![]() |
Pose ketika sedang gamang karena dilema |
Saya sebenarnya sudah bersyukur
dengan apa yang dilakukan dan diperoleh hingga saat ini. Tapi, ada kalanya saya
merasa telah menempuh jalan yang salah. Merasa kurang berguna. Bimbang. Rasanya
ingin berbelok jalan atau sekalian putar arah saja.
Rasa gamang
seperti itu biasa bertunas ketika mengingat Bapa dan Mama yang semakin menua di
kampung. Mereka berdua saja di rumah. Sepi.
Kebetulan saya
baru kelar membaca naskah drama "Orang-Orang yang Bergegas" karya
penulis idola, Puthut EA.
Drama itu
mengisahkan sebuah rumah tangga, di mana tokoh Mama atau Ibu dihujam rasa sepi
karena ditinggalkan oleh suami dan anak-anak yang "bergegas." Mereka
semua terkesan sibuk dengan urusan di luar rumah, sampai-sampai rumah hanya
dianggap tempat persinggahan sebentar saja. Bukan menjadi tempat untuk pulang.
Bercermin dari
kisah itu, saya yakin sekali, Bapa dan Mama di kampung merasakan hal yang sama.
Sepi. Kami berempat anak-anaknya telah pergi jauh dari rumah. Mungkin bisa
disejajarkan dengan "Orang-Orang yang Bergegas" tersebut.
Memang ketika
ditanya, mereka berusaha selalu menenangkan, "Kami sehat dan baik-baik
saja."
Mendengar kabar
seperti itu, hati sepintas menjadi lega. Meski saya sadar, guncangan bisa
terjadi kapan saja. Doa dan harapan baik sekalipun, belum cukup ampuh
membendungnya.
Baru-baru ini
misalnya, saya beradu kening dengan situasi yang kalut. Saya mendapat kabar,
Bapa di kampung jatuh sakit. Ketika ditelepon, saya bisa merasakan kalau beliau
mengalami gangguan yang serius. Bicaranya ngawur, menandakan disorientasi atau
gangguan kesadaran.
Mau pulang saat
itu juga, tapi...
Ah, memang
alasan yang hendak saya tuliskan ini sebenarnya tidak penting-penting amat.
Tapi proses pulang dari tempat yang lumayan jauh ini tidak sederhana.
Pertimbangan yang muncul dalam kepala itu banyak sekali.
Kalau begini,
nanti begitu. Kalau begitu, nanti begini. Pusing. Dilema. Sampai akhirnya saya
mentok, tidak bisa berpikir jernih lagi. Saya pulang ke kos, masuk ke kamar dan
menguncinya dari dalam. Saya mulai menangis sejadi-jadinya. Lama sekali...
Ketika menangis
itu, banyak sekali rasa bersalah yang muncul dalam isi kepala.
"Percuma
saja perawat, tidak bisa rawat orang tua sendiri.."
"Percuma
sekolah tinggi, tidak bisa mengurusi langsung orang tua yang sakit..."
"Percuma
saja..."
Setelah meratap
cukup lama, saya berusaha menenangkan diri sejenak. Kemudian terpikirkan sebuah
tempat yang biasa saya kunjungi ketika sedang didera persoalan berat. Saya
berangkat ke Gua Bunda Maria.
Di sana, saya
berlutut dan pasrah berdoa.
Setelah agak
tenang, saya berusaha menalar kembali. Apakah jalan hidup yang sudah ditempuh
ini membelot dari rel? Apakah saya saja merantau di dunia ini? Apakah perantau
itu merasakan juga apa yang saya alami, dalam arti tidak bisa sepenuhnya
mengabdi pada orang tua? Bagaimana para perantau itu menghadapi situasi sulit
seperti itu? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang saya renungkan di Gua Bunda
Maria.
Beberapa hari
setelahnya, saya selalu memantau perkembangan kesehatan bapak. Puji Tuhan,
banyak sekali orang baik yang mengulurkan tangan, hingga beliau
berangsur-angsur pulih kembali.
Di antara sekian
banyak orang baik itu, salah satunya ada para perawat yang bekerja di RS tempat
bapa saya dirawat. Saya sengaja menyebut perawat, karena saya berprofesi yang
sama.
Kebetulan ada
beberapa perawat di RS tersebut yang saya kenal, mereka telah melayani dengan
baik. Hal itu sesuai pengakuan bapak saya ketika ditelepon.
Saya sangat
lega. Saat itu saya menyadari, sebagai sesama perawat, ketika mereka melakukan
perawatan yang baik pada bapak saya, itu saya rasakan seperti saya sendiri yang
merawatnya. Konsekuensi logisnya, ketika suatu saat saya merawat pasien yang
kebetulan seorang ayah entah siapa, maka saya berikhtiar untuk merawatnya
seperti bapa sendiri.
Setelah
berasumsi demikian, rasa bersalah yang menghunjam sebelumnya terasa lebih
enteng. Saya merasa nyaman kembali, tidak terlalu dibebani pikiran yang
bukan-bukan.
Saya merasa
bagian dari "Orang-Orang yang Bergegas" itu, sibuk entah mencari apa
di luar rumah. Sesekali singgah ke rumah, tapi bukan untuk pulang, hanya
singgah sebelum bergegas kembali.
Kadang bimbang,
"Gas ko rem?"
0 Komentar