Keluarga kecilku |
Saya paling khawatir ketika melakukan panggilan video
dengan anak dan istriku. Sebab, kadang istriku suka bercanda. Dia usil bertanya
pada anak pertama kami yang berusia 2 tahun 3 bulan, "Ini siapa,
Gibran?" Tanyanya sambil menunjukkan wajah saya di layar ponsel.
Anak kami yang dipanggi Gibran itu, kadang menjawab
dengan tepat.
"Itu papa....," katanya polos dan membuat saya
lega.
Tapi, ada kalanya dia keliru. Entah iseng atau serius,
kadang dijawab, "Itu om..."
Nah, ketika dia menganggap sebagai "om" itulah,
saya merasa kurang puas. Masa bapak dipanggil om? Kalau sekadar panggilan om,
mungkin tidak terlalu bermasalah, tapi bagaimana jika dianggap om benaran?
Saya pikir, setiap ayah di ujung dunia mana pun, akan
merasa jengkel kalau tidak dianggap lagi. Bisa-bisa menimbulkan persoalan
besar. Kalau bapak dianggap om, berarti ada bapak yang lain, dong? Tentu saja
itu menyakitkan.
Senjata itu kadang digunakan istri saya untuk mengerjai
saya. Bila agak jarang menelepon, maka pada saat ada kesempatan bicara via alat
komunikasi seperti WA, maka dia mulai menggoda anak kami.
"Ini siapa, Gibran?"
Dan saya mulai khwatir. Saya selalu berharap, dia tidak
pernah melupakan siapa ayahnya. Karena itu, saya selalu berusaha untuk selalu
menelepon dengan panggilan video, minimal sekali per hari, pada waktu santai.
Saat ini saya sedang di Surabaya-Jawa Timur, sedangkan
anak dan istri saya di Kupang-NTT. Saya terpaksa meninggalkan mereka gara-gara
melanjutkan kuliah. Agak berat memang, tapi tetap harus dijalani. Saya
meyakini, setiap pilihan dalam hidup ini, pasti memiliki risiko atau berdampak
pada sisi yang lainnya.
***
Sebelum menikah tahun 2013 lalu, saya juga menjalani
hubungan jarak jauh dengan pacar yang saat ini menjadi istri.
Waktu itu, saya masih kuliah S1 di Surabaya, sedangkan
pacar saya memilih langsung bekerja setelah lulus kuliah D3 Keperawatan. Dia
bekerja di salah satu rumah sakit kecil di NTT.
Mungkin karena masih berstatus pacaran, -sangat mungkin
untuk terpisah alias putus, kami begitu hati-hati. Kadang ada rasa cemburu,
lalu menuding ini-itu tanpa alasan yang jelas.
Salah satu media yang digunakan untuk memantau adalah
facebook. Bila saya temukan ada foto yang diunggah dalam akun media sosialnya,
-meski foto beramai-ramai, bila ada cowoknya, maka pasti akan diinterogasi
lebih lanjut.
"Itu siapa?"
"Kalian buat apa saja, kok, foto bersama?"
"Ehem..., jangan sampai, ooo?"
Dan masih banyak pertanyaan memancing lainnya. Karena
merasa terganggu atau tidak senang dicurigai seperti itu, maka, kadang dia
marah. Kemudian mengambek dengan tidak mengakat telpon atau tidak membalas
pesan.
Begitu pula sebaliknya. Jika saya berfoto bersama-sama
teman kuliah, -tentu saja banyak ceweknya, pasti diinterogasi dengan hal yang
sama. Bahkan kadang dia menambahkan teman-teman kuliah saya yang cewek dalam
daftar pertemanannya di FB. Mungkin untuk memastikan, semuanya berjalan
baik-baik saja.
Momen "saling curiga" itu tidak berlangsung
lama. Seingat saya, hanya terjadi pada masa awal-awal saya kuliah di Surabaya.
Setelah saya terbuka menjelaskan situasi perkuliahan dan pertemanan di kampus,
dia mulai memahaminya, sehingga pertanyaan tidak penting tadi, jarang terdengar
kembali.
Begitupun saya, tidak melakukan kepada dia. Saya percaya
saja, dia telah jujur kalau teman-teman cowoknya itu sekadar teman kerja, tidak
ada intensi yang lain.
Setelah saling terbuka dan percaya, semuanya baik-baik
saja. Kami tidak saling menelepon lagi hanya untuk menanyakan kamu di mana,
dengan siapa, dan sedang berbuat apa. Kami akan menelepon, kalau ada keperluan
penting, atau di saat santai. Saat di mana saya tidak sedang kuliah atau sibuk mengerjakan
tugas dan dia juga tidak sedang masuk kerja.
Setelah melalui waktu kurang lebih 3 tahun, saya pulang
karena kuliahnya sudah rampung. Begitu sampai di NTT, saya tanyakan, apakah
masih setia menunggu saya?
Setelah dicek baik-baik, ternyata dia memang tetap
menantikan saya pulang. Sebagai bentuk apresiasi, saya meminta kepada orang tua
dan keluarga besar, supaya bisa mengurus hubungan kami ke tahap yang lebih
serius. Puji Tuhan, harapan itu terwujud.
Singkat cerita, kami tunangan, menikah dan memiliki anak.
Setelah menikah, kami berdua merantau agak jauh dari
orang tua masing-masing. Mulai belajar hidup berumah tangga dari nol. Termasuk
dalam hal mengasuh anak.
Kami bersepakat untuk tidak meninggalkan anak pada orang
lain (pembantu), khusus pada masa pemberian ASI hingga berusia 2 tahun.
Istri saya terpaksa berhenti bekerja, fokus bersama anak
selama masa pertumbuhan awalnya itu.
Saya juga berusaha terlibat dalam urusan merawatnya. Saya
ikut menggendong, memandikan, mengganti popok, menyanyikan lagu anak-anak,
mengajaknya berintekraksi, dan hal lainnya. Sudah pasti ikutan juga saat
mengantar anak kami mengikuti posyandu tiap bulannya.
Setelah anak kami berusia 2 tahun, puji Tuhan, istri saya
diterima bekerja di salah satu rumah sakit swasta.
Kami pun berbagai tugas menjaga si Gibran. Tapi, bila
kami bekerja pada jam yang sama, terpaksa Gibran bermain di TPA.
Kami bertiga berusaha menjalin hubungan yang erat. Setiap
pulang kerja, pasti luangkan waktu buat bermain dengan anak terlebih dahulu.
Pada saat merasa nyaman seperti itu, saya harus
melanjutkan kuliah lagi. Pekerjaan yang saya tekuni saat ini mewajibkan untuk
kuliah lebih lanjut pada jenjang magister. Tidak ada pilihan lain.
Setelah berembuk cukup panjang, saya akhirnya mantap melanjutkan kuliah di Surabaya lagi. Saya terpaksa
meninggalkan dua orang tercinta di tempat yang jauh. Sekali lagi, sudah pasti
terasa berat, tapi tetap dijalankan.
Saat ini, kami menjalin hubungan jarak jauh lagi. Jawa
Timur dan Nusa Tenggara Timur.
Memang situasinya berbeda ketika masih pacaran dulu.
Dulu, saya tidak terlalu memikirkan kalau lama tidak saling telepon. Sekarang
tidak bisa lagi. Kalau dengan istri, saya masih bisa menahan, tapi dengan anak
Gibran, saya harus menelponnya tiap hari.
Sewaktu tinggal bersamanya, kadang saya abai
memperhatikannya gara-gara keasyikan main hp. Ketika tinggal berjauhan, saya
mulai merasa menyesal. Jarak mengajarkan saya tentang arti rindu dan cinta
lebih jauh.
***
Barusan saya menelepon mereka berdua lagi. Kami saling
menyapa, berbagi cerita, bercanda dan tertawa.
Tapi, pertanyaan mengkhawatirkan itu selalu muncul,
"Ini siapa, Gibran?"
Saya was-was menunggu jawaban anak yang sedang berlatih
bicara lebih jelas itu. Puji Tuhan, sebab dia masih meyebut saya papa...
0 Komentar