Ini Rahasia Penulis Konten Media Masa Kini

Ini Rahasia Penulis Konten Media Masa Kini
Redakur DNK.id berbagai pengalaman bagai menulis konten di media masa kini

Sebelum Anda bingung dengan konteks tulisan ini, maka saya perlu jelaskan pada bagian awal. Tulisan ini sudah dibuat sejak Desember 2019 lalu. Tentunya sudah sangat lama, tapi belum pernah diterbitkan di media manapun (Sebetulnya gagal terbit sih). 

Saat itu, media "masa kini" DNK.id yang berada di Surabaya masih eksis. Baru sekali tulisan saya terbit di sana, kemudian media itu tiba-tiba memutuskan untuk pamit. Mereka tidak terbit lagi, entah karena alasan apa.

Pada suatu kesempatan, mereka mengadakan pelatihan menulis. Saya ikuti karena merasa gaya tulisan media-media masa kini mengalami perubahan yang cukup besar. Tulisannya terkesan luwes, menghibur, dan tanpa ada tedensi menjadi penasehat publik. Mereka hanya bercerita biasa, kadang diselipi bahasa atau istilah lokal yang membuatnya lebih dekat dengan pembaca. 

Nah, berikut ini saya ringkas buat Anda seperti apa kiat-kita menulis untuk media masa kini yang berkarakter seperti itu. 

***

Hati saya ikut nelongso ketika membaca curhatan Cik Mei, seorang kontributor DNK.id yang tulisannya tidak pernah dimuat oleh media altenatif yang bermarkas di Kota Surabaya ini. Setelah menyadari tulisan yang berisi curhat itu pada akhirnya dimuat juga, saya mulai berpikir, barangkali media ini dibuat untuk menampung curhatan?

Sebagai penulis yang masih belajar tapi ingin menghasilkan tulisan bagus, saya sempat patah arang. Apakah bisa menulis di DNK? Saya kurang yakin. Apa yang saya alami, tidak ada bedanya dengan istilah yang sangat merakyat ini: nafsu besar tenaga kurang.

Kabar baiknya, belum sampai berganti bulan dan tahun, saya menemukan informasi menarik di Instagram Klub Seri Buku (KSB) Surabaya. Ternyata di Festival Macakutha yang berlangsung 7-8 Desember 2019 itu, ada selipan acara Kelas Menulis Populer Kreatif Bareng DNK.id.

Di poster acaranya saya melihat ada foto yang terlihat mirip dengan Kepala Suku Mojok, Mas Puthut EA. Ternyata keliru. Nama yang tertera adalah Tito Hilmawan, salah seorang redaktur DNK.id. Begitu melihat konten materi yang menulas dua hal penting ini: Penulisan Karya Populer Kreatif di Internet dan Kiat Jadi Content Writer di Era Digital, saya langsung mengirim pesan privat ke nomor kontak yang bernama Allysa.

Pelatihan menulis itu berlangsung pada hari kedua Festival Macakutha, Minggu, 8 Desember 2019. Sebelum jam 09.00, saya dan beberapa peserta lainnya sudah mengisi daftar hadir dan duduk leseh beralaskan tikar di lantai 2 gedung Balai RW 4, Jl. Dharmawangsa 124 Surabaya.

Ketika acaranya dimulai dengan tetap mempertahankan budaya kita yang agak molor sedikit, ternyata Mas Tito tidak tampil sendirian. Ia ditemani salah satu anggota redaksi lain yang bertugas sebagai Kaur Kepemudaan, Mas Mufa Rizal. Keduanya bicara bergantian, saling melengkapi satu sama lain, bagaikan dua sisi mata uang.

Mas Tito mengawali kelas dengan memberikan gambaran umum tentang perubahan tren media massa saat ini. Media mainstream tidak hanya menyajikan media cetak, tapi juga versi daring yang mudah diakses. Selain itu, media alternatif yang menyajikan informasi yang lebih segar bermunculan di berbagai wilayah. Sebut saja Mojok.co yang berpusat di Jogja, ada Vice, kemudian DNK.id yang mengusung ciri ke-Suroboyo-annya, dan masih banyak contoh lainnya.

Sebagai bagian dari penggawa DNK.id, Mas Tito berusaha mengenalkan karakteristik masing-masing media tersebut. Setiap media membawa visi yang khas. Kehadiran DNK.id berusaha menggali kekhasan Surabaya mulai dari sisi gelap, terang, hingga kelucuannya. Media ini sangat terbuka dengan berbagi isu, bahkan sampai pada tema yang dianggap jarang tersentuh oleh media arus utama, seperti membela keberadaan alkohol produksi lokal, mendukung kaum perokok, dan hal yang dianggap tabu lainnya.

Selain itu, di DNK.id juga memiliki reporter yang biasa terjun langsung ke lokasi yang menarik untuk diliput. Media ini tidak sekadar menerima tulisan dari kontributor, tapi juga aktif mencari informasi, kemudian mengolahnya menjadi sajian yang ringan dan menarik untuk dibaca.

Mungkin Anda sudah tidak sabar ingin tahu, bagaimana memulai sebuah tulisan, khususnya yang sesuai kriteria DNK.id? Saya berusaha meyaripatikan rahasia dapur DNK.id yang diungkap langsung Mas Tito dan Mufa, lewat ulasan yang terbagi menjadi beberapa bagian berikut ini.

Pertama, temukan ide. “Segalanya adalah bahan. Ngopi adalah tumpuan,” begitu tulisan di layar presentasi Mas Tito yang berkaitan dengan mencari ide. Apa saja bisa dijadikan ide tulisan. Bisa memperdalamnya dengan banyak membaca atau memantau media sosial, mengikuti diskusi, atau sekadar cangkrukan bersama teman di warung kopi.

Setelah idenya sudah mantap, langsung eksekusi, mulailah menulis. Baik Mas Tito maupun Mas Mufa, sama-sama menganjurkan untuk menulis dengan teknik bercerita alias story telling. Tidak perlu terlalu mumet mengikuti gaya penulisan berita, tapi gubah saja informasinya menjadi cerita. Meski cerita, tapi bukan berarti fiktif. Informasinya tetap fakta yang terjadi di lapangan. “Ada juga yang menyebutnya dengan istilah jusnalisme sastrawi,” tambah Tito.

Kedua, selama menuangkan ide lewat tulisan, perhatikan juga apa tujuan yang ingin dicapai? Maksdunya, apa harapan Anda saat orang lain membaca karyamu? Ini penting dipikirkan, supaya kita bisa menentukan diksi atau frasa yang tepat; yang paling mewakili rasa yang ingin disampaikan ke pembaca. Bila tidak ingin terjebak dalam penggunaan kata-kata klise, bisa gunakan bantuan kamus tesaurus.

Ketiga, ternyata menulis dengan subjektif itu malah sangat disarankan. Katanya, menulis dengan subjektif itu menjadikan tulisan kita lebih autentik. Kata lainnya: Jujur. Jadilah diri sendiri, tanpa harus memaksakan diri. “Apa adanya adalah segalanya,” begitu kata kedua mentor dari DNK.id itu.

Keempat, kita sebagai penulis sebaiknya memiliki patokan, baik itu media ataupun penulis yang patut dijadikan panutan atau idola dalam hal belajar menulis. Sangat wajar kalau kita belajar gaya tulisan dari orang yang telah mumpuni, asalkan tidak copy-paste saja. Semakin banyak melakukan benchmarking pada penulis lain, kemudian diimbangi dengan pengalaman menulis yang lama, niscaya akan menhasilkan tulisan yang baik. “Experience is the best teacher,” begitu kata Prof. SIDU (Sinar Dunai) yang dikutip ulang Mas Tito sambil tertawa.

Kelima, tidak usah terbebani dengan harapan bisa mengubah dunia dengan tulisan yang akan kita buat. Santai saja. Kalau bisa menginsipirasi beberapa orang saja sudah mesti disyukuri. Apalagi kalau sampai menghibur banyak orang, pahalanya makin bertambah. Kalau kata Mas Tito dan Mufa, “Nggak harus menggerakan; nggak harus berdampak; yang penting terasa...”

Keenam, penulis juga perlu memahami hal teknis lain seperti SEO (Search Engine Optimizer). Sebagai media daring, upaya untuk meningkatkan keterbacaan oleh publik menjadi sangat penting. Paling tidak ketika orang memasukan kata kunci tertentu di mesin pencarian, tulisan kita yang muncul paling atas. Demi kepentingan itu, sebenarnya penggunaan judul yang clickbait itu sah-sah saja. Asalkan tetap ada pertalian antara judul dan isi tulisannya.

Ketujuh, perhatikan saran ini baik-baik, “Draft pertama selalu sampah, edit adalah keharusan.” Iya, meski sebelumnya kita diminta untuk menulis secara subjektif, bukan berarti kita bebas sesuka hati. Tetap perhatikan kelogisan, tata bahasa, tanda baca, dan hal teknis lainnya.

Bagian penutup kelas siang itu, kami dibimbing latihan menulis oleh salah satu srikandi DNK.id, -Mbak Inez Kriya, yang datang menyusul dua rekannya. Dengan demikian, kalau sampai tulisan ini tidak berhasil terbit, Anda semua tahu kan, siapa-siapa saja yang bertanggung jawab? Tapi kalau Anda berhasil membaca hingga kalimat ini, maka ikutilah rahasia dapur DNK.id ini bila ingin tulisanmu lolos kurasi oleh para redaktur DNK.id juga.

Selamat mencoba...

(Tulisan ini pada akhirnya gagal terbit di DNK.id. Analisis penyebabnya cuma dua. Mereka yang tidak mampu memberi panduan menulis atau saya yang tidak bisa menerapkan panduan. Barangkali kesimpulan terakhir itu yang lebih dominan. Untung masih ada blog pribadi, tayang di sini saja...hehehe)

Posting Komentar

0 Komentar