putus, bekas botol, bambu, kayu, dll.
Meski orang tua
melarang keras untuk membeli pistol saat itu, saya tetap nekat, meski harus
berbuat dosa. Kebetulan kami punya kios, dan uang di laci sering tidak
dikontrol. Maka saya ambilkan sesuai harga pistol.
Setelah berhasil
beli, saya pun harus memainkan pistol itu agak jauh dari rumah. Sebab kelau
mereka lihat ada mainan baru, pasti akan ditanya macam-macam.
Setelah merenungi
nasib masa kecil yang kurang mengenakkan itu, saya merasa berdosa sekali kalau
saat ini tetap tidak meloloskan keinginan Gibran untuk bermain tembak-tembak.
Saya memilih
penerbangan siang pada 26 Desember. Pagi harinya saya masih bisa mencari toko
mainan lain yang agak terjangkau.
Puji Tuhan,
ternyata ada. Saya langsung membeli 3 pistol dengan fungsi yang berbeda. Satu
pistol air; satu pistol yang memiliki peluru seperti lidi tapi ujungnya
dilapisi karet pengaman; satu pistol yang ketika pelatuknya ditekan, maka
ujungnya menyala berwarna merah dan mengeluarkan suara: "Fire, fire, shoot
the gun...dor, dor, dor..."
Saya pulang
dengan tenang. Ketika hendak naik ke pesawat di Bandara Juanda, saya mengirim
pesan ke Istri, minta mereka jemput saya pukul 14.30 waktu setempat.
"Jangan
lupa ajak dengan dengan Gibran. Jam 14.30," saya mengulanginya lagi.
Saya mematikan
HP ketika sudah ada jawaban iya dari mereka. Tenang. Lega. Akhirnya bisa pulang
melepaskan kangen dengan keluarga kecil saya di Kupang.
Begitu tiba di
Bandara Eltari Kupang, saya langsung masuk ke toilet. Saya membuka tas, mencari
pistol warna putih yang bisa mengeluarkan suara tadi. Setelah dicoba sebentar,
saya selipkan di pinggang, seperti aktor film laga.
Ketika mendekati
pintu keluar, satu tangan saya mememang gangang pistol yang bersembunyi di
balik baju. Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling, sasaran negatif.
Wah, mana si
Gibran ini? Padahal saya mau langsung menembakinya dengan pistol dambaannya
sendiri.
Saya periksa
lagi, tetap tetap. Saya menelepon mamanya. Dari seberang saya mendengar kabar
yang sangat menjengkelkan, "Oh, sayang sudah sampai? Ini kami kami mau ke
bandar sudah."
Saya mematikan
hp tanpa permisi. Sudah hampir jam 15.00, saya duduk lemas di sebuah bangku.
Saya ambil
pistol dari pinggang, ujungnya saya letakkan ke pelipis, kemudian jari tulunjuk
saya tempatkan di depan pelatuk.
"Fire,
fire, fire...., shoot the gun..., dorr, dorr, dorr.."
Saya tergeletak
lemah di kursi bandara yang panjang.
(*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 25 Januari 2020)
0 Komentar