Guru Pencerita*

Guru Pencerita
Gambar ini kiranya sesuai dengan suasana dalam tulisan 


Berapa hari yang lalu, sebelum hari guru yang dirayakan hari ini, kami alumni SMP St. Klaus-Kuwu diliputi rasa sedih yang mendalam. Salah satu guru kami dulu, Bapak Berty Ndarung, telah berpulang pada Yang Kuasa. Selamanya. Berbagai ungkapan sedih para mantan muridnya menunjukkan beliau merupakan sosok yang inspiratif.

Sebagaimana teman-teman lain, saya juga ikut larut dalam kesedihan. Ungkapan duka disampaikan lewat media sosial dan forum/grup alumni, meskipun saya tahu ini sia-sia, tapi, dari pada diam saja, rasanya jauh lebih buruk.

Saya yakin, Pal Berty telah mendapat tempat terbaik di surga. Semua teman-teman dulu sepakat kalau guru terbaik versi desas-desus di asrama adalah beliau. Saat itu belum ada versi survei resmi seramai saat ini. Hukumnya jelas, orang baik pasti masuk surga.

Apa indikator guru baik itu? Saya pikir sangat banyak. Saya hanya meyakini satu hal, guru yang baik adalah seorang pencerita yang baik.

Beberapa referensi yang pernah saya baca selama ini menjelaskan kalau manusia pada umumnya suka cerita. Manusia pada umumnya akan larut dalam cerita yang menarik, kemudian masing-masing menemukan nilai yang bisa dipelajari untuk pengembangan dirinya.

Sebaliknya, manusia pada umumnya tidak suka diajari, dikhotbah, dinasehati, apalagi banyak sekali larangan ini dan itu. Karenanya, pesan moral itu diselipkan saja dalam cerita. Biarkan orang meresapnya dengan cara masing-masing.

Guru sebaiknya pencerita. Orang yang pandai bercerita. Bukan hanya pandai berteori, dan tidak banyak mengeluarkan aturan yang mengekang. Lebib buruk lagi kalau sudah banyak menasehati, tapi dirinya sendiri tidak menjadi contoh yang baik. Itu sama saja guru kencing beridiri, dan murid dipaksa menahan kencing. Susah dan tidak menyenangkan sama sekali.

Mendiang Pak Berty, bagi kami adalah salah satu guru pencerita yang baik pada masanya. Mungkin itulah salah satu alasan kenapa banyak alumni yang mengungkapkan kesedihannya saat mengetahui beliau meninggal dunia.

Saya ingat baik, Pak Berty dulu mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik, itu sesuai dengan keilmuan yang dipelajarinya semasa kuliah. Tapi, karena beliau sangat piawai bermain sepak bola, -pernah masum tim Persim Manggarai, maka beliau juga dipercayakan mengasuh mata pelajaran Penjaskes.

Saat pelajaran Agama Katolik, beliau selalu mengawali dengan sebuah cerita, sekitar 5 menit pertama. Ada saja bahan ceritanya dan tidak pernah diulang-ulang.

Kemudian kami mencatat pelajaran. Waktu itu metode pembelajaran lebih banyak menyuruh siswa mencatat. Sangat membosankan. Tapi, kami tidak memiliki daya memprotes saat itu.
Murid yang baik adalah murid yang diam dan ikut apa kata guru. Dan kami berlomba-lomba jadi murid yang baik seperti itu.

Pak Berty paham betul dengan ekspresi kami yang bosan mencatat. Setengah jam pelajaran berlalu, beliau bercerita lagi. Kami gembira lagi.

Setelah itu, kami mencatat lagi. Kali ini kami lebih giat, sebab Pak Berty mengingatkan kami, 15 menit sebelum pelajaran berakhir, salah seorang siswa yang memiliki arloji wajib memberi tahu ke beliau. Kelas diakhiri lagi dengan cerita.

Singkat cerita, kami akan mengingat mata pelajaran yang diasuh Pak Berty sebagai kelas cerita. Kami selalu berharap agar roster pelajaran lebih banyak pelajaran agamanya.

Bagaimana dengan pelajaran Penjaskes? Barangkali hanya sekali saja kami masuk ke kelas. Selebihnya bermain sepak bola di lapangan. Dan itu sangat menyenangkan.

***

Melihat berbagai ucapan hari guru hari ini, saya teringat lagi dengan kemampuan Pak Berty dalam bercerita. Dalam renungan saya, sebaiknya guru itu pencerita.

Selama ini, saya berusaha menjadi pencerita. Ternyata rumit sekali. Butuh banyak sekali latihan.

Saya pernah berlatih dengan sebuah cerita yang menurut saya lucu. Menurut saya, cerita yang lucu selalu menarik disampaikan di kelas.

Cerita lucu itu saya dengar dari orang. Waktu mendengarnya, semua orang terbahak-bahak, termasuk saya.

Saya berusaha mengulang cerita yang sama. Deg-deg! Saya tunggu reaksi kelas, berharap mereka terbahak-bahak juga. Aneh. Mereka malah bengong.

Terpaksa saya yang ketawa, lalu dengan bodoh berkata, "Itu cerita lucu, toh?"

Mereka akhirnya tertawa dengan nada yang tidak ikhlas. Saat itu saya menyadari, menjadi guru pencerita itu sangat spesial.

  (*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 25 November 2018)


 


Posting Komentar

0 Komentar