Hidup di Kos-kosan selama Pandemi Corona*

Hidup di Kos-kosan selama Pandemi Corona
Gara-gara corona, tidak bisa ketemu langsung teman-teman kuliah lagi

 

Hari ke-3 masa pembatasan aktivitas. Saya tetap mengawali hari dengan #JalanPagi, olahraga ringan untuk menghangatkan badan sebelum mandi pagi dan melanjutkan saran belajar/bekerja dari rumah. Eh, karena sedang merantau, dari kos-kosan maksudnya.

Situasi kos dan rumah tentu saja berbeda. Kalau kita tinggal di rumah sendiri, mungkin lebih mudah mengatur semua anggota keluarga. Koordinasi dalam rumah tangga relatif baik, kalau orang tua sudah bilang A, maka anak-anak lebih menurut.

Bagaimana di kos-kosan? Oh, tidak segampang itu. Penghuni kos-kosan berasal dari berbagai latar belakang; beda kampung, beda suku, beda kebiasaan dan bermacam jenis perbedaan lainnya.

Iya, saya paham perbedaan itu menunjukkan kekayaan budaya kita. Tapi, dalam konteks situasi waspada Covid-19 seperti saat ini, perbedaan itu menyulitkan koordinasi untuk melakukan aktivitas di kos saja.

Setiap penghuni kos punya kepentingan masing-masing. Ada yang harus tetap masuk kerja; ada yang urusan makan hariannya harus beli ke warung; ada yang punya agenda rutin mengunjungi pacar; dan aktivitas lain yang membuat mereka tidak bisa untuk menetap dalam kamar saja.

Orang-orang itu nantinya, ketika kembali di kos-kosan, akan menggunakan dapur yang sama; ruang makan yang sama; kamar mandi yang sama; dan menggunakan fasilitas bersama lainnya.

Situasi tersebut, barangkali tidak mendukung upaya mengurangi transmisi (perpindahan virus dari orang ke orang). Sebagai anak kos, saya pasrah saja. Sebab tidak ada pilihan lain. Saya tidak mungkin memaksakan kehendak pribadi, begitupun sebaliknya.

Belum lagi populasi kucing di kos-kosan kami makin hari, makin banyak saja. Saya juga heran, dari mana saja datangnya?

Mungkin gara-gara sering beri makan satu kucing yang lemah hampir mapus waktu itu, kucing liar lain mulai ikutan datang untuk merebut makanan yang tidak seberapa banyak itu.

Kita semua tahu, virus corona ini bersifat zoonis, bisa ditularkan dari binatang ke manusia dan sebaliknya. Jadi, kos-kosan saya belum terjamin pengendalian transmisinya.

Kalau model transmisi sudah tidak bisa saya kontrol sendiri, maka hal yang bisa saya lakukan secara mandiri adalah tetap melakukan upaya untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

Banyak cara yang bisa dilakukan, salah satu yang utama adalah #JalanPagi. Saya juga berusaha menjaga kebersihan diri (sering mencuci tangan; frekuensi mandi ditambah jadi 3×/hari); makan teratur; kalau lelah segera tidur; selalu berupaya berpikir positif dan hanya membaca atau menonton berita atau ulasan terkait Covid-19 yang bernada positif saja; melakukan hipnosis diri sendiri dengan sugesti yang positif; dan tentu saja berdoa, menyerahkan semuanya pada Tuhan.

Saya pernah membaca sebuah kutipan yang menarik, kurang lebih seperti ini: "Kita melakukan sebaik mungkin apa yang bisa, dan biarkan Tuhan melakukan apa yang kita tidak bisa."

Artinya, kita berjuang dengan melakukan berbagai saran pemerintah atau pihak yang berkompeten/berwenang. Selebihnya, biarkan Tuhan menyempunakan semuanya.

Saya sudah lama menganut prinsip tersebut, dan terbilang lumayan efektif. Paling tidak bisa menenangkan batin, tidak buat panik berlebihan.

Saya juga termasuk orang yang meyakini keajaiban berpikir positif. Hal itu bermula ketika membaca buku yang mengubah sebagian besar hidup saya selama ini, kira-kira 11 tahun lalu, judulnya: Kekuatan Pikiran.

Saya sudah sering menyinggung buku hebat ini dalam tulisan selama ini. Buku itu pada intinya menganjurkan setiap orang untuk berpikir positif, sebab hampir semua perilaku atau hal yang dialami tubuh manusia sehari-hari, terbentuk dari pikirannya.

Kalau pikirannya selalu positif, maka hasilnya cenderung positif. Berlaku kebalikannya. Saya juga terapkan prinsip itu dalam masa kewaspadaan terhadap Covid-19 ini.

Pikiran positif yang saya tanamkan bermula dari membaca berita bernada positif saja. Kemudian dikembangkan lagi dengan membaca ulasan atau ide-ide tokoh publik yang punya frekuensi pikiran yang sama: membawa pesan positif, optimisme, mendatangkan semangat.

Pikiran positif itu akan disuburkan lagi dengan teknik hipnosis diri sendiri, yaitu sebuah upaya memberikan sugesti positif ke dalam pikiran sendiri. Selain dengan kata-kata, bisa diperkuat lagi dengan membayangkan hal-hal baik. Misalnya, kita selalu berkata: "Setiap hari, tubuh saya semakin sehat dan kuat."

Pikiran yang positif akan membuat kita lebih tenang. Tidak panik berlebihan. Kalau kondisi psikologis kita lebih tertata, maka sistem imun akan menguat.

Ada sebuah teori yang menjelaskan konsep tersebut, namanya: Psikoneuroimunologi. Teori itu, pada intinya menjelaskan tentang hubungan perilaku, kerja saraf, fungsi endokrin (hormon), dan proses kekebalan tubuh.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, saya berusahan mengembangkan pikiran dan perilaku positif saja. Selama masa karantina mandiri ini, lebih banyak mencari hiburan agar tidak tertekan dengan isu-isu yang kadang sengaja dibuat bombastis.

Kalau sekadar untuk mencari suasana gembira, sebenarnya hanya dengan berkumpul teman-teman sekelas yang ada dalam foto ini saja sudah cukup.

Mereka teman-teman saya yang unik, gudangnya cerita lucu dan candaan. Kalau sedang stres, saya cukup mengundang mereka untuk berkumpul dengan alasan harus mengerjakan tugas kelompok. Padahal, kami akan lebih banyak bercanda dari pada produktif bekerja.

Saat situasi seperti ini, tidak mungkin lagi untuk berkumpul. Padahal saya lagi butuh mereka untuk sekadar tertawa sebentar saja. Baru 3 hari berlalu, masih butuh waktu lama untuk bisa bertemu lagi.

Semoga kami tetap bisa bertemu lagi dalam kondisi sebagaimana biasanya, banyak canda dan tawa. Sehat selalu, Gaes.

(*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 18 Maret 2020)



Posting Komentar

0 Komentar