![]() |
Suasana Taman Nostalgia Kupang pada malam hari |
Malam minggu kemarin, saya
singgah sebentar di Taman Nostalgia setelah mengikuti sebuah rapat yang lumayan
penting.
Ketika melewati
ruas Jln. Frans Seda, kata hati saya menyuruh untuk berhenti sejenak. Saya
perhatikan ada arena yang cukup remang-remang, di situlah tempat terbaik buat
memantau aktivitas orang-orang di taman.
Setelah bosan
melihat banyak bayangan hitam berpasangan di sudut-sudut gelap, saya berjalan
ke area yang lebih terang. Ada beberapa anak muda yang menggelar buku untuk
dibaca gratis oleh pengunjung taman.
Saya perhatikan
apa yang mereka buat, lalu foto sebentar. Saya tidak mengajak mereka bicara,
begitupun sebaliknya. Sesekali saya ambil salah satu buku mereka, buka
sebentar, lalu tutup dan meletakkan pada tempatnya. Ambil lagi yang satu, nasibnya
juga sama. Sampai saya ketemu dengan teman lama dan dia mengajak saya pindah ke
sudut taman yang lain, tidak ada buku yang berhasil saya baca tuntas.
Di sana, ada
juga sekempulan anak kreatif yang menggelar kegiatan sederhana tapi bisa saja
bermakna. Tergantung penilainya. Mereka mengajak anak-anak untuk menggambar dan
mewarnai. Mereka juga menyediakan majalah dan buku-buku anak.
Sambil
memperhatikan anak-anak yang berbahagia itu, saya berbincang dengan teman tadi,
kemudian ditambah tamannya teman, teman - temannya teman. Semakin banyak teman.
Kami bicara dari
urusan remeh-temeh, sampai persoalan bangsa. Saat itu kami anggap semua orang
yang urus bangsa tidak becus, semuanya salah. Kebenaran cuma milik kami semata.
Begitulah. Kami senang dan tidak ada yang protes. Toh, kami tidak bicara
langsung pada sasarannya. Kami hanya mengomel di sudut taman.
Tidak terasa
sudah pukul 23.00. Seseorang, entah siapa, mematikan lampu taman. Mau maki,
tapi malas kalau nanti ujung-ujungnya berurusan dengan polisi.
Diam-diam saja,
lalu pulang. Kami berpisah. Saya pulang ke arah bundaran PU, sendirian. Sepeda
motor saya jalankan pelan-pelan saja. Jalanan sangat lengang. Sebagian besar
orang mungkin sudah tidur.
Sebuah sepeda
motor mendahului saya. Belum sampai hitungan detik, tercium bau yang harum.
Saya yakin, bau itu bersumber dari nona berbaju pink yang membonceng pada
seorang yang dipastikan laki-laki. Nona baju pink duduk menyenderkan dada pada
punggung orang di depannya, dengan kedua tangan menyelip di atas paha orang di
depannya.
Saya agak
terganggu, lalu berusaha mempercepat laju sepeda motor. Saya perhatikan,
laki-laki pengendara motor yang bersama nona baju pink itu, melepaskan
tangannya dari stang kiri, kemudian -dengan sengaja- menggelantungakan
tangannya ke belakang, sehingga tanpa sengaja menyentuh paha si nona baju pink
yang menggunakan celana sangat pendek. (Duh, apa dia tidak dingin, ya?)
Saya berusaha
mendekati mereka, ingin melihat lebih jelas, tapi tiba-tiba mereka mengambil
arah kiri dari bundaran PU. Sementara saya harus tetap lurus menuju Penfui.
Saya biarkan sudah.
Selama
meneruskan perjalanan, saya membayangkan kontur jalan menurun di Pulau Indah.
Banyak jalan yang berlubang dan bergelombang. Bila laki-laki tadi terus
membiarkan tangan kirinya menggelantung di paha nona baju pink, bisa-bisa dia
hilang keseimbangan saat roda depannya bercumbu dengan lubang atau sebuah
gundukan. Satu tangan yang sibuk mengatur gas tentu saja sulit mengendalikan
keseimbangan. Mereka bisa jatuh dan mengalami cedera fisik.
Bila itu
terjadi, mereka jatuh, maka analisa pembaca berita akan beragam.
Pertama, mungkin
si pengendara mengalami gangguan emosional sehingga tidak bisa tenang dan
berkosentrasi saat berkendara.
Kedua, ini salah
pemerintah yang tidak menyediakan infrastruktur yang baik buat rakyatnya.
Padahal...,
penyebab masalahnya sangat sepele. Sebuah tangan yang menggelantung di paha.
0 Komentar