Kisah Ringkas Belajar Menulis*

Kisah Ringkas Belajar Menulis
Bersama pimpinan Victory News, Bapak Chris Mboeik


Saat acara Meet and Greet "Ngobrol Seru Tentang Tantangan Jurnalisme Menangkal Hoax di Era Milenial" kemarin, saya mengambil kesempatan untuk mengenalkan buku #JalanPagi.

Saat moderator membuka sesi diskusi, saya melihat di sekeliling, belum ada yang mengancungkan tangan. Moderator terus berbasa-basi, mendesak agar ada yang mau bertanya. Saya langsung angkat tangan, lalu disuruh maju. Saya berdiri di samping panggung bagian kanan.

Setelah memastikan pelantang suara sudah hidup, saya memperkenalkan diri. Lalu saya mengaku tidak akan bertanya, tapi ingin berbagi cerita saja. Saya bercerita seperti berikut ini...

Saya sangat bangga dengan adek mahasiswa yang tadi mengaku sudah pernah menulis opini di koran. Luar biasa! Masih muda, tapi memiliki keberanian dan kemampuan menyampaikan ide kepada khayalak. Kalau sampai terbit di koran, itu adalah tulisan yang bagus.

Saya juga mengapresiasi peserta diskusi hari ini yang didominasi mahasiswa. Sejak dini, kalian sudah dibekali informasi dan pengetahuan yang baik.

Saya masih ingat, dulu sekitar tahun 2008, ruang diskusi bagi mahasiswa di Kota Kupang tidak sebanyak saat ini. Mungkin dulu ada diskusi, tapi informasi kegiatannya tidak tersebar luas seperti saat ini.

Akibatnya, kami dulu lebih banyak memanfaatkan hari Sabtu dengan hal-hal tidak berguna di kos-kosan. Makan mie. Minum sopi. Dan sebagainya.

Ketika saya merantau lagi ke Surabaya untuk melanjutkan kuliah, di sana baru mendapatkan suasana belajar yang baik. Sebagai kota literasi, hampir tiap minggu ada kegiatan pelatihan menulis di sana. Saya selalu berusaha untuk ikut dan mulai belajar menulis.

Saya berlatih menulis dan memublikasikannya di media sosial, blog pribadi maupun blog keroyokan seperti Kompasiana.

Tahun 2016 saya lulus kuliah, lalu pulang kembali ke Kupang. Saya masih terus berlatih menulis, meski belum berani mengirim tulisan ke koran.

Selama di Kupang, saya ikuti berbagai komunitas literasi, salah satunya Komunitas Secangkir Kopi.

Suatu ketika, mereka ada pelatihan menulis. Saya ikut lagi, meski sudah tidak terhitung lagi sudah berapa kali saya hadir dalam ruang pelatihan menulis.

Seminggu setelah pelatihan itu, ada seorang mahasiswi yang memamerkan tulisannya terbit di koran Victory News (VN).

Saya terpukul sekali saat itu, masa seorang mahasiswa bisa menulis opini di koran, sedangkan yang saya sudah lulus sebagai sarjana keperawatan belum berani juga menulis di koran.

Sejak saat itu, saya makin giat berlatih. Kebetulan saat itu sedang banyak kejadian bunuh diri. Saya pun menulis tentang fenomena tersebut dari pandangan seorang perawat. Berhasil! Langsung terbit di Victory News. Jadi, tulisan pertama saya di koran itu ada di VN. Tepuk tangan dulu untuk VN....

Saat itu, saya melirik ke arah Pak Chris Mboeik, dia tampak tersenyum bangga saat saya menyebut koran besutannya itu.

Saya makin senang melihat reaksinya seperti itu. Sebab, itu artinya usaha saya itu membuahkan hasil.

Moderator tampak tidak tenang dan memberi kode agar saya berbicara singkat saja. Tapi saya berani membantahnya saat melihat Pak Chris terus-terusan tersenyum. "Ini penting untuk disampaikan, Kaka," saya membisik pelan ke moderator, lalu terus bicara.

Rekan-rekan sekalian, semenjak satu tulisan itu terbit, saya kirim terus tulisan terbaru dan berhasil terbit tiap bulannya.

Lalu, suatu ketika ada yang menyarankan saya untuk mengecek honor tulisan ke kantor redaksi. Saya pergi dengan membawa potongan koran yang berisi tulisan yang pernah terbit. Ada opini dan cerpen.

Saat itu, saya dikasi honor yang lumayan untuk setiap tulisan opini. Sedangkan cerpen, memang belum ada honornya. Saya tidak tahu kalau sekarang. Saya jeda sebentar, lalu menoleh ke arah moderator yang merupakan salah satu redaktur VN juga. Dia membisik, sampai sekarang cerpen belum ada honornya.

Supaya peserta diskusi ketahui, -saya lanjutkan lagi, media massa di Kota Kupang tidak semuanya menyediakan honor bagi penulis. Tapi VN, mereka sangat menghargai penulis dengan menyiapkan honor meski pun masih kecil.

Hadirin bertepuktangan tanpa saya minta lagi. Saya lirik lagi ke Pak Chris, beliau makin tersenyum lebar.

Saya lanjutkan lagi...

Setelah kumpulkan berbagai tulisan di media cetak itu, jumlah lumayan banyak juga. Lalu, muncul ide untuk menerbitkannya dalam bentuk buku.

Saat berencana membuat buku, sebenarnya saya mau datang ke redaksi VN. Yah, barangkali ada yang mau beri testimoni untuk buku tersebut. Tapi, segera saya urungkan. Sebab, saya takut mereka menganggap saya ini siapa sampai-sampai percaya diri sekali menerbitkan buku.

Meski belum berani ke redaksi VN saat itu, buku itu akhirnya terbit juga. Saat ini saya membawa satu saja (sambil membuka tas anyaman tikar di samping pinggang), buku ini saya persembahkan khusus buat keluarga besar VN, lewat Pimpinan Umumnya: Pak Chris Mboeik.

Hadirin bertepuktangan lagi. Moderator langsung berkomentar, "Ayo serahkan langsung sudah..."

Pak Chris maju, lalu saya mendekat. Saya berikan buku itu, foto sebentar, kami bersalaman, foto lagi, lalu disusul tepuk tangan hadirin.

Saya tutup kesempatan itu dengan memberi peneguhan kepada peserta diskusi.

Kalian ini mesti bersyukur sudah mendapat kesempatan diskusi seperti ini sejak masih mahasiswa. Gunakan kesempatan ini untuk belajar, lalu praktikkan...

***

Setelah saya bicara, Pak Chris langsung menanggapi. Intinya beliau senang sekali saat itu. Dia berkali-kali membolak-balik buku saya itu.

Kemudian dia berkata, dalam waktu yang tidak lama lagi, VN akan membuka rubrik baru, yaitu: Resensi Buku.

Kita akan memprioritas buku anak-anak NTT. Siapa yang berani membuat resensi pertama dari buku ini? (Beliau mengangkat buku saya).

Salah seorang peserta perempuan mengangkat tangan.

"Iya, kamu....," Pak Chris langsung menunjuk salah seorang yang mengangkat tangan tadi.

Pak Chris menyerahkan buku itu, lalu berpesan akan menunggu hasil resensinya untuk diterbitkan di VN. Beliau menjanjikan akan menyediakan honor bagi peresensi. Bila penulisnya mahasiswa, honornya bisa lebih besar lagi.

Peserta bertepuk tangan lebih kencang lagi begitu mendengar ada honornya....

Hmmmm...

 (*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 11 Maret 2019)



Posting Komentar

0 Komentar