“Hidup itu..,Tuhan
yang menentukan, kita yang jalani, dan orang lain yang komentar”, merupakan
tulisan yang sering saya baca di media sosial (facebook & twitter). Awalnya
saya menilai orang yang menulis seperti itu terlalu berlebihan. Mereka terlalu
menganggap orang lain di sekitarnya sebagi variabel pengganggu yang kerja
mengusik kehidupan, berkomentar ini dan itu, pokoknya meribetkan.
Lambat laun, saya kemudian perlahan
mempercayai kalimat/ungkapan tadi. Bahkan saya mengalaminya secara langsung. Dunia
memang sangat tidak bersahabat dalam kondisi tertentu.
Sebagai manusia, saya memiliki kekurangan
diantara beberapa kelebihan. Salah satu persoalan yang cukup mengganggu saya
adalah masalah berat badan (gemuk/obesitas). Saat itulah awal mulanya
komentar-komentar digelontor bertubi-tubi dari berbagai sudut. Layaknya pengamat,
mereka terlihat “cerdas” memberi saran. Berikut saya kisahkan beberapa komentar
yang sempat saya ingat seputar masalah berat badan.
Saat Gemuk (Perut membuncit)
![]() |
KONDISI TUBUH SAAT GEMUK/PERUT BUNCIT |
Adakah pria yang ingin perutnya membuncit ? Saya kira,
mayoritas akan menjawab tidak. Termasuk saya, tidak pernah menginginkan
gemuk/obesitas/perut membuncit. Selain secara estetika tidak menawan, dari sisi
kesehatan, berat badan berlebih beresiko lebih besar mengidap berbagai
penyakit, seperti jantung koroner, DM, hipertensi (tekanan darah tinggi),
stroke, dll.
Tapi, apa boleh buat, saya pernah
mengalaminya. Berat badan selalu meningkat, lingkar pinggang melebar, lemak tertimbun
secara perlahan, perut membuncit. Akibatnya, badan semakin malas untuk
digerakan. Bergerak sedikit cepat merasa lelah, nafas ngos-ngosan, keringat
bercucuran di mana-mana. Rasanya ingin tidur terus. Sudah begitu,
kunyah-menngunyah makanan sulit dihentikan. Kasihan kalau makanan disisakan,
apalagi dibuang, sayang. Intinya, rakus...!!! Sulit mengendalikan nafsu.
Lalu, diperparah lagi dengan berbagi
komentar yang menyayat kalbu. Berikut saya uraikan satu-satu:
1. Dipanggil “Boss”. Entah mengapa, sebagian besar orang
mempersepsikan seorang ‘Boss’ dengan perut buncit. Akhirnya, beberapa teman
memanggil saya dengan sebutan ‘Boss’. Mestinya kita bangga dipanggil boss, karena
secara sosial lebih dihargai/disegani dibanding orang biasa.Tapi, setelah saya
pikir-pikir, panggilan sebetulnya menghina secara halus. Begini, mereka
menyebut ‘boss’, tapi saya tidak punya usaha milik sediri. Tidak ada bisnis
tertentu yang saya kelola. Aneh kan kalau dipanggil seperti itu ?
2. Dari sindiran halus seperti di atas, dilanjutkan dengan
tingkatan yang agak kasar. Misalnya, “Woe.., perut itu macam baskom saja”. Ada juga
yang bilang, “Pasti banyak cacing yang beranak-pinak dalam perutmu”.
3. Ada juga yang mengasosiasikan perut buncit dengan masalah
seksual. Mereka mengejek, “Orang gemuk itu, ‘anunya’ kecil, tidak bertenaga”.
4. Tidak sedikit juga yang mengatakan saya seperti orang
hamil saja (padahal laki-laki). Sedikit tidak sopan mereka katakan, “Masa
cewek-mu tidak hamil, justru malah kamu yang hamil ?”
5. Dalam kelas, saya sering dipanggil dengan sebutan ‘Bapak’
(kesannya sudah tua dan beristri, padahal masih bujang), sementara yang lain
dipanggil ‘Mas’ (terkesan muda) oleh Dosen. Teman-teman mengatkan, itu karena
perut saya buncit.
6. Dan masih banyak lagi deretan atau litani penghujat yang satir.
Kalau Mbak Cita-Citata bilang dalam lagunya, “ Sakitnya itu di sini” (sambil
mengelus-elus dada).
Meski sering dihujat, saya tetap memberi senyuman persahabatan yang baik
bagi mereka. Saya ikhlaskan semuanya demi relasi yang damai dan berkelanjutan. Tapi,
dalam diam sebenarnya “saya tidak diam”. Saya terus berpikir, berusaha, berdoa
untuk sebuah perubahan yang lebih baik.
Hingga akhirnya, 100 hari yang lalu, tidak sengaja saya menemukan cara yang
sesuai dengan kepribadian. Saya menamakannya dengan sebutan “gaya hidup baru”
atau biar terdengar keren menggunakan bahasa inggris, “new life style”. Saya menemukannya dari berbagai buku yang dibaca,
film atau video yang ditonton, diskusi dengan orang yang berpengalaman, dan
dari ilmu keperawatan yang ditekuni selama ini. Hasilnya memuaskan, saya
kehilangan berat badan yang cukup signifikan. Dan inilah satu-satunya ‘kehilangan’
yang sangat saya syukuri.
Saat BB Turun (Orang menyebutnya Kurus)
![]() |
KONDISI SAAT 100 HARI SETELAH MENJALANI GAYA HIDUP BARU (FOTO 1) |
Ketika baru 2 minggu mulai menjalani gaya hidup baru, perubahan bentuk
tubuh mulai nampak. Apalagi hari ini (21 Januari 2015) merupakan hari ke-100
saya menjalani gaya hidup baru tersebut. Perubahan drastis terjadi begitu
cepat. Hal itu terungkap dari komentar teman-teman.
“Kok sekarang kurus ?”
“Kamu tidak makan ya Saver ?”
“Apa dari NTT tidak ada kirim uang makan ?”
“Kamu mengalami bencana kelaparan ya ?”
“Aduh.., jangan sampai kamu kena HIV/AIDS sampe kurus begitu ?”
“Atau jangan-jangan kamu konsumsi Narkoba kali ya ?”
“Wah.., kamu jelek kalau kurus begini. Coba kembali
seperti dulu ?” (Padahal, dulu saat gemuk, komentarnya juga negatif)
“Jangan sampai kamu stress karena kerja skripsi ya ?”
(Seolah-olah saya sendiri yang paling ‘bodoh’ dalam kelas hingga sampai kurus
berpikir dan mengerjakan skripsi).
“Dan lain-lain..., dan lain-lain..., dan lain-lain”.
Banyak sekali, tak terhingga.
Dari fenomena yang saya alami ini, kesimpulannya jelas dan tidak mungkin
salah. Kalimat atau ungkapan yang saya tulis pada paragraf pembuka di atas
adalah suatu kebenaran umum yang tidak terbantahkan. Memang beginilah kehidupan
kita. Dan itu normal. Kita tidak perlu repot-repot merubahnya, memaksakan
kehendak kita terhadap sesama untuk berkomentar yang baik-baik saja. Sangat sulit
dilakukan.
Hal yang kita bisa buat adalah mengendalikan diri sendiri. Kita cukup mendengar
komentar itu, lalu lupakan jika itu tidak bermanfaat bagi kebaikan hidup. Jika masih
ada hal yang positif, ambil manfaatnya.
Beruntung, telah lama saya membaca buku-buku self-help, seperti: Kekuatan Pikiran, The Secret, The Magic of Thinking
Big (Berpikir dan Berjiwa Besar), ACT= Acceptance
and Commitment Therapy (Daplikasikan dalam penelitian saya untuk pembuatan
skripsi) dan berbagai judul lainnya. Semua buku tersebut memberi petunjuk bagi
saya dalam menyikapi komentar atau pikiran negatif, pikiran yang tidak
menyenangkan atau pikiran yang tidak bermanfaat bagi kebaikan hidup dan
kedamaian.
Saya bahagia dengan kondisi tubuh sekarang. Saya mencintainya dari ujung
kaki hingga ujung kepala. Tidak peduli apapun komentar orang lain. Tubuh saya
aka semakin sehat, stabil dalam kondisi berat badan ideal, metabolismenya
berjalan dengan baik, peredaran darah lancar, semakin bugar dan kekar.
![]() |
100 HARI SETELAH MENJALANI GAYA HIDUP BARU (FOTO 2) |
Ketika Sang Murid Siap, Sang Guru Akan Muncul
Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya menawarkan diri untuk berbagi
cara ‘gaya hidup baru’ yang telah saya buktikan hasilnya. Khusus bagi Anda yang
mau berubah, ingin mendapatkan berat badan seideal mungkin.
Dalam membagi pengalaman ini, saya terinspirasi dengan cara Julian Mantle membagikan
ilmu kebijaksanaan kepada sahabatnya, Robin. Cerita lengkapnya bisa membaca
buku “The Monk Who Sold His Ferrari” karangan Robin Sharma. Dalam mempelajari ilmu
kebijaksanaan di Himalaya, salah satu prinsip yang harus dianut adalah sebuah
ungkapan “Ketika sang murid siap, sang guru akan muncul”.
Apa maksud dari ungkapan itu ? Jika ingin mempelajari sesuatu, bersiaplah. Kosongkan
pikiran skeptis, terbukalah selama beberapa saat. Biarkan pemikiran baru masuk
mengisi ruang kosong yang gelap. Berisiaplah menerima pelajaran baru, niatkan
yang baik, niscaya akan memperoleh banyak manfaat.
Manifestasi yang mudah terlihat dari sikap tersebut bisa dilihat dari
antusiasme di kolom komentar. Katakan kalau mau atau siap menerima hal yang
baru. Tulislah secara jelas kalau mau pengalaman ‘gaya hidup baru’ yang saya
jalani dibagikan buat orang lain lewat tulisan. Jika responnya bagus dan
banyak, dalam watu yang tidak begitu lama akan segera saya bagikan untuk semua.
Sekian saja, Salam Sejuta Mimpi !!! Kenal lebih jauh dengan saya di Facebook.
Bisa baca juga di KOMPASIANA.
0 Komentar