Mengkawatirkan Penyebaran Corona*

Mengkawatirkan Penyebaran Corona

Secara pribadi, saya relatif siap atau tidak begitu khawatir, kalau misalnya si virus yang sedang kita pikirkan saat ini, pada akhirnya sampai juga dalam tubuh.

Saya justru lebih gelisah ketika membaca berita-berita terkait Covid-19 di NTT. Di sana, tempat lahir beta. Sudah pasti semua orang-orang tersayang, berada di sana. Kalau lonjakan kejadian tidak bisa ditangani, saya benar-benar takut membayangkannya.

Saya tidak bermaksud menakut-nakuti, sebab sedari awal saya termasuk orang yang menginginkan selalu tenang menghadapi situasi ini, tapi tetap waspada.

Waspasa, beda dengan mengentengkan masalah. Sependek yang saya ikuti dari berita daring, sebagian di NTT masih menganggap remeh virus yang penyebaran sangat cepat ini.

Kemarin, Bapak Wakil Gubernur NTT dengan santai mengatakan kurang lebih begini: Tidak usah panik, ini seperti flu biasa saja.

Kemudian, saya juga membaca semakin banyak jumlah pasien OPD (orang dalam pemantauan), tapi tidak kunjung mendapat kejelasan, positif atau negatif?

Bahkan muncul kabar lain, NTT itu tidak ada yang positif Covid-19. Kaka dong yakin, ko?

Saya secara pribadi tidak yakin. Sebab, setahu saya, di NTT belum ada alat pemeriksaan (diagnostik) untuk memastikan keberadaan virus corona baru tersebut dalam tubuh pasien ODP.

Kita semua tahu, untuk wil. NTT, kalau mau pemeriksaan diagnostik Covid-19, sampelnya harus dikirim ke laboratorium di Surabaya. Lumayan jauh, kan?

Kita sudah mendengar status OPD ini sejak awal Maret, tanggal 3 kalau tidak salah. Nah, mereka ini tidak pernah dikabarkan mengenai pemeriksaan lebih lanjut.

Apakah sampel dari sapuan tenggorokan mereka dikirim ke laboratorium di Surabaya sesuai petunjuk Kemenkes RI? Saya belum membaca berita tentang hal ini.

Justru yang terbaca, ada berita yang menyebutkan kalau beberapa ODP itu dinyatakan sembuh.

Tapi, saya begitu penasaran, bagaimana pemeriksaan virusnya? Apakah sudah dilakukan? Kalau misalnya sudah, mestinya ada keterangan mengenai status positif atau negatifnya.

Kepastian diagnostik abu-abu, lalu pemimpin daerah menganggap ini seperti flu biasa saja. Masih ingat bagaimana respons awal pemerintah Indonesia, termasuk kita semua, saat awal isu virus ini merebak di Indonesia?

Kita semua menanggapinya dengan santai. Orang Indonesia itu kebal Corona. Virus itu sulit masuk Indonesia karena perizinannya dipersulit. Kini, kita lihat sendiri apa yang terjadi kemudian.

Saya melihat, kondisi saat ini di NTT, responsnya kurang lebih sama dengan cara kita menanggapi pada masa awal munculnya dulu.

Tolong jang maen gila, Kaka. Ini virus sudah jadi pandemi dunia. Jangan tunggu kasus melonjak, baru ketar-ketir tidak jelas.

Coba cek fasilitas dan sumber daya kesehatan yang kita miliki, apakah cukup kuat? Ingat juga, kondisi geografis kita juga tidak mudah, proses ambulansi pasien tidak sederhana untuk bisa sampai ke pusat rujukan.

Kemarin saya membaca berita, RS TC Hillers Maumere mengaku kurang siap. Kadis kesehatan Kab. Sikka menyampaikan ke salah satu media online kalau faslitas yang dimiliki sangat minim.

Di RSUD Komodo Labuan Bajo juga sama. Bahkan informasi ini disampaikan Pak Achmad Yurianto, Dirjen P2P Kememkes RI yang juga bertugas sebagai juru bicara penanganan Covid-19 di Indonesia. Saat diwawancara Deddy Corbuzer, beliau mengaku fasilitas di L. Bajo itu termasuk yang kurang siap. Dia bilang itu RSUD tipe D yang masih baru, tidak ada ruang isolasi, alat pelindung diri (APD) sangat terbatas.

Kalau 2 dari 3 RS rujukan yang ditetapkan Kemenkes RI untuk wil.NTT itu saja sudah kurang meyakinkan, apalagi faskes yang lainya.

Ketika lonjakan penderita akan berdatangan ke faskes yang kurang siap seperti itu, maka sasaran utama ada tenaga kesehatannya. Mereka akan ikut terinfeksi, tanpa terkendali. Belajarlah dari kondisi di Jakarta!

Kalau alasannya pemerintah ingin memberi perasaan tenang kepada masyarakat, bukan begitu caranya. Saya merindukan hal seperti ini:

1. Tetap menyampaikan kepada masyarakat untuk waspada, jangan meremehkan sedikit pun, tapi juga jangan sampai terlalu panik. Ikuti saran yang sudah disampaikan pemerintah. Jang kepala batu, sonde ada kebal deng ini virus.

2. Tunjukkan pada masyarakat bagaimana perjuangan pemda untuk proses uji diagnostk pasien ODP.

3. Sampaikan pada masyarakat, sejauh mana koordinasi dengan pemerintah pusat, khususnya untuk mendapat bantuan alkes yang baru saja diambil dari China. Apakah di NTT juga dapat, sejauh mana distribusinya sampai ke daerah-daerah?

4. Tunjukkan juga persiapan, bagaimana kalau nanti terjadi lonjakan pasien? Apakah ada gedung yang bisa dipakai untuk dijadikan tempat perawat sementara? Bagaimana dengan alkesnya, apakah ada anggaran untuk segera dipesan ke perusahaannya? Kita tidak mungkin bisa ditampung sampai di wisma altet Jakarta, kan?

5. Tunjukkan juga bagaimana persiapan merekut relawan, khususnya tenaga kesehatan. Sejak dini kita siapkan proses perekrutannya, sehingga pada saatnya nanti, mereka bisa menopang nakes utama. Bisa direkrut dari mahasiswa kesehatan yang dianggap punya kompetensi minimal untuk merawat kebutuhan dasar pasien.

Masih banyak sebenarnya, tapi cukup yang lima itu saja dulu untuk hari ini. Kabar tentang persiapan seperti itu, jauh lebih menenangkan dibanding hanya dengan enteng menyampaikan: Tenang..., kita ada daun kelor.

Plis, dunia atau informasi saat ini tidak selebar daun kelor...

(*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 24 Maret 2020)


 

 

 

 


Posting Komentar

0 Komentar