![]() |
Makan sambil menikmati senja di Kota Kupang |
Kemarin, saya makan di salah satu warung (di Kota
Kupang-NTT). Saat berbincang dengan pemiliknya, saya pun tahu kalau mereka dari
Madura. Iya, di kota ini, hampir sebagian besar warung makan dimiliki oleh
orang luar NTT, seperti Jawa, Madura, Padang, Sunda, dan sebagainya. Ada pun
warung orang lokal, jumlahnya tidak banyak. Itu pun mereka hanya menyajikan
menu lokal yang tidak bisa (tidak halal) bagi semua orang, seperti daging RW
(anjing) dan daging babi.
Saat berhenti di depan warung makan itu kemarin, saya
melihat ada seorang Bapak bersama istrinya duduk di depan kaca etalase menu
masakan. Saat saya masuk ke pintu, istrinya buru-buru mengikuti dari belakang.
"Mau makan apa, Mas?" tanyanya kemudian.
Saya hanya menunjuk beberapa menu pada etalase, apa-apa
saja yang ingin disantap. Sementara ibu itu sibuk menyiapkan makanan yang
dipesan, saya melangkah menuju tempat duduk.
Belum sempat saya duduk, seorang nona berpapasan dengan
saya. "Mau minum apa, Kak?" tanyanya dengan sigap.
Dari wajahnya, rambutnya, dan logatnya, -tanpa perlu
ditanya lagi- nona itu pastinya orang NTT. Tanpa perlu saya tanyai pula, saya
meyakini kalau dia merupakan karyawan di warung itu. Sedangkan boss-nya adalah
sepasang suami-istri dari Madura tadi.
Setelah melihat daftar koleksi minuman yang nona itu
tawarkan, pilihan saya jatuh pada es jeruk.
Sambil menunggu semua pesanan datang, saya melamun
sebentar. Eh, bukan melamun, tapi berpikir. Tiba-tiba terlintas saja dalam
benak, "Kenapa orang Madura, -orang yang merantau ke NTT- menjadi boss
atau pemilik warung makan, sedangkan orang asli NTT malah menjadi karyawan
mereka?"
Saya memikirkan hal itu dengan serius. Saking seriusnya,
saya makin lapar dan kepala terasa nyut-nyut.
Saya terpaksa berhenti berpikir sejenak. Begitu pesanan
saya mendarat di meja, tidak butuh waktu lama, semuanya lumat dalam mulut
hingga usus. Saya mulai agak tenang, kepala pun terasa plong saat meneguk es
jeruk.
Saya mulai berpikir lagi persoalan tadi. Masalah itu juga
menjadi salah satu sub topik debat calon Gubernur dan Wagub NTT di salah satu
stasiun tv swasta baru-baru ini.
Memang saya tidak mengikuti perdebatan itu secara
lengkap. Saat saya mulai ikuti, presenter sedang menyilakan paslon mengambil
lotre pertanyaan dalam sebuah wadah.
Pertanyaan pertama ditujukan pada paslon no.3, paket
Harmoni (Benny K. Harman & Benny Litelnoni). Inti pertanyaannya:
"Bagaimana cara menumbuhkan budaya wirausaha bagi warga NTT?"
Pertanyaan itu langsung dijawab oleh Pak Benny Litelnoni.
Sialnya, saya kurang fokus dengan jawaban yang beliau sampaikan. Saya merasa
jawaban yang beliau sampaikan kurang mengena dengan tujuan pertanyaan yang
disampaikan oleh pemandu debat.
Jawaban itu kemudian dikomentari oleh paslon no. 4,
Victoy-Joss. Bagi mereka berdua, caranya mudah. Kirim saja pemuda/i NTT ke luar
daerah/negeri untuk belajar dari orang-orang di sana. Kalau sudah terampil,
barulah mereka pulang untuk buka lapangan kerja sendiri di NTT.
Bagi saya, ide paslon 4 memang baik, tapi belum bisa
dipastikan orang-orang yang diutus ke luar daerah tadi mau kembali ke
daerahnya. Belum lagi mereka terjabak dalam rasa gensi, "Masa jauh-jauh
ke belajar luar negeri, pulangnya buka warung." Misalnya seperti itu.
Selanjutnya, paslon 2 -Ibu Emmy Nomleni- yang menanggapi.
Lagi-lagi kurang fokus, sehingga tidak bisa mengingat dengan baik jawabannya.
Tapi secara umum, bagi saya, jawaban beliau untuk sub topik ini kurang mengena.
Lalu Pak Christ Rotok yang mewakili paslon no.1,
menanggapi dengan ide yang lumayan unik. Bagi beliau, jika mereka terpilih,
mereka tidak akan melarang orang dari luar yang berwirausaha di NTT. Kuncinya
pada persaingan. Bila mau berwirausaha, masyarakat NTT harus mampu bersaing
dengan siapapun.
Bagi saya, jawaban Pak Chris lumayan ideal. Tapi, apakah
bisa kita bersaing dengan orang luar tanpa usaha yang serius? Paslon no.1 tidak
memberikan gambaran yang jelas, bagaimana caranya warga kita bisa bersaing
dengan orang luar, khususnya dalam hal berwirausaha.
Saat paslon no.3 kembali diberi kesempatan menanggapi ide
atau pendapat paslon lain, Pak Benny K. Harman mengarahkan mic dekat mulutnya.
Beliau menyempurnakan ide-ide yang telah disampakan oleh
rekannya tadi. Bagi Pak BKH, ada tiga hal yang perlu disiapkan agar warga NTT
bisa berwirusaha secara mendiri dan mampu bersaing dengan orang dari mana pun.
Pertama, pemerintah perlu mendirikan banyak Balai Latihan
Kerja. Anak-anak muda NTT perlu dilatih sesuai minat masing-masing agar lebih
terampil dan bekerja dengan profesional.
Kedua, anak-anak yang sudah terampil tadi, perlu didukung
modal usaha oleh pemerintah dengan kredit ringan atau tanpa bunga.
Ketiga, pemerintah harus memastikan proses perijinan
kerja tidak terlalu ribet. Prosenya harus lebih ringkas dan tidak menyulitkan
bagi warga yang ingin berwirausaha.
Saya spontan bertepuk tangan setelah Pak BKH berhenti
bicara. Bagi saya, cuma beliau yang menyampaikan solusi lebih komplit bila
dibanding paslon lain. Bagi saya, Pak BKH lebih unggul untuk sub topik yang
satu ini.
Sebenarnya ada satu lagi yang kurang. Semua paslon kurang
memahami pertanyaan yang disampaikan sang pemandu. Sudah diingatkan bahwa
mereka perlu mengaitkan persoalan wirausaha ini dengan budaya.
Menurut saya, itu ada kaitannya dengan budaya masyarakat
kita yang terlalu Jawa-sentris. Mau makan pisang goreng, belinya di orang jawa.
Mau makan bakso, salome, ayam lalapan, gado-gado dan masih banyak lagi, belinya
di orang jawa.
Padahal, ada juga beberapa orang asli NTT yang membuka
usaha kuliner yang disebutkan di atas. Tapi, orang kita sendiri yang memberi
citra buruk. Misalnya, kita sering mendengar orang serampangan bicara:
"Bakso buatan orang Timor itu tidak enak."
"Sudahlah, biar orang Jawa saja
yang jualan bakso."
"Mau jadi Mas Timor, ko?"
Masih banyak pernyataan negatif lain dari orang NTT,
ditujukan ke sesama orang NTT yang sedang merintis usaha. Bila demikian, Anda
bisa menebak apa yang terjadi selanjut. Usaha itu bangkrut, lalu kita kembali
menjadi karyawan pada orang Jawa yang merantau di tanah kita. Kalau kita renung
baik-baik realitas ini, kadang-kadang membuat perut tiba-tiba mules.
Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bagini, kalau secara umum di Indonesia ada slogan:
"Cintailah produk-produk Indonesia," maka sebaiknya kita di NTT perlu
ada juga slogan yang bernada sama: "Cintailah produk-produk NTT."
Kita sendiri perlu bangga mengonsumsi produk-produk
lokal. Bila itu terjadi, maka sebagian orang NTT akan menekuni dunia bisnis
sesuai tren permintaan konsumen. Impian memiliki banyak wirausaha sangat
mungkin terwujud.
***
Tadi sore, ada dua orang mahasiswa yang mengaku anggota
dari sebuah organisasi. Mereka ke rumah, hendak menawarkan dagangan, lebih
tepatnya makanan. Mereka mengakui mau berjualan untuk menyelanggarakan
sebuah kegiatan. Dana operasional kegiatan itu diperoleh dari hasil jualan
tadi.
"Apa yang kalian jual?" Saya bertanya dengan
antusias. Saya bangga, adek-adek ini memiliki naluri wirausaha yang baik.
"Kami jual BKH, Pak."
"Hah...!?" Saya agak terkejut.
"BKH itu Bubur Kacang Hijau, Pak"
"Ohhh...,"
saya kembali merasa lega. Sore tadi, kami pun makan BKH.
0 Komentar