Barangkali sebagian besar warga NTT kembali tenang setelah satu-satunya pasien yang diketahui positif Covid-19 telah dinyatakan negatif (sembuh) pada pemeriksaan yang terakhir. Saya tidak termasuk pada kelompok tersebut, sebab saya malah makin khawatir dan banyak menyimpan tanya. Supaya pertanyaaan itu tidak meledak begitu saja dalam pikiran saya, lebih baik saya lepaskan keresahan itu satu per satu lewat tulisan ini.
Saya ikut senang
dan bersyukur, pasien 01 Covid-19 di NTT dinyatakan sembuh. Puji Tuhan.
Tapi, dibalik
rasa syukur itu, saya bertanya-tanya, apakah kasus 01 itu tidak menyebar pada
orang lain?
Padahal, bila
kita ikuti berita sebelumnya, pasien 01 melakukan kontak erat dengan banyak
orang. Berita lanjutan mengenai hal ini kurang banyak tersedia. Sepertinya
aman-aman saja.
Kalau kita
membandingkan dengan kasus di daerah lain, ketika ada satu pasien yang positif,
maka tidak lama kemudian akan ada kasus susulan yang riwayat kontaknya masih
berkaitan.
Tapi kasus yang
terjadi di NTT berbeda. Satu saja, tidak ada bukti menyebar atau menularkan
pada orang lain, kemudian kembali diumumkan telah bebas dari zona merah.
Kalau memang itu
benar adanya, -sekali lagi, Puji Tuhan. Tapi kalau informasi itu tidak tersedia
karena lemahnya kemampuan melakukan tes Covid-19 yang masif dan akurat, maka
nasib kita makin tidak menentu.
Kita semua tahu,
setelah informasi kasus 01 mulai merebak di media, berbagai laporan hasil Rapid
Test dari berbagai kabupaten juga ikut meramaikan lini masa media sosial kita.
Terlihat mulai ada pertumbuhan kasus positif, meski itu hanya dari versi rapid
test.
Rupanya Pemprov
NTT kurang sreg dengan laporan hasil rapid test tersebut, hal itu dibuktikan
bagaimana sibuknya Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di NTT menjelaskan perbedaan
antara RT-PCR (yang sampeln diambil dari sapuan lendir tenggorokan) dan metode
Rapid Test.
"Hasil
rapid test itu kurang akurat, karenanya jangan terlalu percaya," begitulah
kurang lebih inti pesan yang disampaikan berulang-ulang.
Hal itu dipertegaskan
lagi dengan peryantaan keras Pak Gubernur NTT yang melarang para bupati untuk
melaporkan hasil rapid test kepada publik.
Barangkali tanpa
perlu menganalisis terlalu rumit, kita semua menangkap kesan kalau Pemprov NTT
berupaya menenangkan warganya dengan menyensor sebagian informasi. Mereka hanya
berusaha menyampaikan kabar-kabar baik saja, sedangkan sisanya disimpan
rapat-rapat.
Dugaan itu
diperkuat dengan tren berita selanjutnya. Kalau ada hasil rapid test yang
negatif, juru bicara menyampaikan hasilnya lewat konferensi pers rutin.
Sedangkan laporan kasus positif, meski hanya versi rapid test, senyap.
Kok kurang
konsisten, ya? Kesannya pilih-pilih. Kalau memang kita menganggap rapid test
itu tidak akurat, ya, tidak peru dilaporkan semuanya saja entah negatif maupun
positif.
Menutupi
beberapa data demi ketenangan warga pada satu sisi mungkin dianggap lain, tapi
efek lainnya juga mengerikan.
Coba kita pantau
tren kepatuhan warga melakukan tindakan pencegahan seperti melakukan isolasi
mandiri dan sebagainya, apakah kita pernah mengevaluasinya hingga ke lapangan.
Beberapa laporan menyebutkan di beberapa daerah kurang optimal.
Apakah hal itu
punya hubungannya dengan "kabar yang baik-baik saja" tentang Covid-19
di NTT? Menurut saya, tentu saja iya. Masyarakat pada umumya akan ikut merasa
baik-baik saja, kemudian lengah dan menganggap remeh dengan penyebaran virus
corona ini.
"Corona ini
sonde berbahaya."
"Katong di
NTT neh aman sa, ko keras na."
"Kita pu
sopi bisa matikan itu virus-virus kecil."
Selain memengaruhi
persepsi masyarakat terhadap pegabluk ini, ketiadaan informasi hasil rapid test
juga akan memperlambat upaya pemerintah pusat untuk mendekatkan laboratorium
yang menyediakan RT-PCR di NTT.
Kalau kita
mengevaluasi kinerja pemerintah pusat dalam penanganan Covid-19 akhir-akhir
ini, kesannya begitu lamban. Tunggu ada kejadian yang luar biasa dulu, baru ada
tindakan.
Misalnya saja,
aturan PSBB itu hanya diperbolehkan pada wilayah yang kasusnya mengalami tren
peningkatan. Di daerah tersebut kemudian diberikan fasilitas ini-itu, sehingga
terlihat nyata adanya kehadiran pemerintah.
Barangkali cara
kerja yang sama berlaku pada NTT. Kalau laporan rapid test-nya tidak ada,
berarti memang kebutuhan lab RT-PCR itu belum begitu mendesak.
"Santai-santai
sa dulu, tunggu banyak korban baru kita fokus ke sana."
Ada begitu
banyak contoh metode kerja "tunggu banyak kasus atau desakan" yang
terjadi selama ini.
Masih ingat DBD
di NTT? Ketika banyak laporan yang meninggal, barulah terlihat turun ke lokasi
kejadian, menunjukkan ke media melakukan ini-itu, padahal sudah terlalu
terlambat. Ada benarnya kalau ada yang mengatakan upaya promotif dan preventif
itu kebanyakan hanya slogan saja.
Berangkali
dengan mempelajari metodek kerja seperti itu, kita perlu membuka data hasil rapid
test itu seluas-luasnya.
Ingat, terlepas
hasil rapid test itu masih perlu dikonfirmasi dengan RT-PCR, untuk daerah kita
NTT yang fasilitasnya minimalis, metode ini bisa menjadi pilihan utama.
Daripada tidak ada pemeriksaan sama sekali, kan? Hal itu juga sudah diatur
dalam Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 dari Kemenkes RI. Rapid Test
merupakan bagian dari screening awal yang akan memperkuat data hasil anamnesa
(wawancara riwayat penyakit).
Saya meyakini,
kalau hasil rapid test disampaikan secara terbuka, maka selain pemprov, kita
warga biasa juga bisa ikut mendesak pemerintah pusat untuk mengupayakan
fasilitas lab yang dibutuhkan tersebut. Keputusan pemerintah selalu
mempertimbangkan "urgensi" sebuah usulan. Kalau didesak banyak orang
dan didukunh data, biasanya akan diprioritaskan.
Hal itu penting
dilakukan, sebab sampai sekarang, di NTT baru ada 75 orang yang melakukan
pemeriksaan versi RT-PCR, itupun 23 sampel masih menunggu hasil.
Bayangkan, dari
jumlah OTG, ODP, PDP yang begitu banyak, cuma segitu yang difasilitasi untuk
mendapat kepastian diagnosisnya. Padahal, kunci keberhasilan penanganan wabah
ini adalah dengan melakukan testing yang masif, kemudian melakukan isolasi
ketat bagi yang dinyatakan positif, sehingga tidak makin meluas penyebarannya.
Kita juga
sama-sama membaca berita, katanya Pemprov NTT mau menyediakan lab RT-PCR di
wilayah sendiri dalam waktu satu-dua minggu sejak dijanjikan. Tolong sama-sama
cek, sudah sejah mana progressnya? Apakah sudah lewat dari waktu yang
dijanjikan?
Saya juga masih
ada pertanyaan mengenai anjuran, "Masyarakat melakukan perawatan mandiri
di rumah." Apakah masyarakat sudah paham cara perawatan mandiri ketika
sakit?
Di negara maju,
atau di kota besar di Indonesia sudah layanan kesehatan berbasis teknologi
informasi yang biasa disebut dengan istilah telemedicine. Apakah layanan ini
juga tersedia atau bisa diakses di NTT? Kalau tidak, bagaimana upaya untuk
memastikan masyarakat yang melakukan perawatan mandiri itu sesuai anjuran atau
tidak?
Masih banyak pertanyaan
lain yang berkecamuk dalam benak, tapi gambaran secara garis besarnya kurang
lebih seperti itu. Jadi, ketika banyak orang mungkin merasa tenang setelah NTT
keluar dari zona merah, saya (mungkin juga Anda) malah makin merasa tidak
menentu. Saya merasa begitu NTT, Nasib Tidak Tentu.
0 Komentar