Hanya Pepaya yang Kita Punya*

Hanya Pepaya yang Kita Punya
Pepaya yang tumbuh di sekitar rumah

Saat melihat sebuah foto di FB Bro Jenn Warat, ada setangkai daun kelor digantung dekat pintu rumah, kemudian diberi keterangan kalau hal itu merupakan bagian kecil dari upaya menangkal Covid-19.

Meski saya tahu 95% unggahannya berisi candaan, tapi saat itu, saya serius bertanya, mungkin ada jampi-jampi khusus agar metode itu bisa mujarab. "Tolong tiupkan "warat" itu untuk kami juga," saya memohon. Sialnya, dia hanya membalas dengan tawa.

Saya menduga, itu ada kaitannya dengan anjuran Pa Wagub NTT, kalau ada masalah apa saja di wilayah Flobamorata ini, tenang-tenang dulu, kita punya daun kelor.

***

Ketika opsi karantina wilayah yang super ketat tidak bisa diterapkan, transportasi laut dan udara terus beroperasi, anjuran untuk #dirumahsaja dan jaga jarak aman juga tidak mungkin 100% dilakukan, dan praktik pencegahan dengan pola hidup sehat dilakukan seadanya; maka penyebaran infeksi itu, mau tidak mau; suka tidak suka, akan kita hadapi juga. Maka pertahanan akhir tergantung pada diri kita, sejauh mana ketahanan tubuh melawan si Corona anyar itu.

Kebijakan terbaru dari pemerintah, tidak ada karantina wilayah, cukup dilakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

PSBB dinilai lebih masuk akal dijalankan daripada karantina wilayah, karena konsekuensinya berbeda jauh. Bayangkan kalau karantina wilayah terjadi, dalam undang-udangnya disebutkan, pemerintah wajib memenuhi kebutuhan pokok setiap warga. Satu lagi, dan ini agak merepotkan, pakan ternak juga harus disiapkan pemerintah.

Bayangkan, betapa repotnya pemerintah kalau memberlakukan karantina wilayah. Okelah, kalau hanya beri makan warga saja, barangkali masih bisa diusahakan. Kalau sampai urusan makanan babi, sapi, dan peliharaan lain termasuk kucing-kucing saya di kos juga dipikirkan negara; sangat tidak mungkin dilaksanakan.

Saya bayangkan, akan ada warga atau sekelompok orang yang melayangkan gugatan kepada pemerintah hanya karena ternaknya belum diberi makan. Repot sekali.

Kita pada akhirnya berharap pada daya tahan tubuh masing-masing. Kalau tidak bergejala atau gejalanya ringan saja, bila mengikuti pengalaman di negera lain, kelompok ini relatif aman. Tapi kalau sampai menimbulkan sakit berat dan membutuhkan ventilator, kita masih punya harapan lain, semoga sistem kesehatan yang kita punyai cukup mampu untuk menanganinya. Jika tidak, kita masih ada sandaran lain, Tuhan yang menentukan segalanya.

Sebelum pasrah pada sang empunya kehidupan, kita pastinya berupaya keras untuk bisa bertahan. Seperti yang dilakukan teman saya tadi, dia mengikuti anjuran pemimpin daerah untuk memanfaatkan daun kelor.

Selama virus Corona ini merebak, khususnya ketika mulai ada kasus positif di Indonesia, berjuta saran berseliweran di berbagai media.

Dulu, ketika Pa Menkes Terawan menganjurkan untuk berdoa saja, tidak sedikit yang mencibirnya. Virus kok dilawan dengan doa, kira-kira begitulah celetukan orang.

Kemudian, anjuran lain juga bermunculan. Jamu, jemur di terik matahari, minum air putih, makan teratur, olahraga, berpikir positif, dan masih banyak lagi.

Perdebatan mengenai anjuran atau metode yang banyak itu juga tidak kalah menarik. Seperti anjuran doa tadi, anjuran lain pun memiliki penentangnya masing-masing.

Jadi, selama ini, tercipta dua kubu yang bertentangan. Mungkin ada kubu ketiga, yaitu orang yang tidak mau ambil pusing sama sekali. Makanya kita juga jangan membahasnya biar tidak pusing juga.

Kita ingat beberapa contoh saja. Ketika ada anjuran berjemur di terik matahari, WHO memberi keterangan kalau virus jahanam itu tidak terbukti mati karena kepanasan. Penyuka sinar surya membalas dengan argumen lain, berjemur di matahari memang bukan untuk mematikan virus, tapi untuk merangsang pembentukan vitamin D dalam tubuh. Vit. D itu yang berperan sebagai pembentuk imunitas tubuh.

Sebelum saya lanjut ke contoh lain, saya juga mau membantah pakar yang menganjurkan berjemur di matahari pukul 10.00 hingga 14.00. Mungkin beliau yang tinggal di Jakarta yang lapisan awannya banyak polutan sehingga sinar UV-nya tunggu sampai jam segitu. Tapi kalau di Kupang dan NTT pada umumnya, matahari jam 7 atau 8 saja sudah sangat panas. Kalau berjemur jam 10, itu bukan vitamin D lagi yang terbentuk, tapi juga vit. T; yaitu vitamin Terbakar atau terpanggang.

Metode lain yang sedang diperdebatkan saat ini adalah menyemprot desinfektan. Kelompok penyemprot menganggap tindakan itu mematikan virus. Penentangnya, lagi-lagi WHO, mejelaskan kalau tindakan penyemprotan itu kurang efektif. Malahan berbahaya bila mengenai selaput lendir seperti mata dan mulut.

Metode-metode lain juga selalu ada kelompok penentang atau pembantahnya. Kita makin disadari, kita tidak hanya berbeda dalam urusan pilpres yang menghasilkan Cebong dan Kampret, tapi dalam semua tatanan kehidupan, kita tidak akan pernah sehati-sesuara.

Lalu, bagaimana sebaiknya kita bertindak?

Kalau saya, mana yang paling mudah dan menyenangkan saja. Tidak semua saran bisa kita lakukan, pilih yang paling mungkin dilakukan. Prinsipnya, tidak bertentangan dengan anjuran kesehatan seperti menjaga kebersihan dan prinsip penanganan lain ketika muncul gejala demam, batuk, dll.

Begini, dalam konsep kesehatan pun, kita menganut prinsip perawatan holistik. Tenaga kesehatan, secara konseptual, diminta untuk tidak hanya fokus pada urusan fisik seperti keluhan demam, batuk, mual, muntah, dan seterusnya.

Manusia tidak hanya terbatas pada urusan fisik belaka. Ada bagian penting lainnya seperti psikisnya (jiwa), kebutuhan sosial, spiritual dan termasuk kultural.

Kondisi sehat bisa tercapai, bila semua elemen itu terpenuhi secara seimbang. Keseimbangan tubuh, hanya diperoleh dengan dengan memperhatikan semua elemen dasar tersebut.

Setiap tenaga kesehatan dianjurkan untuk memperhatikan semua kebutuhan klien secara holistik, semuanya diperhatikan. Tidak hanya urusan fisik saja. Tapi, pada praktiknya, barangkali kebutuhan fisik itu saja yang lebih banyak diperhatikan, sedangkan kebutuhan lainnya kadang terabaikan.

Berdasarkan konsep tersebut, saya merasa kurang nyaman dengan orang yang menyepelekan anjuran doa Pa Menkes. Bukankah itu untuk kebutuhan spiritual kita?

Untuk konteks sosial misalnya, kita butuh teman atau keluarga terdekat untuk mendapatkan dukungan. Kalau sakit, masih ada yang mengingatkan untuk makan dan minum yang cukup. Bukankah itu melegakan?

Bagian kultural dan budaya juga jangan sampai dilupakan. Bisa kita pantau, selama masa kewaspadaan Covid-19 ini, ada begitu banyak suku di republik ini yang menjalankan ritual adat masing-masing untuk menolak bala.

Itu juga bagian penting yang harus dilaksanakan. Hanya saja, sebisa mungkin tetap menerapkan prinsip utama pencegahan: jaga jarak aman dan jaga kebersihan. Selebihnya bisa dijalankan sebagaimana mestinya, sebab itu juga bagian kebutuhan manusia berbudaya.

Bagi saya, selama upaya itu tidak bertentangan dengan prinsip pencegahan dan penatalaksanaan umum dari WHO, silakan saja.

Ketika masker dianggap penting, barang itu langka dan mahal di pasaran.

Ketika handsanitizer dianggap mematikan kuman/virus, langsung mahal di pasar.

Ketika jahe dan rempah-rempah lain dianjurkan, harganya lansung melonjak di pasaran.

Saat ada ahli yang mengatakan jambu bagus untuk melawan virus, semua orang memburunya.

Saya sedang menunggu, semoga ada ahli yang akan bilang kalau makan sayur pepaya (daun, bunga dan buah) bisa menangkal Corona. Sebab, di masa-masa sulit ini, cuma itu yang kita punya...

 (*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 3 April 2020)

 


Posting Komentar

0 Komentar