Anggota koor IMAPEL Kupang |
Saya sangat lega saat membaca judul sebuah berita, intinya mengabarkan kalau Bapa Paus Fransiskus menghendaki agar fungsi koor dalam gereja itu bukan menggantikan umat dalam bernyanyi.
Saya hanya
membaca judulnya, -tidak sempat membaca isinya lebih lanjut, tapi saya bisa
memastikan maksud peringatan tersebut. Pemimpin tertinggi gereja Katolik itu
ingin semua umat aktif bernyanyi saat beribadah, bukan hanya bengong menonton
anggota koor yang kadang agak lebai memamerkan suara indahnya.
Saya tentu saja
sangat gembira dengan judul berita tersebut, termasuk dengan analisa sederhana
yang saya pikirkan.
Saya berharap,
berita itu segera dibaca oleh ketua KUB di lingkungan kami. Supaya dia tidak
terus-terusan mengingatkan saya agar ikut latihan koor.
Kalau misalnya
KUB kami yang mendapat tanggungan gereja, ya, tinggal tentukan satu atau dua
orang yang bisa pimpin lagu. Kita harus mendukung seruan Bapa Paus, biarkan
semua umat bernyanyi.
Bukankah ada
adagium, orang yang menyanyi dengan baik itu sama dengan berdoa dua kali lipat.
Kalau umat yang tidak dilibatkan menyanyi, lama-lama bisa duduk mengantuk.
Sudah tidak ikut bernyanyi, berdoa pun sudah tidak bisa fokus. Mau dapat apa,
coba?
Mari kita dukung
dan implementasikan seruan Bapa Paus itu. Tidak usah gaya-gaya bentuk anggota
koor itu. Biarlah kita membawa dan mengakrabi lagi lagu-lagu yang ada dalam
Madah Bhakti, Dere Serani, atau buku lagu rohani lainnya.
***
Saat masih muda
(OMK: Orang Muda Katolik) dulu, saya masih mengikuti beberapa kelompok koor.
Setelah menikah dan tinggal di KUB yang baru, saya bisa pastikan tidak pernah
ikut lagi. Padahal, ada begitu banyak undangan dari ketua KUB, tapi saya tidak
berani sama sekali.
Beda saat masih
OMK dulu. Ada teman-teman dekat yang bisa menutupi kelemahan saya dalam
bernyanyi. Paling tidak ada dua orang yang saya ingat baik, yaitu An Magung
dan Nana Rian.
Kedua teman saya
itu lumayan percaya diri kalau bernyanyi. Setiap kali ada latihan koor, saya
akan ikut serta kalau salah satu dari kedua orang itu ada di sana juga. Saya
akan berdiri di sampingnya, mendengarkan cara bernyanyinya, lalu ikut membuka
suara. Kalau pun suara saya buruk, paling tidak tertutup oleh suara teman
tersebut.
Bagi saya, suara
atau kemampuan bernyanyi kedua teman itu lumayan baik. Suatu kali saya bertanya
sama An Magung.
"Bro,
bagaimana cara bernyanyi yang baik kah?"
"Menyanyi
saja toh," jawab An dengan mimik santai, "kalau kamu masuk di
kelompok Tenor, suaranya dibuat melengking saja. Kalau masuk kelompok Bass,
rendahkan suaranya."
Dia pun
mencontohkan langsung.
Saya megangguk
pura-pura paham.
"Sekarang,
bro yang menyanyi sudah," perintahnya kemudian.
Saya menyanyi,
mencoba lebih serius. Baru saja dimulai, dia langsung ketawa. Runtuh semua
keinginan saya berlatih.
Sejak saat itu,
saya selalu berdiri di dekat kedua orang itu. Kalau keduanya tidak hadir
latihan, sudah bisa dipastikan saya juga tidak akan hadir.
Selama masa
kuliah, saya diselematkan oleh kedua teman itu. Berkat mereka berdua, saya
masih bisa bercerita ke orang kalau saya juga pernah menjadi anggota koor.
Masalah datang
ketika lulus kuliah. Kedua teman itu tidak lagi tidak berdekatan dengan saya.
Maksudnya tidak se-KUB seperti dulu lagi.
Ketika ketua KUB
kami mengundang saya ikut latihan koor, saya mencoba cari orang yang
berkarakter sama dengan kedua teman tadi. Rupanya tidak ada. Orang yang saya
perhatikan, rata-rata melihat dengan sinis kalau terdengar suara sumbang. Saya
malu. Karenanya tidak pernah hadir kalau diundang latihan koor.
Masalah lain
timbul. Ketika tidak hadir undangan latihan koor, saya selalu khawatir
orang-orang membicarakan saya. Misalnya, "Eh, sudah tua ma, tapi tidak
menghargai undangan latihan koor."
Tapi, ketika ada
seruan Bapa Paus tadi, saya akhirnya lega. Esok-esok kalau ada undangan latihan
koor lagi, saya akan kirim tautan berita itu saja. Semoga mereka bisa mengerti.
Syukur kalau mereka paham kalau suara saya memang dibentuk bukan untuk
beryanyi.
(*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 21 Juni 2019)
0 Komentar