Strategi BPIP Mengikis Rasialisme

Strategi BPIP Mengikis Rasialisme
Bery M
Pengamat Isu Sosial

Orang harus belajar untuk membenci dan jika mereka bisa belajar membenci, mereka juga bisa di ajarkan untuk mencintai orang lain, karena cinta lebih natural di hati manusia daripada kebencian. (Nelson Mandela)

Sangat ironis memang, negara yang identik dengan “ American Dream,” saat ini justru ribut dan mengalami kerusuhan besar akibat isu rasial. Jadi, bisa kita bayangkan, betapa konyolnya negara raksasa Amerika Serikat justru saat sekarang mengalami kerusuhan besar di tengah ganasnya pandemi Covid-19 akibat peristiwa yang berawal dari  kota Minnesota. Ganasnya pandemi membunuh manusia, kalah hebat dengan isu rasis. Itulah manusia, jika tersinggung harga dirinya, semuanya pasti dilawan, sekalipun bahaya nyawa mengancam, apalagi dikangkangi para provokator, kompletlah sudah isu rasial semakin membara.

Padahal kita tahu, negara Paman Sam adalah sebuah negara yang terbuka bagi siapa saja yang bekerja keras mewujudkan impiannya. Di negara ini, setiap orang berhak mewujudkan impian tanpa pandang kelas, bahkan semakin sahih ketika belum lama ini naiknya seorang presiden, yang justru berkulit hitam. Saat terpilihnya presiden Obama, sebagai presiden pertama dari kelas minoritas, banyak negara lain memuji dan menjadikan negara polisi dunia tersebut sebuah representasi pemerintahan demokratis. Tapi, sekarang, boleh jadi, bangsa Amerika kembali harus membangun kepingan reputasi dan merebut kepercayaan dunia agar tetap dianggap negara paling demokratis.

Publik negara kita saat ini tengah ramai pula menghujat kerusuhan di negara yang di pimpin Trump tersebut, tanpa menyadari tingkah laku rasis publik kita sesungguhnya juga masih hadir dalam ruang privat, tersembunyi namun masih terdengar gaungnya, ibarat seperti api dalam sekam, menunggu tangan-tangan gelap yang memicu api hingga bisa membakar masyarakat.

Sebut saja, peristiwa hangat yang terjadi belum lama ini di Jogkarta yaitu penolakan indekos mahasiswa yang berasal dari Papua. Atau yang lebih baru lagi, terkait penolakan tenaga kerja Tiongkok di Sulawesi Tenggara. Riak-riak rasial masih belum musnah dari kedangkalan berpikir publik.

Jika kita membuka kamus bahasa Indonesia pengertian pertama rasialisme adalah prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda.

Kedua, paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul. Bangsa kita merupakan salah satu bangsa yang rentan terpecah-belah karena memiliki suku 1340 (BPS, 2010). Jika ini dibiarkan terus tanpa adanya upaya sistematis dan serius dari pemerintah dalam menjembatani perbedaan budaya, bukan tidak mungkin, kita tinggal menunggu bom waktu meledak, dan berakibat fatal bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa di masa depan.

Bila kita mundur kebelakang merunut sejarah bangsa, sesungguhnya para pendiri bangsa telah awas akan potensi perpecahan sesama anak bangsa yang memiliki ribuan etnis, karena itu dengan cermat dan bijaksana pendiri bangsa telah sepakat menjembatani perbedaan mencolok yang terangkum dalam ideologi Pancasila.

Hanya saja dibutuhkan cara-cara baru dan progresif dalam menerapkan di tengah masyarakat, khususnya generasi muda yang saat ini jumlahnya sangat gigantis yang disebabkan fenomena bonus demografi sehingga menciptakan struktur demografi usia produktif kaum muda berusia 15 hingga 34 tahun berjumlah sekitar 90 hingga 100 juta jiwa. Kaum muda yang sering di label agent of change, akan tergelincir jatuh dan mudah terprovokasi isu rasialisme, jika tidak memiliki pemahaman komprehensif tentang bagaimana sejarah kolektivitas anak bangsa merebut kemerdekaan dari berbagai daerah dan suku berbeda.

Tugas berat tersebut sekarang berada pada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang belum lama ini dibentuk oleh pemerintah. Lembaga tersebut sangat krusial dan merupakan langkah jitu mempersatukan anak bangsa, apalagi mencermati terorisme dan radikalisme yang banyak memakan korban dan rentan mendorong kerusuhan massal. Hasil riset memaparkan, peristiwa tersebut memang banyak bermula karena pemahaman kerdil kemanusiaan dan provokasi rasial.

Pemerintah melalui lembaga BPIP harus serius berupaya mengedukasi masyarakat dengan wajib melibatkan generasi muda berkaca pada ledakan bonus demografi yang segera akan mengalami puncaknya di Indonesia pada tahun 2030, dimana struktur generasi muda semakin signifikan dan lebih dari separuh dari populasi Indonesia yaitu sekitar 190 juta jiwa dari sekitar 300 juta jiwa adalah usia produktif  berusia 15 hingga 64 tahun. Ledakan generasi tersebut membutuhkan stabilitas politik, dunia kerja dan aktualisasi diri.

Mendorong lahirnya kreatifitas dan inovasi dalam bentuk konten-konten dan gerakan positif yang di sebarkan luaskan melalui platform media sosial yang digandrungi kaum muda agar karakter rasis terkikis bahkan musnah dalam alam pikiran kaum muda tanpa terkesan menggurui. Jangan sampai, BPIP hanya sekedar menelurkan kurikulum atau  seminar semata yang cenderung tidak aplikatif yang terasa rigid bagi kaum muda.

Estafet transformasi bangsa berada di pundak generasi muda. Sudah saatnya pula kaum muda menyadari peran besarnya di masa depan. Kaum muda perlu secara sadar memahami Pancasila, khususnya sila Persatuan Indonesia sehingga menjauhkan diri dari sifat rasial dengan aksi produktif dan relevan seperti menghargai dan mengapresiasi budaya daerah lain dengan mengekspresikannya dalam bentuk konten musik, tulisan, video ataupun turut berpartisipasi memakai model busana daerah, nyanyian daerah pada perayaan tertentu. Harapannya, terjadi akulturasi budaya yang unik dan perlahan-lahan mengikis sifat inferior dan menumbuhkan karakter setara sesama anak bangsa.

Keterlibatan & aksi berupa kegiatan yang membangun semangat kolektivitas (persatuan) dengan cara-cara menarik tersebut, boleh jadi bangsa kita optimis, mampu melunturkan rasisme di tengah kaum muda dan lambat laun justru semakin mencintai keberagaman Nusantara dan menyadari ternyata banyak kebaikan, keindahan bahkan keseruan di balik perbedaan bukan malah sebuah ancaman ataupun persaingan mana yang paling sempurna.

Sudah saatnya, pemahaman filosofi Pancasila sebaiknya digerakkan bukan sekedar berasal dari upacara bendera, teks buku dan cara-cara konvensional, tapi mengikuti perubahan zaman dengan tidak kehilangan hakikat pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Bung Karno pernah berpesan pada sebuah kesempatan: “ Jika rukun, kita kuat.“  Mudah-mudahan, dengan modal persatuan anak bangsa, karakter rasis mampu kita kikis sampai habis sehingga visi pemerintah tahun 2045 menjadikan bangsa kita berdiri sejajar dalam percaturan geopolitik, ekonomi, teknologi, pendidikan, dapat terealisasikan. Semoga belum terlambat. Ad astra per aspera. Menuju bintang dengan kerja keras.

 ***

Tulisan di atas merupakan sumbangan pemikiran dari "Sahabat Pena" saya, Bung Bery M dari Medan (Klik pada namanya untuk terhubungan dengan akun FB-nya). Semua bermula dari percakapan di Facebook. Saat saya membagikan postingan baru dari blog ini di FB, Bung Bery memberi respons positif, kemudian komunikasi baik pun berjalan. Kami saling berkenalan. Meski singkat, tapi langsung cocok karena sama-sama punya hobi menulis. Pertemanan itu pun berlanjut dengan saling berbagi tulisan seperti ini. Dan mulai hari ini, saya putuskan membuat rubrik baru di blog ini, yaitu: Sahabat Pena.

Bila Anda juga tertarik berbagi pemikiran lewat tulisan dan berkenan menjadi sahabat pena saya, silakan mengirim tulisan juga ke e-mail: saverinussuhardin@gmail.com atau WA 085239021436. Jenis tulisan bisa apa saja, asalkan panjangnya minimal 800 kata, dan dituliskan sebaik mungkin dan memberi pesan atau kesan positif bagi pembaca. Terima kasih

 

 


Posting Komentar

0 Komentar