Selama pandemi corona, perkuliahan hanya berlangsung di Zoom saja |
Pagi itu, sebagaimana biasanya, kami lebih dulu berada
dalam kelas. Duduk dengan perasaan tidak menentu. Apakah yang akan terjadi pada
saat kuliah nanti? Itu pertanyaan yang selalu muncul dalam benak saya.
Dosen yang sedang kami tunggu ini terkenal sangat
disiplin. Kalau ada mahasiswa yang datang terlambat, dipersilakan menutup pintu
dari luar. Metode itu benar-benar bekerja sangat baik. Bahkan mahasiswa baru
yang hanya mendengar cerita dari para senior saja, langsung ikut tertib.
Barangkali karena belum terbiasa disiplin, kami terlihat
tegang menjelang kuliah bersamanya. Suasana begitu hening, hanya terdengar
desahan nafas sendiri. Tiap menit, kami menoleh ke pintu masuk, jangan-jangan
beliau sudah datang.
Oh, pintu sudah terbuka. Beliau melangkah dengan gagah,
tampak tenang, tatapannya menghipnotis. Suasana kelas makin tenang.
Setelah meletakkan laptop jinjingnya di atas meja, beliau
meraih pelatang suara. Melihat ke arah kami, kemudian tersenyum. Lega sekali
rasanya. Senyuman pertama itu memberi petunjuk awal kalau suasana perkuliahan
selanjutnya akan berjalan dengan rileks, penuh canda-tawa, tanpa kehilangan
makna.
Setelah memberi salam pembuka, menanyakan kabar, beliau
meminta salah seorang teman kami yang terkenal piawai mendaraskan ayat-ayat
Alqur'an.
Agak aneh memang, tidak biasanya terjadi seperti itu
selama perkuliahan sebelumnya. Beliau bukan dosen pelajaran agama. Kenapa malah
ada bacaan kitab suci? Apalagi saya yang non-muslim, tidak terbiasa
mendengarkan pembacaan Alquran secara langsung seperti saat itu, kalau lewat tv
sudah biasa.
Suara teman saya memang merdu. Meski tidak mengerti
isinya, saya tetap bisa menikmati alunan nada suaranya.
Saya baru paham maksud ayat yang telah dibacakan itu
setelah dosen kami menjelaskan makna ayat tersebut. Kemudian beliau kaitkan
dengan kondisi ketidakpastian mengahapi wabah Covid-19, termasuk dalam
perjuangan selama kuliah.
Pada akhirnya, saya makin menikmati uraian tersebut.
Benar kata orang yang bilang kalau ajaran tiap agama itu pada dasarnya baik,
pesannya berlaku universal. Pagi itu, saya juga merasakan apa yang diuraikan
berhubungan dengan kondisi yang dialami.
Dari sekian banyak nasehat dari dosen yang sesaat menjadi
khotib itu, saya mengingat dengan baik tentang jawaban doa dari Tuhan itu
bersifat KTP.
K itu maksudnya kontan. Ada doa-doa kita yang langsung
dijawab atau dikabulkan secara langsung. Kontan. Hari ini minta (berdoa),
esoknya langsung dapat, persis seperti apa yang diminta.
T itu artinya tunda. Kita sudah berdoa, berbuat baik,
beramal, tapi belum dikabulkan juga. Kita makin resah, mulai skeptis. Apakah
Tuhan itu benar ada? Kalau ada, apakah Dia mendengarkan doa? Dan keresahan lain
yang mengiringi perasaan tidak sabarnya kita sebagai manusia. Padahal, Tuhan
tetap mengabulkannya pada waktu yang lain. Hanya ditunda saja, mungkin Tuhan
mau mengukur seberapa besar kita menginginkannya.
P itu artinya pengganti. Terkadang apa yang kita doakan
tidak terkabul sama sekali. Bukannya tidak terkabul, tapi diganti dengan yang
lain. Misalnya tahun ini kita berdoa mendapat rejeki yang banyak supaya bisa
beli sepeda. Sampai akhir tahun belum berhasil juga. Eh, ternyata tahun depan
dapat berkat yang banyak, kita tidak bisa membeli sepeda lagi, tapi langsung
sepeda motor saja.
Cuma tiga hal itu yang saya ingat terus dari nasehat pagi
itu, saat kami masih menjalani kuliah tatap muka di kampus, beberapa hari
sebelum kebijakan perkuliahan daring diberlakukan.
Saat ini, perkuliahan berlangsung di ruang Zoom. Kami
hanya bisa saling melihat dan menyapa lewat kotak-kotak kecil di layar
komputer.
Saya kembali merindukan kuliah di kelas lagi. Saya terus
berdoa supaya wabah Corona ini segera berlalu. Jawaban doanya sudah jelas,
seputaran KTP saja. Semuanya itu baik...
Selamat hari
Minggu, berkah dalem...
0 Komentar