![]() |
Selfie bersama Ibu Dr. Yustina Ndung |
Karena
terburu-buru, tadi saya tidak sempat menulis #JalanPagi. Semalam listrik di gang perumahan kami padam. Jengkel
sekali. Saya pikir hanya sebentar, ternyata sampai pagi. Hp mati kahabisan
daya. Padahal harus segera jalan pagi ke Aula LPMP Provinsi NTT. Hari ini ada
acara Seminar Nasional dalam rangka HUT Ke-4 Media Pendidikan Cakrawala, dengan
tema: Literasi, Menuju NTT Bangkit dan Sejahtera.
Tiba di lokasi
acara, saya langsung mencari lokasi strategis buat mengisi daya batrei. Setelah
dipastikan aman, saya mengambil posisi sesuai petunjuk ketua panitia. Hari ini
saya betugas mempromosi -lebih tepatnya berjual buku karya guru dan siswa yang
dibimbing oleh Media Pendidikan Cakrawala.
Peserta seminar
yang didominasi Bapak/Ibu guru dari beberapa daerah di NTT dimulai berdatangan
satu per satu. Tepat jam 09.00, acara yang dipandu oleh seniman serba bisa,
-Kae Rian Seong, dimulai nyanyian anak didiknya yang bergabung dalam paduan
suara SMA Negeri 4 Kupang.
Saya sebut Kae
Rian serba bisa, karena memang begitu adanya. Hari ini dia memandu acara,
sesekali menjadi dirigen, kemudian main musik (keyboard), dan hebatnya lagi,
tadi anak besutannya menyanyikan Mars Cakrawala yang diciptakannya sendiri.
Seniman kontemporer yang bikin saya geleng-geleng kepala dengan kemampuan yang
dimilikinya.
Setelah
peluncuran Mars Cakrawala, Kae Rian mengarahkan peserta seminar untuk lakukan
sharing pengalaman berliterasi di sekolah masing-masing. Semua kepala sekolah
yang sekolahnya telah menjalin hubungan kerja sama dengan MPC diminta maju,
lalu berkisah pahit-manisnya perjuangan mengakarkan gerakan literasi di
sekolah.
Saya tidak
sanggup menulia semua kesaksian mereka di sini. Pendek kata, mereka telah
berjuang keras untuk membudayakan gerakan literasi ini. Tinggal dilanjutkan
dengan semangat yang makin melejit lagi, maka hasil yang dhirapapkan
pelan-pelan tercapai.
Hingga saat ini,
setelah MPC berjalan 4 tahun, sudah ada 9 judul buku yang berhasil terbit, dan
diluncurkan pada acara tersebut. Buku itu merupakan karya bapak/ibu guru,
siswa/i, dan kru MPC sendiri.
Ketemu lagi Ibu Dr.
Yustina Ndung
Sementara sesi
pertama berlangsung, Ibu Dr. Yustina Ndung tiba di tempat acara. Menurut
informasi, beliau mestinya datang kemarin sore atau tadi malam dari Malang.
Saat ini beliau merupakan dosen di Universitas Merdeka Malang. Sial, ada
gangguan di jalan hingga ketinggalan pesawat. Niatnya berkontribusi bagi daerah
NTT tercinta tidak pudar hanya gara-gara tiket pesawat. Beliau beli lagi tiket
pesawat lain yang terbang keesokan harinya (tadi pagi).
Melihat Ibu Dr.
Yustina Ndung, saya teringat lagi peristiwa 5 tahun lalu. Waktu itu saya
jalan-jalan ke Malang, terus diajak teman untuk mengikuti seminar, di mana Ibu
Yustina adalah pembicara utamanya. Bila penasaran dengan cerita lama itu, Anda
bisa membaca tulisan lama saya di sini: https://www.kompasiana.com/…/552fac376ea8…/komodo-untuk-kita
Lima tahun
kemudian, saya bertemu lagi dengan beliau dalam acara dan momen yang hapir
sama, yaitu seminar dan lagi-lagi beliau menjadi pembicara utama.
Sebagai panitia-yang-sibuk-kiri-kanan-tidak-jelas,
saya kurang menyimak seluruhnya apa yang disampaikan beliau saat sesi seminar
dimulai.
Saya hanya
mendengar beberapa frasa yang sering diulang dengan penekanan serius, yaitu:
Enkulturasi Literasi.
Saya tidak mengerti,
lalu buru-buru membuka KBBI. Ternyata maksudnya pembudayaan literasi. Dengan
kalimat lain, literasi itu tidak hanya dibicarakan, tidak hanya didebat
sana-sini, tapi dibudayakan. Artinya, setiap orang menjalankan dengan senang
hati, bukan karena ditakut-takuti aturan atau diiming-imingi hadiah. Literasi
menjadi gerakan atas dasar kesadaran untuk mencapai puncak pengembangan diri
masing-masing.
Bila literasi
sudah membudaya, maka proses pendidikan pada setiap tingkatannya akan lebih
mudah.
Selama menjadi
dosen, Ibu Yustina mengeluhkan mahasiswanya yang belum berbudaya literasi.
Banyak yang datang ke kampus hanya bermodalkan kertas sepotong, jarang sekali
mahasiawa yang membawa banyak buku ke kampus. Akibatnya, kemampuan berpikir
mahasiswa kurang memuaskan. Hal itu terlihat dari makalah atau tulisan yang
mereka buat, sebagain besar hasil plagiat (copy-paste). Sudah begitu, tidak
menarik untuk dibaca.
Karena itu,
upaya untuk membudayakan literasi harus dimilai sejak dini. Bila perlu sejak
janin masij dalam kandungan, calon ayah atau ibunya bisa membacakan cerita
sambil mengelus-elus kandungan dari luar. Begitu juga setelah lahir,
sering-sering lah membacakan cerita. Dan seterusnya, hingga dia mampu membaca
dan memahami secara mandiri.
Saat sesi
diskusi, seorang guru yang menjabat sebagai kepala sekolah menegur secara halus
Ibu Yustina. Kepala sekolah itu mengeluhkan soal kualitas guru yang dihasilkan
di PT. Sampai di sekolah, tidak banyak yang memiliki kemampuan literasi yang
baik. Bila demikian, bagaimana siswa bisa ikut membudayakan gerakan literasi?
Guru saja tidak memberi contoh. Bagaimana ini?
Mengenai kondisi
tersebut, Ibu Yustina megakui kelemahan PT secara berani dan terbuka. Begitulah
kondisi kita saat ini. Semacam ada lingkrangan setan.
Literasi Adalah
Kita
Supaya tidak
saling menyalahkan antar jenjang pendidikan, sebaiknya kita mengadopsi konsep:
Literasi adalah kita.
Maksudnya, siapa
pun kita, punya kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam membudayakan
gerakan literasi. Membudayakan suatu hal memang tidak mudah dan tidak bisa
cepat. Tapi, bila hal ini terus-meneruskan digaungkan, maka mimpi MPC menyambut
generasi emas pada tahun 2050 dengan literasi semakin mudah terwujud. Semoga...
0 Komentar