Ketika Menulis Itu Seperti Meramu Nasi Goreng

Ketika Menulis Itu Seperti Meramu Nasi Goreng

Bapak Ambrosius Harto Manumosoyo (jurnalis Kompas) sedang berbagi ilmu kepenulisan kepada siswa/i SKU Surabaya

"Apa yang kutulis, tetap tertulis," itulah ungkapan pertama yang disampaikan mentor menulis kami di Sekolah Kerasulan Umum (SKU) pada Rabu malam (23/10/2019) silam. Iya, karena memang topiknya tentang menulis, Bapak Ambrosius Harto Manumosoyo sengaja mengunakannya supaya menjadi pemantik semangat kami siswa/i-nya untuk berlatih menulis.

Siapa sangka bidal yang terasa sangat kuat itu dikutip dari dari mulut Pilatus, sang pengkhianat Nabi Isa dalam riwayat yang tertulis di Alkitab. Memang konteksnya berbeda, frasa itu bisa dimaknai bermacam-macam sesuai cara pandang dan kebutuhan. Khusus dalam bidang kepenulisan, ungkapan itu sama maknanya dengan menulis itu abadi. Apa yang sudah kita tulis, akan menjadi dokokumen sejarah, bisa dinikmati oleh generasi mendatang. Paling tidak oleh anak-cucu sendiri.

Sebagai peserta, kami makin bergairah mendengarkan apa saja siasat yang bisa dipersiapkan untuk menjadi penulis yang andal. Guru kami yang biasa disapa Pak Bro itu pun menyederhanakan aktivitas menulis dengan membangun metafor proses membuat nasi goreng.

"Jarang sekali orang membuat nasi goreng pertama kali itu langsung enak," katanya sambil tersenyum, "begitu pula tulisan, kita butuh proses berkali-kali hingga menghasilkan tulisan yang disenangi pembaca."

Apa pun jenis tulisan yang ingin dibuat, jurnalis Kompas wilayah Jawa Timur itu mengingatkan untuk selalu menempatkan sebuah kejutan di bagian awal. Hanya dengan cara itu kita bisa merebut perhatian pembaca, sehingga punya keterterikan untuk membacanya hingga tuntas.

Pada proses pembuatan nasi goreng, bahan awal yang dituangkan dalam wajan adalah minyak goreng. Setelah itu, urutan bahan yang dimasukan tidak memiliki ketentuan yang pasti. Tiap peramu nasi goreng memiliki kiat masing-masing, disesuaikan dengan jam terbang, hingga menghasilkan perpaduan yang lezat di lidah.

Begitu pula menulis, pastikan bagian awal diisi dengan informasi yang menghentak atau menarik minat pembaca. Setelahnya bisa diisi informasi apa saja, asalkan tetap terajut dalam satu tema yang utuh. Makin baik lagi bila ditutup dengan sesuatu yang memungkinkan pembaca menaruh kesan yang mendalam akan goresan tersebut.

Pelatihan menulis ini merupakan bagian dari rangkaian SKU yang diselenggarakan oleh Keuskupan Agung Surabaya yang berlangsung sejak 4 September 2019 lalu, hingga kurang lebih satu sementer. Tatap muka dilaksanakan tiap Rabu malam dengan topik yang berbeda-beda seperti pengamalan nilai Pancasila, analisis sosial, koperasi, keterampilan menulis, berbicara di muka umum dan lainnya.

***

Ketika Menulis Itu Seperti Meramu Nasi Goreng
Pose bersama siswa/i Sekolah Kerasulan Umum (SKU) dengan para mentor dan panitia

Saya pertama kali mendapat informasi tentang kegiatan ini (SKU) dari Facebook. Setelah menyimak informasinya, saya iseng mendaftar, meski dalam selebaran itu sudah dijelaskan untuk muda-mudi se-Keuskupan Surabaya. Rupanya kenekatan saya itu berbuah baik, saya dibolehkan ikut oleh panitia.

Saya senang sekali, meski pada akhirnya tidak bisa tuntas sampai lulus. Saat libur Natal 2019 kemarin, saya harus pulang ke Kupang-NTT. Sementara itu, kegiatan SKU di Surabaya masih berlangsung, meski tinggal beberapa kegiatan akhir saja. Saya absen dalam kegiatan seminar akhir dan satu tugas akhir. Gara-gara itu pula, saya tidak berani menghadiri pengumuman kelulusannya. Saya bisa mengukur sendiri, belum bisa lulus dengan baik.

Meski begitu, panitia penyelanggara tetap memasukan saya dalam grup alumni. Itu artinya, saya tetap dianggap sebagai lulusan SKU 3. Menurut kabar, kegiatan SKU ini akan terus dilaksanakan pada masa mendatang. Kalau Anda termasuk muda-mudi Katolik Keuskupan Surabaya atau karena studi sedang berdomisili di Surabaya, silakan melamar menjadi siswa.

Sebagai alumni, saya sangat merekomendasikan kegiatan ini untuk Anda, apalagi bila masih muda (mahasiswa). Banyak sekali pelajaran dalam sekolah ini yang bisa menunjang karier kita ke depan. Ya, tentu saja kalau semua ilmu dan keterampilan tersebut terus-menerus diaplikasi dalam kegiatan sehari-hari.

***

Setelah sekian lama berlalu, saya tiba-tiba punya keinginan untuk bisa membuat nasi goreng. Apalahi ditambah desakan anak kami, Gibran Suhardin, yang selalu merengek nasi goreng tiap pagi. Saya makin percaya diri. Kalau anak-anak saja selalu minta, itu artinya kemampuan saya meracik nasi goreng mengalami kemajuan pesat.

Saya pun terus membuatnya tiap pagi. Istri saya juga ikut makan, tapi tidak berkomentar apa-apa. Setelah sekian pagi berlalu, saya akhirnya tidak bisa menahan diri untuk pastikan kualitas masakan pada istri.

“Bagaimana nasi gorengnya?”

“Maksudnya?” istri saya mendelik.

“Rasa masakan saya enak toh?”

“Hmmm...hambar,” jawabnya datar.

Saya diam-diam kecewa. Padahal sudah tidak terhitung sudah berapa porsi nasi goreng yang saya hasilkan, tapi rasanya belum memuaskan penikmat juga. Nah, kalau membuat nasi goreng saja masih gagal terus, bagaimana bisa belajar dari proses tersebut untuk diterapkan dalam aktivitas belajar menulis?

Seperti nasi goreng saya yang rasanya belum jelas itu, tulisan ini juga barangkali bernasib sama. Tapi kalau Anda sudah berkelana hingga pada kalimat ini, sudi kiranya memberi komentar di bawah, supaya saya sadar kemampuan “meracik” ulisan sudah sejauh mana? Beginilah repotnya mencampuradukan urusan nasi goreng dan menulis....hehehehe.

 


Posting Komentar

0 Komentar