Mbok Rondo dan Gibran*

Mbok Rondo dan Gibran
Opa Guru, Gibran Suhardin dan saya


Saya sementara meringkuk dalam sebuah bilik di ruang baca kampus ketika Gibran dan mamanya menelepon.

Belum sempat saya menyapa, mamanya Gibran lebih dulu menyampaikan ucapan selamat Hari Valentine. Baik Gibran maupun mamanya, sama-sama menunjukkan wajah sumringah, mata keduanya sama-sama mengharapkan hadiah.

Benar saja. Sebelum saya mau mengatakan kalau Valentine itu bukan budaya kita; budaya kita adalah bla, bla, bla..., mamanya Gibran masih lebih kilat dari biasanya, "Sayang, hadiahnya beli cokelat, kah!"

Saya menunjukkan eskrepsi tawa di kamera HP, nyaris tanpa suara biar tidak mengganggu pengunjung ruang baca yang lain. Sementara jeda tertawa itu, saya berpikir keras kira-kira alasan apa yang tepat agar terhindar dari jebakan hadiah cokelat tadi.

"Andaikan dekat, pasti saya sudah beli tadi," kata saya setengah berbisik.

"Kan ada nomor rekening, sayang?"

"Iya sih...," saya mengambil jeda sejenak untuk mencari alasan lain, "masalahnya saya lagi di kampus. Kalau saya harus pergi mencari ATM, barangkali sampai hari Valentine ini berakhir, belum tentu ketemu juga."

Mereka akhirnya lelah juga berargumen dengan saya. Sebagai gantinya, saya bercerita tentang Mbok Rondo saja.

***

Sewaktu libur Nataru kemarin, salah satu aktivitas yang saya lakukan bersama Gibran adalah membaca buku cerita. Biasanya dilakukan setelah makan malam, sambil berbaring di ruang tengah yang makin sempit setelah disesaki rak buku, meja tv, meja makan, dispenser dan galonnya.

Saya berinisiatif membacakan cerita untuk anak kami yang berusia 2,5 tahun itu, setelah sekian banyak membaca tulisan orang-orang yang saya anggap punya pengetahuan yang luas, di mana mereka mengatakan kalau membacakan cerita atau dongeng buat anak itu sangat membantu perkembangannya.

Saya juga sudah menyiapkan beberapa bacaan yang dianggap sesuai dengan kemampuan atau usia Gibran. Tiap kali saya menyodorkan pilihan buku tersebut, Gibran selalu menunjuk pada buku yang sampulnya telah robek, "Abu-abu, Bapa."

Buku abu-abu itu merupakan kumpulan dongeng dari berbagai daerah di Indonesia. Supaya interaktif, saya mengajak Gibran untuk memilih sendiri cerita yang dia mau dengar dengan menunjukkan gambar ilustrasi di setiap judulnya.

Dia memilih dongeng Timun Emas. Saya mengambil posisi duduk yang baik, batuk sebentar untuk membereskan suara di tenggorokan, menarik napas dalam dan hembuskan pelan-pelan sambil menjaga kontak mata dengan Gibran yang sementara santai rebahan.

Saya membaca dengan penuh penghayatan, mungkin teknik ini yang disebut orang sebagai dramatic reading.

Ketika ada narasi raksasa tertawa, maka saya contohkan dengan sungguh-sungguh. Paling tidak sesuai imajinasi saya tentang raksasa, sebab dalam dunia nyata, saya juga belum pernah melihat wujud aslinya.

Ketika Ibu Timun Emas yang bernama Mbok Rondo dinarasikan sedang memohon dengan nada sedih, saya juga berusaha mencotohkannya dengan suara yang sedikit dicemprengkan sambil meratap tersedu-sedu.

Meski awalnya berjalan mulus, ada saja hambatan yang tiba-tiba muncul kemudian. Gibran kemudian duduk, mungkin dia penasaran dengan apa yang saya perhatikan di halaman buku, lalu dia memaksa ikut melihatnya.

Oh, celakanya, di halaman yang sedang saya buka itu tidak hanya berisi tulisan, ada juga gambar ilustrasi di sana.

"Ini apa, Bapa?"

"Itu raksasa. Lihat! Badannya besaaarrr sekali. Kalau tertawa, hahahahaha...."

"Ini?"

"Ini Mbok Rondo, mamanya Timur Emas."

"Ini?"

"Ini hutan."

"Ini?"

"Rumput."

"Ini?"

Oh, ternyata gambar ilustrasi itu benar-benar mengganggu. Entah sudah berapa kali Gibran bertanya ini dan itu. Setelah dia agak puas dengan penjelasan saya yang agak dipaksakan untuk bersabar, akhirnya dia mau diam lagi, siap untuk mendengarkan cerita lagi.

Sialnya, saya sudah lupa sampai di mana pembacaan terakhir. Saya bisa lanjut dari kalimat mana saja yang saya suka, tapi tidak tega juga kalau Gibran kurang bisa mengikuti alur ceritanya. Maka, saya mengulang dari awal.

Seperti sebelumnya, belum sampai setengahnya saya membaca, Gibran bangkit lagi dari baringnya, kemudian bertanya ini-itu.

Saya membaca ulang lagi dari awal. Belum banyak kalimat yang dibaca, dia bangun lagi dan bertanya ini apa?; itu apa?

Saya mengulang lagi dari awal, hingga Gibran tertidur. Cerita Timun Emas itu belum pernah berhasil dibacakan sampai tamat.

Keesokan harinya, saya mengevaluasi ingatan Gibran tentang cerita tersebut. Benar kata orang-orang yang tulisannya saya baca, ternyata cerita lebih mudah diingat oleh anak-anak.

"Tadi malam kita baca cerita apa?"

"Mbok Londo," dia masih kesulitan melafal huruf R.

Seharusnya dia menyebut "Timun Emas" sebagai judul dongeng tersebut, tapi entah kenapa dia hanya mengingat Mbok Rondo. Tidak apa-apa, asalkan dia masih mengingat salah satu tokoh dalam dongeng tersebut.

Hari selanjutnya, saya mengubah sedikit alur cerita dengan menempatkan Mbok Rondo sebagai tokoh utamanya.

Buat pengarang Timun Emas, bagaimana kalau kita ganti judul dongengnya dengan "Mbok Rondo" saja?

(Keterangan foto: saya dan Gibran berpose dengan tetangga kami yang biasa disapa Pa Guru. Gibran memanggilnya Opa. Kalau sebelumnya kita mendengar istilah "Ayah Biologi" atau "Bapak Ideologis"; maka bagi Gibran, Pa Guru adalah Opa Sosiologis. Sebab beliau dipanggil Opa berkat hubungan sosial).

 (*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 14 Februari 2020)


Posting Komentar

0 Komentar