Jalan Malam, Makan dan Cerita*

Jalan Malam, Makan dan Cerita
Makan malam di Pondok Kaka Gusty Rikarno


Tulisan ini mestinya mengisi catatan rutin #JalanPagi yang saya buat selama ini. Tapi, mau bagaimana lagi, di hari libur ini, saya malah baru bangun tidur jam 12.00.

Semalam memang saya tidur agak telat. Sekitar pukul 02.00 dini hari baru mulai berusaha tidur di atas kasur. Saya masih berusaha membaca berita di hp, biar mata segera lelah, dan berharap segera tertidur.

***

Kemarin sore, saat masih santai di rumah, saya dikagetkan ajakan Bapa Pius Rengka lewat komentar di salah satu unggahan saya di FB. Beliau mengajak saya dan beberapa kru Komunitas Secangkir Kopi (KSK) Kupang seperti Kae Rian Seong, dkk., untuk berkumpul di pondoknya Kae Richarno Gusty.

Saya agak kaget, karena sebelumnya kami tidak punya rencana apa-apa. Tidak ada agenda diskusi khusus sebagaimana biasanya.

"Kita kumpul untuk cerita-cerita, kah...," kira-kira begitulah inti dari ajakan itu.

Saya tentu saja tidak bisa menolak untuk hadir. Dengan sedikit upaya 'gara-gara' dengan istri, saya akhirnya diijinkan untuk #JalanMalam.

Saya selalu bersemangat hadir berkumpul dengan Bapak Pius dan juga rekan-rekan di KSK, bukan karena saya ingin banyak berbicara. Sebenarnya saya kurang pandai berbicara di publik. Kalimat saya kadang berbelit-belit, mungkin susah dimengerti oleh pendengar.

Saya rajin hadir tiap diskusi, justru karena senang mendengarkan orang-orang bercerita. Apalagi kalau Bapak Pius yang bercerita, selain informatif, juga sangat menghibur. Saya sangat menikmati cerita, lalu tertawa seperti sedang mengeluarkan racun dari tubuh.

Ada beberapa prinsip hidup Bapak Pius yang menurut saya sangat menarik. Pertama, tentang jam tidur. Baginya, terlalu banyak tidur itu tidak baik. Beliau sangat menyesali waktunya selama ini terbuang dengan aktivitas tidur saja. Kedua, tentang kebiasaan berpikir. Menurut buku yang pernah dibacanya, kalau otak kita tidak digunakan untuk berpikir secara rutin, maka orang itu cepat sekali meninggal dunia. Dan masih banyak prinsip hidup lainnya yang membuat saya makin ketagihan mendengar beliau bercerita, selain untuk bisa tertawa juga.

Mengenai cara saya ketawa, ada teman saya yang pernah bilang, katanya sangat khas. "Kalau kamu ketawa di rumah sebelah, kami bisa bedakan itu kamu yang ketawa atau orang lain," kira-kira begitu beberapa teman mengakui kelebihan/kekurangan saya itu.

Dengan modal ketawa itulah, saya percaya diri saja untuk ikut nimbrung dalam berbagai diskusi. Kalau paham, tertawa. Kalau makin bingung, tertawa lebih keras lagi.

***

Saya buru-buru mandi dan bergegas ke pondok Kae Gusty setelah menjawab bersedia hadir di percakapan FB tadi. Saya pikir sudah terlambat. Untungnya saya lebih dulu tiba di daerah cabang Tilong dekat pemancar signal telpon selular. Berapa saat kemudian, Bapa Pius tiba.

Tadi malam, Bapa Pius membawa banyak sekali makanan. Perkiraannya akan banyak orang yang hadir. Ternyata sebagian besar kru KSK berhalangan hadir. Lalu, tentangga Kae Gusty juga sibuk latihan koor sebagai persiapan perayaan Paskah nanti.

Bapak Pius membawa sekantong besar gorengan dan satu ekor ayam broiler yang sudah bersih (tanpa bulu dan isi perut lagi).

Sambil menikmati kopi yang disediakan istrinya Kae Gusty dan ditemani penganan gorengan tadi, saya bersama seorang pemuda di sana yang bernama Aldo, bertugas memanggang ayam broiler itu.

Saya hanya 'gara-gara' di awal proses pemanggangan. Sebetulnya Aldo lah yang pandai mengurusi bidang panggang-memanggang daging.

Sementara Aldo sibuk sendiri, saya kembali bergabung di dekat Kae Gusty dan Bapa Pius. Keduanya sudah mulai bercerita hal-hal yang ringan. Tentang keseharian masing-masing.

Selanjutnya mulai agak serius. Kami awali dengan cerita-cerita tentang Sophia, merek sopi atau minuman keras yang akan diproduksi secara legal oleh pemprov NTT, bekerjasama dengan beberapa lembaga seperti Undana dan PT. NAM.

"Barangkali kita bahas dulu dari namanya, kenapa Sophia?" Bapa Pius memancing kami berpikir. "Sophia itu singkatan dari sopi asli, tapi mungkin ada makna lain dari kata itu," tambahnya kemudian.

"Kalau arti Sophia saja," Kae Gusty mulai menjelaskan, "itu artinya kebijaksanaan."

Kae Gusty mencontohkan makna etimologi dari kata filsafat, aslinya dari Phylo dan Sophia. Phylo artinya mencitai, dan Sophia artinya kebijaksanaan. Itulah kenapa filsafat itu makna leksikalnya mencitai kebijaksanaan.

Sepakat! Kami bertiga setuju maksud dari merek miras itu Sophia. Ada benarnya juga nama itu. Kalau 'dicocokologikan' nama itu menggambarkan reaksi setelah orang minum sopi. Kadang-kadang membuat orang jadi lebih bijaksana.

Kami contohkan dalam acara adat orang Manggarai. Misalnya tongka (juru bicara dalam acara perjodohan), biasanya minum sopi terlebih dahulu. Setelah menenggak dua-tiga sloki, kalimat puitisnya mengalir deras. Kalimat-kalimat puitis berbahasa Manggarai itu mengandung rasa dan makna yang mendalam, sehingga proses diplomasi antara kedua belah pihak bisa berjalan lancar.

Atau contoh lain, dalam acara tudak (doa adat kepada nenek moyang), orang yang memimpin doa juga biasanya minum sopi dulu. Setelah itu, dia bisa mendaraskan dengan lancar kalimat doa dalam bahasa Manggarai yang sangat puitis dan berima sangat baik. Jarang sekali ada kesalahan atau tanpa terbata-bata.

Masih banyak contoh lainnya. Dari dua hal sederhana itu saja, kami sudah bisa 'cocokologikan' kalau Sophia itu makannya memang bijaksana. Anggap saja begitulah.

Setelah bicara soal nama, kami lanjutkan dengan kelebihan dan kekurangan kebijakan itu.

Menurut Bapak Pius, bila pengolahan sadapan nira dan lontar itu semuanya diambil industri, maka masyarakat yang sebelumnya biasa melakukan penyulingan sendiri akan meninggalkan kebiasaan itu. Lama-kelamaan, generasi selanjutnya tidak ada lagi yang bisa melakukan penyulingan dengan cara tradisional tersebut.

Padahal, proses penyulingan yang dilakukan masyarakat selama ini merupakan kekayaaan intelektual yang sangat disayangkan kalau tidak dikembangakan terus-menerus.

Kae Gusty rupanya sependapat dengan Bapa Pius. Penyulingan sopi oleh masyarakat selama ini adalah kekayaan intelektual. Orang tua zaman dulu yang tidak belajar melalui sekolah formal seperti saat ini, tapi bisa menemukan formula yang tepat sehingga hasil sadapan nira/lontar itu bisa menghasilkan gula merah atau sopi.

Kebetulan sekali, ternyata ayahnya Kae Gusty yang tinggal di Rego-Manggarai Barat, selama ini juga pelaku aktif yang memanfaatkan potensi yang dimiliki pohon aren.

Kae Gusty selanjutnya menjelaskan bagaimana proses tuak manis (minse) hasil sadapan pertama dari pohon aren untuk dijadikan gula merah (gola malang) dan sopi. Selain itu, bagian dari pohon aren itu juga banyak manfaatnya.

Ijuknya atau dalam bahasa Manggarai disebut Wunut bisa dijadikan atap rumah, tali pagar, penyaring tuak, sapu dan sebagainya.

Daunnya memiliki lidi yang bisa dipakai untuk satai atau menjadi sapu. Pucuknya bisa dijadikan janur kuning. Dan masih banyak lagi.

Poinnya, kami berharap pemerintah masih memberi kebebesan kepada masyarakat yang mau mengolah hasil sadapan aren/lontar sesuai kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang masing-masing. Jangan sampai indutrialisasi sopi itu justru menghapus jejak kekayaan interlektual masyarakat adat di NTT.

Saat mendiskusikan topik itu, saya jadi ingat dengan Kae Rian Seong, sebagai peminat masalah sosial-budaya. Saya yakin, beliau bisa memberikan perspektif yang lebih menarik lagi.

***

Aldo melaporkan daging ayam yang dipanggangkan sudah matang secara merata. Saya cek kebenarannya, ternyata Aldo memang pandai memanggang daging.

Kami makan malam dengan lauk utama ayam panggang, ditambah sambal ulekan lombok dan garam saja. Ada juga Sophia hasil olahan tradisional dengan takaran yang pas.

Saya merasa makan malam itu nikmat sekali. Apalagi masing-masing kami saling menggoda dengan berbagai lelucon. Selain lambung yang kenyang, jiwa kami juga ikut kenyang akibat sering tertawa.

Setelah makan malam, topik cerita kami makin beragam. Kami cerita tentang politik, kepemimpinan, dunia literasi khususnya kepenulisan, perkembangan iptek, budaya akademik di PT/sekolah, budaya diskusi di komunitas/masyarakat, dan masih banyak lagi.

Namanya juga cerita-cerita, ada hal yang kami bahas lebih detail, ada juga yang hanya menyentil bagian permukaannya saja. Satu yang pasti, di akhir setiap cerita, selalu ada hal yang bisa ditertawakan.

Tidak terasa, sudah jam 01.00 lewat. Saya perhatikan Bapak Pius masih begitu fit berbicara. Saya akui stamina beliau. Padahal, kalau dilihat dari warna rambutnya yang sudah banyak memutih, mestinya sudah tidak kuat lagi. Mungkin sering sakit-sakitan.

Malah terjadi kebalikannya. Saya selalu perhatikan, beliau masih sangat energik. Energinya seperti tidak habis. Semangatnya luar biasa.

Barangkali itu semua ada hubungan dengan pengaturan pola tidur dan kebiasaan tidur yang terus disinggungnya dalam setiap kesempatan berbagi pengalaman dengan anak-anak muda/mahasiswa.

Sepulang dari sana, saya mulai berpikir untuk rutin berpikir dan jangan sampai kebanyakan tidur. Eh, tadi pagi tertidur sekitar jam 02.00 dini hari, dan hari ini bangun jam 12.00. Hmm...masih kebanyakan tidur dan malas berpikir.

 (*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 3 April 2019)




Posting Komentar

2 Komentar