Bila berminat membeli buku ini, silakan tulis di kolom komentar |
Setelah lumayan
lama berlatih menulis, akhirnya tulisan saya berhasil juga terbit di sebuah
media lokal yang bermarkas di Kota Kupang-NTT.
Tulisan pertama
di koran itu merupakan respons saya tentang kejadian bunuh diri yang hampir
terjadi tiap bulan pada waktu itu.
Sebagai perawat
yang juga belajar tentang asuhan keperawatan pada pasien yang berisiko bunuh
diri, saya berupaya menuliskan hal-hal yang saya ketahui, barangkali bermanfaat
bagi pembaca.
Sebagai tulisan
pertama yang berani saya kirim ke media massa (koran), saya juga kaget
bercampur gembira, sebab hanya butuh sehari, artikel itu langsung terbit.
Ketika sudah
tahu muncul di koran, Anda sudah tahu kan seberapa noraknya saya memamerkan
pecapaian ini?
Saya foto,
kemudian unggah di semua akun sosmed, diberi tulisan yang lebai. Oh, respon
pembaca banyak sekali, paling tidak lebih banyak dari unggahan biasanya.
Setiap ada
ketemu orang, saya ceritakan tentang tulisan yang dasyat itu, lalu tidak lupa
menunjukkan foto yang tersimpan di hp. Kalau teman atau tamunya ke rumah, maka
saya langsung berikan korannya, "Baca di halaman 4!"
Kemudian saya
berkhayal, tulisan ini tentunya sudah dibaca oleh ratusan atau bahkan ribuan
orang yang membeli atau berlangganan koran tersebut.
Pembaca tersebut
akan mengingat dengan baik upaya sederhana untuk mencegah bunuh diri. Mereka
akan ceritakan hal itu kepada keluarganya, tetangganya, teman kerjanya,
sehingga kabar baik itu makin meluas.
Oh, itu artinya
informasi baik tentang pencegahan bunuh diri ini akan viral; akan menjadi
pengetahuan umum masyarakat.
Kalau semua
masyarakat sudah tahu cara pencegahannya, itu berarti kejadian terkutuk itu
tidak akan terjadi. Kalau pun ada, statistiknya menurun drastis per tahun.
Luar biasa! Saya
membayangkan tulisan itu sangat bermanfaat. Saat itu saya merasa sudah berhasil
menjadi perawat, karena bisa memandirikan klien (masyarakat umum) dalam hal
pencegahan bunuh diri. Saya bangga sekali, meski semua itu hanyalah dalam
khayalan saya saja.
Tidak berhenti
di situ, setahun kemudian, tulisan itu yang disatukan dengan tulisan-tulisan
lainnya, saya terbitkan dalam sebuah jilidan yang kita anggap saja sebagai
buku, kemudian diberi judul aneh: "Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat
Inspirasi yang Kuat: Simpulan Pemikiran Seorang Perawat."
Ketika buku itu
hendak diterbitkan, saya membayangkan buku tersebut akan laris-manis di
pasaran.
Bila dibeli
banyak orang, itu artinya informasi tentang pencegahan bunuh diri itu makin
meluas lagi. Ditambah informasi-informasi kesehatan lainnya.
Pada saatnya,
semua masyarakat akan sehat dan bahagia. Saya membayangkan itu semua dengan
mudahnya.
Lalu, apa yang
terjadi kemudian?
Pertama, buku
saya hanya dibeli orang-orang terdekat, itupun karena dipaksa atau merasa
kasihan dengan saya yang promosi pagi-siang-malam.
Kedua, kejadian
bunuh diri malah tidak pernah berhenti. Begitu sering kita mendengar orang yang
putus asa dan nekat mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara. Ada yang membakar
diri, menggantung diri dengan tali --ini paling favorit--, minum racun, dan
sebagainya.
Kejadiannya
hampir terjadi di seluruh wilayah NTT, termasuk yang terbaru agak heboh terjadi
di Manggarai; daerah saya berasal.
Belum lagi kalau
dihitung dengan kejadian di seluruh Indonesia, Asia, dunai, ohh..., tentu saja
semakin banyak kejadiannya.
Setelah
mengikuti kasus kejadian bunuh diri tersebut dan merenungi apa yang telah saya
buat, pada akhirnya saya menyimpulkan, kejadian bunuh diri tidak bisa
diselesaikan hanya dengan sebuah tulisan.
Saat ini, saya
mulai ragu memikirkan tentang "Manfaat Penulisan," apalagi kalau
sampai harus menuliskannya seperti keharusan pada jenis tulisan tertentu,
misalnya proposal penelitian.
Apalagi kalau
dosen pembimbingnya bertanya dengan nada garang, "Mana manfaat
penulisannya!?" Yah, terpaksa ditulis saja.
Meskipun dalam
hati kecil saya meyakini, kalau mau menulis, ya, menulis saja. Tidak perlu lagi
memikirkan atau membayangkan manfaat yang hebat-hebat. Sebab, manfaat
sesungguhnya berada di tangan pembaca.
Jadi, tanpa
menuliskan "Manfaat Penulisan," pembaca bisa menentukan sendiri
apakah tulisan yang dibacanya bermanfaat atau tidak.
Kalau penulis
yang menetapkan manfaatnya, nanti malah menyesal kalau mengikuti terus
perjalanan nasib tulisan tersebut.
Tulis ya, tulis
saja. Bermanfaat atau tidak, biarkan Tuhan dan alam semesta yang mengaturnya.
(*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 31 Januari 2020)
0 Komentar