Tak Ada yang Lebih Tabah dari Peserta Ujian SIM*

Tak Ada yang Lebih Tabah dari Peserta Ujian SIM
Pengendara yang baik harus memiliki SIM


Berapa waktu lalu, saya berpikir untuk mengganti dompet. Dompet lama sudah terlalu lusuh. Mungkin dia sudah lelah keseringan menyimpan banyak kertas dan kartu, sedangkan uang yang mesti ia lindungi malah jarang masuk dan menginap di sana.

Ketika dompet baru sudah ada, saya pindahkan semua kertas dan kartu-kartu itu lagi. Saat itulah baru saya sadari, ternyata masa berlaku SIM (Surat Izin Mengemudi) telah lewat lumayan jauh.

Saya bukannya orang yang tidak patuh, hanya memang selama ini tidak pernah membuka dan memperhatikan SIM itu lagi. Saya sudah tidak ingat lagi kapan terakhir ditilang polisi hanya gara-gara melanggar lalu-lintas. Seingat saya, hampir tidak pernah ditilang selama ini. Karenanya, tidak ada satu pun petugas yang begitu peduli dengan saya dan bertanya, "Mana SIM?"

Sudahlah, saya mengaku salah karena lalai memperpanjang masa aktif SIM tersebut. Karena itu, saya berniat untuk mengurusinya kembali.

Saya langsung bertanya ke kantor polisi. Petugas informasi yang dijaga oleh polwan lumayan ramah, menjelaskan syarat-syarat memperpanjang SIM.

Saat melihat SIM saya sudah kedaluarsa, dia terangkan kalau tidak bisa diperpanjang lagi. "Harus urus ulang, Pak," jelasnya sambil menunjukkan deretan gigi putih di antara belahan bibir merahnya.

Saya ikuti saja petunjuknya demi mendapatkan SIM baru.

Saya fotocopy KTP, lalu mengurus surat keterangan sehat fisik dan psikis. Kondisi fisik mereka lakukan tes dengan mengukur tinggi dan berat badan, mengukur tekanan darah, dan tes buta warna. Sedangkan kondisi psikisnya, saya hanya duduk di depan seorang psikolog, dia tanya mengenai identitas saya, lalu tulis di kertas khusus. Selesai.

Saya kembali lagi ke ruang pembuatan SIM. Di sana, saya mengisi sebuah formulir yang intinya menuliskan identitas.

Formulir itu disatukan dalam map bersama syarat lainnya. Map itu diserahkan ke petugas yang duduk di belakang komputer, lalu mereka cocokan dengan data online di sana.

Setelah itu, saya disuruh membayar ke kasir sebesar 100 ribu rupiah. Kemudian masuk lagi ke ruangan khusus untuk sidik jari dan foto.

Setelah foto, saya diarahkan untuk mengikuti tes atau ujian teori. Saya berhasil melewati nilai minimalnya sehingga dibolehkan untuk lanjut ke tahap akhir, yaitu ujian praktik.

Bila lulus ujian praktik, maka SIM langsung dicetak. Selesai. Pulang.

Nah, persoalan kecil menghambat langkah saya pada tahap ujian praktik ini.

Sekadar Anda tahu saja, saya sudah memiliki sepeda motor pribadi sejak tahun 2008. Itu artinya, saya terbiasa mengendarai sepeda motor kurang lebih 10 tahun.

Menurut saya, itu waktu yang lumayan lama. Selama kurun waktu tersebut, saya mengendarai sepeda motor di jalanan dengan berbagai kondisi. Mulai dari aspal mulus, sampai di jalan dengan medan yang berat sekalipun. Begitu juga dengan keramaian lalu lintas, saya pernah mengenadari sepeda motor di kampung yang lalu-lintasnya cenderung sepi; di Kota Kupang yang agak ramai; dan pernah di Kota Surabaya dengan kepadatan lalu-lintas yang lebih kompleks lagi.

Hingga saat ini, semuanya berjalan aman saja. Artinya, saya bisa mengendarai dengan baik selama bertahun-tahun.

Di arena tes atau ujian praktik, kami dijelaskan oleh seorang petugas polisi tentang kriteria kelulusan.

Kami harus melewati sebuah trek yang menurut saya lumayan rumit. Pertama, ada garis lurus. Kedua, ada kelokan yang menyerupai angka 8. Ketiga, ada arena untuk zig-zag.

Di pinggir setiap arena itu dipasang tiang atau pipa. Kalau ada pipa yang jatuh tersenggol, maka sudah pasti tidak lulus. Selain itu, kaki kita juga jangan sampai menyanggah di aspal, meski cuma sebentar.

Petugas yang mengawasi tes itu memberi contoh terlebih dahulu. Pertama, dia bisa melewatinya dengan mulus. Pada kesempatan kedua, ada satu tiang yang dia jatuhkan. Itu artinya dia sendiri bisa melakukan kesalahan meskipun menjadi pemantau tes di sana.

Saat itu kami ada sekitar 9 orang, cuma 3 yang lulus. Mereka memang tidak melakukan kesalahan sedikit pun. Sedangkan kami yang melakukan kesalahan sedikit, tidak diberi toleransi sedikit pun.

Sialnya, setiap orang yang diberi kesempatan dua kali. Bila selalu gagal, maka datang lagi hari berikutnya. Kita tidak bisa mengulang-ulang di sana sampai bisa.

Saya agak kecewa karena hanya melakukan kesalahan kecil saja, kok bisa tidak lulus?

Saya membandingkan ujian teorinya. Kami tidak dituntut mendapat hasil 100 atau benar semuanya. Bila mendapatkan nilai di atas 70, maka dianggap lulus.

Pada ujian praktik, menurut saya, kalau hanya jatuhkan satu atau dua tiang saja, itu sangat manusiawi. Maklumi saja.

Saya akhirnya protes sama petugasnya, "Pak, kami ini naik motor itu hanya untuk ke pasar buat beli sayur. Bukan mau menyaingi Valentino Rossi di tikungan. Kenapa arena tesnya dibuat rumit macam itu?"

"Memang begitu prosedurnya, Pak," jawab bapak polisi dengan gaya formal.

Saat itu saya tidak mau berdebat lagi. Langsung pulang dengan perasaan kecewa.

Saya kecewa, pengalaman 10 tahun mengendarai sepeda motor tiba-tiba tidak ada artinya dengan sebuah tes yang menurut saya agak mengada-ada itu.

Tapi sudahlah, saya bersabar saja....

Hari ini, saya datang lagi untuk tes yang kedua. Hasilnya seperti video yang saya lampirkan ini. Ada berapa tiang yang jatuh, dan kaki saya kadang menjadi penopang di aspal. Kesimpulannya jelas, saya dinyatakan tidak lulus, dan dipersilakan datang lagi esok.

Tuhan, saya ini mengendari sepeda motor untuk keperluan dasar sehari-hari. Bukan untuk kebutuhan sirkus. Saya bukan pembalap atau pemain sirkus profesional. Selama 10 tahun, saya merasa aman-aman saja mengendarai sepeda motor.

Apakah gara-gara tes di arena yang tidak masuk akal itu, maka saya dianggap tidak pantas megendarai sepeda motor lagi?

***

Bapak Kapolri yang terhormat, saya sebetulnya mengapresiasi dengan aturan-aturan yang dibuat. Saya sadari betul, aturan itu dibuat supaya semuanya tertata dengan baik, dan yang lebih penting, keselamatan selalu terjaga.

Hanya saja, tolong tes-nya jangan berlebihan seperti itu lah.

Sekali lagi, saya tidak berniat menjadi pembalap atau pemain sirkus profesional. Saya menggunakan sepeda motor untuk keperluan ke pasar dan tempat kerja saja. Apakah kemampuan yang sudah saya miliki 10 tahun ini belum cukup?

Saya khawatir, bila institusi polri terlalu membuat aturan yang aneh seperti itu malah membuat masyarakat makin resisten, semakin banyak orang yang akan membangkang.

Bukankah penjara sudah terlalu penuh?

 (*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 1 Juli 2019)


 


Posting Komentar

0 Komentar