Habis Itu...*

Habis Itu...
Suasana merayakan Natal di tanah rantau


Setelah berulang-ulang mendengarkan lagu Natal andalan yang dinyanyikan Opa Victor Hutabarat, saya akhirnya makin sepakat, bahwa merayakan Natal yang pantas dirayakan dan diingat, ya, cuma ketika, "Teringat saat Natal bersama, di kampung halamanku..."

Dan merayakan Natal di kampung halamanku itu benar-benar terjadi saat masa kecil, periode kanak-kanak saat sudah bisa membedakan mana kue enak dan tidak, hingga lulus SD.

Setelah periode emas itu, perayaan Natal itu terasa biasa-biasa saja, terkadang membebani, membikin sedih, dan kadang muncul perasaan: memang sebaiknya tidak perlu dirayakan saja.

Tenang, akan saya jelaskan kenapa sampai ke tahap yang tidak mengenakkan seperti itu. Tapi, sebelum sampai ke situ, saya kenangkan lagi masa-masa kecil yang penuh kegembiraan itu.

***

Tiap menjelang hari Natal, orang tua selalu mengajak saya ke rumah nenek (meski di sana tidak hanya ada nenek, tapi juga ada kakek, om, tanta, dll., tapi tugas mengarang sewaktu SD membuat kami menyebutnya begitu).

Kami tinggal di kampung yang agak udik, jalanan belum beraspal. Karenanya, tidak ada kendaraan umum yang berani masuk. Kalau kami hendak ke kota atau ke rumah nenek, maka harus berjalan kaki kurang lebih 30 menit lamanya, sampai di jalan besar (begitu kami sebut jalan yang ada aspalnya, meski besar dan kecil itu sangat subjektif). Dari sana kami menumpang bemo, kira-kira butuh waktu 20 menit sudah sampai.

Tugas saya waktu itu adalah menenteng ayam. Mama selalu punya cara agar kekuatan saya bertambah tiba-tiba, yaitu dengan cara memuji berlebihan.

Sebagai anak yang rajin-patuh-ganteng, ditambah dengan pujian lainnya, saya merasa ayam sebesar apapun tetap seringan kapas.

Ketika turun di depan rumah nenek, saya harus pastikan ayam itu hanya saya saja yang memegangnya. Saya akan merebut dari tangan konjak yang membantu menurunkan dari bemo. Kalau konjak mau antar sampai ke pintu rumah, saya hadang, itu sudah menjadi tugas saya.

Kenapa saya harus pegang ayam ketika masuk rumah nenek?

Kakek saya yang biasa dipanggil Opa Pue akan menyambut saya dengan pujian yang tidak kalah melenakan.

Saya benar-benar bahagia ketika beliau berulang-ulang, "Aduh, cucu saya ini paling hebat sudah."

Saya senang bukan main, meski kemudian saya juga mendengar hal yang sama ketika cucunya yang lain datang ke rumah.

Setelah itu, sebagai anak-anak, tugas saya hanyalah bermain sambil menunggu mama, adiknya mama, tanta, dan keluarga lainnya menyiapkan makanan yang lezat.

Kalau pun kami punya banyak ayam, babi, sapi., bukan berarti tiap bulan kami bebas menyembelihnya. Tunggu momen penting. Salah satunya ketika Natal tiba.

Mereka juga pandai membuat kue. Selama Natal hingga Tahun Baru, tidak usah risau soal makan. Semuanya lezat-lezat.

Ketika sembayang di Gereja, pikiran saya tetap tertinggal di dapur dan meja makan. Saya tidak peduli, lebih tepatnya belum mengerti kenapa ada Natal, kenapa Yesus lahir, dan pertanyaan lainnya.

Waktu itu, saya hanya tahu ada lampu kerlap-kerlip di rumah; lagu-lagi Natal terus mengalun, termasuk lagunya Opa Victor Hutabarat; makan kue dan daging.

Semua orang terlihat bahagia. Saling bersalaman. Ada yang berpelukan, cipika-cipiki, bahkan ada yg sampai meneteskan air mata. Mungkin saking terharunya saling memaafkan kesalahan masing-masing.

Habis itu, ketika kembali ke kampung tempat di mana orang tua saya bekerja, kami diberi tugas guru Bahasa Indonesia untuk membuat karangan tentang Natal.

Kalian tahu gurunya siapa? Mama saya sendiri.

Saya mestinya menulis begini saja waktu itu: apa yang saya alami selama Natal, sama seperti yang ibu rasakan. Buat apa lagi saya tulis, Mama? Eh, ibu guru?

Tapi saya tidak punya keberanian seperti itu. Saya tetap berusaha menulis karangan dengan judul yang bisa Anda tebak sebetulnya, apalagi kalau bukan: Berlibur di Rumah Nenek.

Cara saya menulis saat itu tentu saja buruk sekali kalau dinilai masa sekarang. (Yah, meski sekarang juga masih buruk).

Dalam karangan itu, ada frasa yang selalu muncul, yaitu: "Habis itu..."

Saya berlibur di rumah nenek. Sampai di sana kami bunuh ayam. Habis itu makan kue. Habis itu cabut bulu ayam. Habis itu mandi. Habis itu pergi misa. Habis itu makan malam. Habis itu nonton tv. Habis itu tidur...dst.

Habis itu..., ketika kini sudah demakin dewasa, tinggal di rantauan dengan derita yang tiada akhir sampai-sampai untuk bisa berlibur saja susahnya setengah mati, habis sudah cerita indah seperti semasa kecil itu.

Habis itu..., perayaan Natal hanya menjadi beban ketika semua orang terbius dengan budaya konsumtif yang menyertainya. Seolah-olah Natal itu tidak akan sempurna kalau belum ada baju Natal, sepatu Natal, kue Natal, babi Natal, sopi Natal, dan tetek-bengek lainnya yang disertai embel-embel Natal.

Habis itu..., perayaan Natal juga makin membosankan ketika hampir tiap Desember, orang-orang hanya mempertentang boleh tidaknya merayakan Natal, termasuk sekadar urusan mengucapkan Selamat Natal saja, ruwetnya minta ampun.

Habis itu..., habis sudah ceritanya. Saya ucapkan Selamat atau Salam Damai Natal buat Anda sekalian, terlepas dengan berbagai kontroversinya saat ini.

Habis itu..., esok jangan lupa #JalanPagi.

 (*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 24 Desember 2019)



Posting Komentar

0 Komentar