Kucing di kos-kosan saya di Surabaya |
Belum
lama ini, barangkali sudah jadi pengetahuan umum, ada sebuah video yang viral
beredar, menunjukkan orang sementara menyiksa anak kucing yang masih lemah.
Demi Neptunus dan segala Yang Maha Kuasa, perilaku orang itu memang
keterlaluan. Harus dikecam. Bila perlu tidak boleh dimaafkan.
Saya
ikut gemas saat itu. Apalagi, mungkin Anda juga sudah tahu, saya termasuk orang
yang lumayan perhatian dengan hewan peliharaan, termasuk kucing. Kalau kamu
pembaca setiap tulisan receh di FB ini, pasti sudah tahu tentang kucing di
kos-kosan saya di Surabaya.
Ketika
sepintas melihat video penyiksaan kucing itu, saya langsung teringat pada
kucing di kos yang terpaksa saya tinggalkan gara-garah wabah corona.
Saya
sempat berpikir, adakah orang yang memperhatikan kucing-kucing di kos selama
saya tidak ada? Saya yakin, rekan kos lain juga ikut pulang kampung, sehingga
mereka benar-benar terlantar. Saya bayangkan, kucing itu terpaksa mencari
makanan sisa di tempat sampah supaya bisa bertahan hidup. Kasian sekali...
Rasa
kangen saya dengan kucing-kucing di kos itu sedikit terobati begitu tahu di
rumah kami juga sering kedatangan kucing liar. Tidak jelas siapa pemilik kucing
itu.
Ketika
saya tanyakan beberapa tangga terdekat, alih-alih menerangkan siapa pemilik
kucing itu, malah menceritakan bagaimana mereka melempar dengan
batu-parang-pisau dan benda-benda berbahaya lainnya supaya binatang yang
dianggap pengganggu itu lekas mati.
Saya
diam saja, meski dalam hati merasa ngeri juga dengan kekejaman para tetangga
itu.
Tidak
lama berselang, lewat seekor kucing yang kurus sekali, tonjolan tulangnya
sangat nampak. Ada seutas tali yang melingkar di perutnya.
"Itu
kucing dijerat Pak Boy (nama samaran)," jelas salah seorang tetangga,
"waktu itu sempat dilempari baru di kepalanya, tapi ikatannya terlepas.
Makanya seperti itu..."
Kucing
itu, saking lemahnya, mungkin tinggal berapa hari saja akan tamat riwayat.
Hari
lain, saat kami bercerita di gang perumahan, lewat lagi seekor kucing. Seorang
tetangga saya spontan mengambil batu, kemudian melempar ke arah kucing.
"Hmmm,
coba kena kepala tadi...," tetangga saya agak menyesal karena lemparannya
meleset, "Dia itu pernah makan ikan di dapur," tambahnya dengan mimik
geram.
"Ho...,
itu hari ju dia makan ketong pung ikan," tetangga yang lain membenarkan.
Saya,
sebagai orang yang sangat menyayangi kucing, menjadi sangat minoritas di
lingkungan tempat kami tinggal. Rupanya hampir semua tetangga saya membenci
kucing. Dan demi relasi yang baik dengan para tetangga, saya tidak bisa membela
para kucing itu secara terang-terangan.
Setiap
kali tetangga membahas masalah kucing, saya lebih banyak diam, meski di dalam
hati terasa perih melihat penderitaan kucing-kucing itu.
Sebagai
gantinya, tiap kali ada makanan sisa, terutama kalau ada ikan, saya selalu
meletakkan di belakang dapur. Saya yakin, makanan itu akan disantap para kucing
itu, entah siapa saja yang beruntung di antara mereka.
***
Tiga
hari yang lalu, setelah kami makan lauk tahu-tempe saja selama seminggu,
lewatlah seorang bapak penjual Ikan Kombong.
Saya
tanya Gibran, ternyata
dia mau makan ikan hari itu. Jelas, sudah lumayan lama makan tanpa menu ikan.
Saat itu mamanya sedang bekerja di RS.
Sebagai
ayah dan suami siaga, saya bersemangat membeli dan mengolah ikan itu jadi
santapan lezat.
Khusus
untuk menu ikan, saya punya resep andalan membuat ikan kuah yang diajarkan
langsung oleh mama saya di kampung dulu. Resep itu, kita sebut saja: Ikan Kuah
Bumbu Kuning.
Ikan
Kombong yang sebesar tiga jari itu saya bersihkan, kemudian potong jadi 3
bagian. Lalu, cuci sampai bersih.
Bumbunya,
saya kupas 3 siung bawah merah, 2 siung bawang putih, 1 potong kunyit. Semuanya
diulek halus setelah ditambah merica dan ketumbar bubuk.
Tumis
bumbu yang dihaluskan tadi, kemudian tambahkan daun jeruk. Setelah agak wangi
dan bumbunya setengah matang, masukan air secukupnya. Lalu tambahkan sedikit
asam dan daun sere. Tunggu sampai airnya mendidih.
Saya
masukan ikan ketika air mendidih. Belum apa-apa, sudah tercium bau lezat yang
mengganggu asam lambung. Tidak butuh waktu lama, ikan itu pun matang.
Gibran
merengek minta makan. Saya bujuk untuk menunda sebentar, tunggu ikan kuah itu
agak dingin. Gibran setuju, lalu kami menonton Spongebob supaya tidak jenuh
menunggu. Ikan dalam periuk ditinggalkan di dapur dengan kondisi terbuka,
supaya uap panasnya segera berkurang.
Kami
lumayan lama keasyikan menonton aksi konyol para warga Bikini Bottom, hingga
akhirnya Gibran mengingatkan lagi, "Bapa, Gibran lapar...."
Saya
segera ke dapur, hendak mengambil ikan. Oh Tuhan, darah saya berdesir hebat, di
periuk hanya ada kuah kuning. Ikannya tidak ada lagi.
"Puka
meong..., ikan di mana neh?"
Saya
maki-maki saat itu. Saat saya sedang sangat lapar, kemudian Gibran merengek
minta makan, eh, ikannya hilang. Anak Tuhan mana yang bisa sabar?
Terpaksa
siang itu kami membeli Mie Goreng saja, salah satu alternatif ketika situasi
kepepet seperti itu.
***
Kemarin,
kami duduk santai dengan beberapa tangga lagi. Minum kopi bersama, meski tetap
menjaga jarak aman dan mengikuti protokol kesehatan lainnya.
Saat
asyik ngobrol, ada kucing yang kebetulan lewat. Salah satu tetangga kami
langsung mengambil batu, kemudian ancang-ancang melempar.
"Kasi
mati sa, kasi mati sa, kasi mati sa...," saya menyemangati tetangga itu
supaya lemparannya tepat mengenai kucing.
Bayangan kuah kuning tanpa ikan
tiba-tiba memenuhi batok kepala saya. Entah dorongan dari mana, saya ikut
berdiri, memungut batu dan ikut melempar, "Mati kau...."
0 Komentar