Nasib Kata Ganti Orang Kedua di Benak Gibran*

Nasib Kata Ganti Orang Kedua di Benak Gibran
Bersama anak Gibran Suhardin


Setelah berulang kali menyaksikannya, saya akhirnya sadar, kisah kehidupan Sponge Bob dan kawan-kawannya di Bikini Bottom sering tayang berulang-ulang dengan cerita yang sama di layar TV.

Saya mulai menyadari hal itu ketika mengikuti salah satu seri, di mana Sponge Bob (SB) mengajak Patrick (P) untuk bermain petak umpet.

"Apa itu petak umpet?" P menunjukkan karakternya yang memang banyak tidak tahu, -- untuk tidak mengatakan bodoh-- dengan bertanya hal yang sangat sepele itu.

SB menjelaskan panjang-lebar definisi petak umpet tersebut. Sambil menahan lelah, SB memastikan sahabatnya itu sudah paham atau belum?

SB terlihat lemah saat melihat Patrick yang menggeleng santai, dia tidak tahu kalau tidak tahu apa-apa itu mestinya ada rasa malu sedikit.

Supaya tidak makin lelah menjelaskan secara lisan, SB langsung mempraktikannya. Pertama, SB yang bersembunyi. Terus, dia arahkan P untuk menemukan dirinya. Gampang sekali.

Kini giliran P yang bersembunyi. SB menutup matanya sambil menghitung satu sampai lima puluh.

P melihat SB dengan tatapan bingung, kemudian dia menguap. Tanpa pedulikan SB, dia masuk ke rumahnya yang hanya dua langkah dari tempatnya berdiri.

Setelah mencapai hitungan yang ke-50, SB membuka mata, dia melihat ke sekeliling, P sudah tidak kelihatan.

SB sempat berpikir P sedang bersembunyi di rumahnya, tapi buru-buru dia menyangkal dirinya sendiri, tidak mungkin P bersembunyi di tempat yang gampang ditebak seperti itu.

Maka, SB pun mulai mencari ke seluruh sudut yang lain, selain rumah P. Dia berkeliling, P tetap tidak terlihat. Ke semua sudut dunia Bikini Bottom pun, tidak ada tanda-tanda juga.

SB memasuki ke sebuh kafe dengan langkah gontai. Dia sempat mendekati seseorang yang memiliki perawakan sama dengan P. Ternyata salah.

Tapi, orang yang mirip P itu kemudian bertanya apa yang sedang terjadi. SB mengisahkan semuanya. Termasuk tentang perasaannya yang kacau karena harus mengalah dengan sahabatnya P dalam permainan petak umpet.

"Kamu senang selama melakukan permainan ini?"

"Iya, tentu saja," jawab SB sambil tersenyum.

"Kalau kamu senang, buat apa menyesal hanya karena kalah?"

SB tersenyum makin merekah, seperti dirinya disinari cahaya pencerahan dari orang asing tadi. Dia memutuskan pulang, kemudian menulis sebuah surat yang intinya berisi ucapan selamat kepada P karena dia telah memenangkan permaianan petak umpet.

Sesampainya di kompleks perumahan mereka, saat hendak memasukan surat lewat celah pintu rumah P, tiba-tiba pintu terbuka. Keluarlah P dari dalam.

SB terkenjut, "Lho, selama ini kamu di sini?"

P menguap, "Iya, memangnya kenapa?"

"Ini saya mau beri surat pengakuan kepada kamu karena telah memenangkan permaianan petak umpen."

P terlihat bingung, dia tidak paham apa yang sedang terjadi. "Apa itu petak umpet?" Tiba-tiba bertanya dengan suara melempeng.

SB makin terlihat lemah. Kisahnya berakhir.

***

Meski tidak sama persis, saya dan Gibran juga pernah bermain petak umpet tanpa sengaja alias tanpa direncanakan lebih dahulu. Bagaimana mau buat rencana, saya yakin Gibran juga belum paham apa itu petak umpet.

Suatu hari di masa liburan Nataru kemarin, saya sedang menikmati tidur siang, sementara Gibran asyik bermain sendiri.

Entah apa yang dipikirkan anak berusia 2,5 tahun, tiba-tiba sudah berdiri di punggung saya, kemudian melompat-lompat.

Saya kaget dan sedikit marah karena sedang ingin tidur tanpa diganggu. Saya larang Gibran supaya berhenti melompat di perut atau punggung orang yang lagi tidur.

Namanya juga anak-anak, sebuah larangan bisa menjadi semacam perintah baginya. Dia makin ingin lompat-lompat di atas punggung. Ketika saya mencoba marah, dia malah tertawa.

Ketika dia lengah sejenak, saya langsung berlari keluar kamar, kemudian mengendap pelan ke arah dapur, lalu bersembunyi di balik pintu.

Saya mendengar dia mulai memanggil-manggil nama saya, kemudian mencoba cari di ruang tamu dan kamar yang satunya. Dia gagal menemukan saya.

Dia kemudian masuk ke kamar, meminta bantuan mamanya yang saat itu sedang asyik dengan serial Korea secara daring lewat gawai.

Mereka berdua kemudian mencari saya. Tidak butuh lama untuk menyisir tiap sudutnya. Maklum, RSS alias Rumah Sangat Sederhana, hanya butuh selangkah - dua langkah saja, mata kita sudah mejangkau seluruh isi ruangan.

Meski begitu, mereka berdua tidak cepat memikirkan tentang kemungkinan saya berada di dapur.

Setelah agak lama, barulah mereka mencoba ke dapur. Begitu mata kami saling bertemu, pecahlah ketawa kami bersama-sama. Saya perhatikan Gibran begitu gembira.

Sejak itu, kami langsung bersepakat main petak umpet. Seperti Patrick, Gibran juga agak susah mencerna nama petak umpet. Begitu saya gantikan dengan "Main Sembunyi-Sembunyi", dia tersenyum paham.

"Oke, sekarang kamu yang sembunyi sudah..."

"Jangan kau, Bapa...," Gibran memprotes.

Saya bingung, dan mengulanginya lagi.

"Kamu yang sembunyi sudah..."

"Jangan kau..."

Saya makin tidak paham. Mamanya menjelaskan, ternyata sejak lama dia mengajari Gibran untuk tidak boleh menggunakan kata "Kau/Kamu" alias kata ganti orang kedua.

Entahlah, saya tidak mampu berdebat dengan mamanya, sebeb menurut dia, kata "kau/kamu" itu tidak sopan bila diucapkan anak kecil kepada orang dewasa.

Maka, ketika saya sapa Gibran dengan kata ganti "Kau/kamu", dia memprotes keras. Jangan kau...

"Oke, sekarang Gibran yang sembunyi..."

Nah, dia kemudian melangkah ke luar kamar, sedangkan saya mulai menghitung 1 - 10.

"Sudah?"

Mestinya dia diam saja, tapi malah menjawab dengan lantang dari kamar sebelah, "Sudah...!"

Ketika saya memasuki kamar tempat dia bersembunyi, saya berpura-pura tidak melihatnya, kemudian bicara sendiri, "Gibran di mana, e?"

Mestinya dia diam saja. Eh, malah dia berteriak, "Ini bapa, ini...."

Kami terbahak-bahak bersama.

Kemudian gantian saya yang bersembunyi, dia yang menunggu dan mencari.

Saya selalu serius bersembunyi, sementara dia, malah berteriak sendiri sebelum sempat saya cari.

Barangkali Gibran, --sama seperti Patrick-- tidak memahami esensi dari permainan petak umpet, tapi tetap gembira melakukannya. Tidak penting kita mengerti atau mengetahui semua hal, asalkan tetap memiliki hati yang gembira, makan semuanya akan baik-baik saja.

Dari pengalaman ini saya belajar satu hal sederhana, bahwa kita tidak perlu was-was hanya karena belum mengetahui satu topik atau apa pun itu, nikmati saja apa adanya dengan gembira.

(*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 6 Februari 2020)


 


Posting Komentar

0 Komentar