Jalan Siang (2)

Jalan Siang (2)
Jon Jandai saat berbicara di TEDx (Foto hasil capture dari Youtube)

Bila Anda mengikuti cerita jalan siang (1), berarti bisa memahami apa yang dimaksudkan jalan siang. Saya tidak berjalan yang sesungguhnya. Jalan siang yang saya lakukan berupa perjalan virtual. Saya mengakses blog/website/youtube atau media online apa saja yang berisi informasi yang bermanfaat dan inspiratif. Sampai di sini, Anda sudah paham maksud jalan siang ini, kan ?
Sebenarnya saya sering melakukan #JalanSiang ini, tapi jarang sekali menuliskan di catatan ini. Kali ini, ada sesuatu yang ingin saya bagikan dari perjalanan itu. Saya kurang yakin ini bermanfaat atu tidak. Saya bagikan saja, sila Anda menilai dan memutuskan sendiri.
Hari ini saya jalan siang ke saluran Youtube milik “TEDx Talks”, khususnya yang menampilkan pembicara yang bernama Jon Jandai. Dia orang Thailand yang memiliki pemikiran serta cara hidup yang unik. Baginya, hidup itu sangat mudah dan menyenangkan. Sangat mudah mendapatkan makanan, rumah, pakaian dan obat-obatan. Bagaimana caranya ? Saya sudah berusaha menerjemahkan pembicaraanya. Tapi, mohon maaf bila hasilnya sangat buruk. Berikut ini pemikiran lengkap dari Jon Jandai. Selamat membaca.
 ***
Ada satu frasa yang ingin selalu saya sampaikan ke setiap orang dalam hidup. Frasa itu adalah: “Hidup itu mudah”. Sangat mudah dan menyenangkan.
Saya tidak pernah berpikir seperti sebelumnya. Saat saya tinggal di Bangkok, saya merasa hidup sangat sulit, banyak masalah.
Saya lahir di kampung miskin, di wilayah utara Thailand. Saat kanak-kanak saya merasa semuanya menyenangkan dan mudah. Tapi, saat TV masuk ke daerah kami, lalu banyak orang datang dan mengatakan, “Kalian hidup miskin, kamu harus hidup sukses. Kamu harus ke Bangkok untuk mengejar kesuksesan dalam hidup”. Jadi, saat itu saya merasa diri buruk, saya merasa diri miskin. Saya harus segera ke Bangkok.
Saat saya ke Bangkok, ternyata tidak menyenangkan. Kau harus belajar, belajar yang banyak dan kerja keras, supaya kemudian bisa hidup sukses. Saya bekerja sangat keras, 8 jam sehari paling kurang. Tapi, saya hanya bisa makan mie  atau nasi goreng atau makanan sejenisnya. Dan saya tinggal di tempat yang buruk, ruangannya sangat sempit tapi ditiduri banyak orang. Sangat gerah.
Sejak itu saya mulai banyak bertanya, “Saat saya bekerja keras, kenapa hidup terasa makin susah saja ?” Pasti ada yang salah. Saya melakukan banyak hal, tapi saya tidak bisa mendapatkan hasil yang banyak.
Saya coba belajar (kuliah) di universitas.  Belajar di univeritas sangat susah, karena sangat membosankan. Saat saya melihat mata kuliah di universitas, hampir di semua fakultas, memberikan ilmu yang destruktif. Bagi saya, tidak ada ilmu yang produktif di universitas. Jika Anda ingin menjadi arsitek atau insinyur, itu artinya Anda menjadi penghancur. Pekerjaan mereka banyak menghancurkan gunung. Dan sebuah area yang bagus di Chao Praya Basin mejadi contoh nyata, dan masih banyak lagi. Kita menghancurkan banyak hal.
Jika kita melihat ke fakultas pertanian atau sejenisnya, itu artinya kita belajar bagaimana meracuni. Meracuni tanah, air, dan belajar menghancurkan banyak hal. Saya merasa apa yang kita lakukan sangat rumit, sangat susah. Kitalah yang membuatnya susah. Hidup terasa sangat susah dan saya merasa sangat kecewa. Sejak itu saya mulai berpikir, kenapa saya harus berada di Bangkok ?
Saya mengingat lagi kenangan semasa kecil, tidak ada yang bekerja 8 jam per hari. Setiap orang bekerja 2 jam per hati; dua bulan setahun. Menanam padi selama bulan pertama, lalu panen pada bulan berikutnya. Waktu tersisa selama 10 bulan untuk istirahat. Itulah mengapa orang Thailand memilik banyak festival. Setiap bulan ada festival. Karena sangat banyak waktu luangnya.
Sepanjang waktu orang bisa tidur sesukanya. Saat ini di Laos, -silakan ke sana kalau Anda bisa- orang tidur sejenak setelah makan siang. Dan setelah bangun tidur mereka akan bergosip ria (bercerita) “Bagaimana sepupumu ?”; “Bagaimana istrimu ?”, dsb.
 Orang-orang memiliki banyak waktu luang sehingga ada kesempatan atau waktu untuk memperhatikan diri mereka sendiri. Hal itu membuat mereka makin memahami diri mereka sendiri, sehingga bisa tahu apa yang mereka inginkan dalam hidup.   Mereka ingin bahagia; mereka ingin mencintai-dicinitai; mereka ingin menikmati hidupnya.
Orang melihat mereka hidupnya begitu indah. Keindahan itu diekspresikan dalam berbagai bentuk. Ada yang membuat ukiran sangat indah dengan pisaunya; orang menenun atau menganyam keranjang sangat baik. Tapi sekarang, tidak ada lagi yang melakukannya. Tidak ada lagi yang bisa melakukan hal seperti itu. Orang-orang menggunakan kantong plastik di mana-mana.
Saya merasa ada sesuatu yang salah di sana. Saya tidak bisa hidup dengan cara seperti itu. Saya pun memutuskan untuk keluar dari universitas, lalu kembali ke kampung. Saat di kampung saya memulai hidup seperti dulu, seperti yang dialami semasa kecil.
Saya mulai bekerja 2 bulan dalam setahun. Saya mendapatkan hasil 10 ton beras. Semua anggota keluarga yang berjumlah 6 orang, hanya menghabiskan beras tidak lebih dari setengah ton per tahun. Kami bisa menjual sebagian beras tersebut. Saya membuat 2 kolam ikan. Kami bisa makan ikan setiap tahunnya. Saya juga membuka kebun kecil, kurang dari 1 hektar. Saya meluangkan waktu sekitar 15 menit per hari untuk merawat kebun itu. Saya memiliki lebih dari 30 jenis sayuran di sana. Kami yang berjumlah 6 orang tidak bisa memakan itu semua. Kami mempunyai kelebihan banyak yang bisa dijual ke pasar. Kami dapat penghasilan dari sana juga.
Jadi, saya merasa ini sangat mudah. Kenapa dulu saya hidup di Bangkok (kota)  selama 7 tahun ? Bekerja keras, tapi tidak mendapatkan hasil yang banyak untuk dimakan. Tapi di sini (kampung/desa), hanya 2 bulan dalam setahun dan 15 menit per hari, saya bisa memberi makan 6 orang. Itu sangat mudah.
Setelah itu, saya berpikir orang bodoh seperti saya yang tidak pernah mendapat peringkat di sekolah, tidak bisa memiliki rumah. Karena orang yang lebih pintar dari saya, -yang juara kelas tiap tahunnya, memiliki pekerjaan bagus-, tapi mereka harus bekerja lebih dari 30 tahun untuk mendapatkan sebuah rumah. Tapi bagi saya, orang yang tidak tamat dari universitas, bagaimana mungkin bisa memiliki rumah ? Tidak ada harapan bagi orang yang berpendidikan rendah seperti saya.
Tapi, saat saya mulai membangun rumah, ternyata sangat mudah. Saya menggunakan waktu 2 jam per hari mulai pukul 05.00 hingga pukul 07.00 setiap pagi. Tiga bulan kemudian, saya memiliki sebuah rumah. Teman saya yang dulu sangat pintar di kelas, dia juga membangun rumah dalam waktu 3 bulan. Tapi, rumah itu dibangun dengan meninggalkan hutang yang harus dibayar selama jangka waktu 30 tahun. Bila dibandingkan dengan dia, saya memiliki waktu yang luang selama 29 tahun dan 9 bulan.
Jadi, saya merasa hidup itu sangat gampang. Saya tidak pernah membanyangkan bisa bangun rumah semudah itu. Karenanya, saya tetap membangun rumah terus tiap tahun, paling tidak ada satu rumah per tahun. Sekarang saya memang tidak memiliki banyak uang, tapi ada begitu banyak rumah. Masalah saya sekarang adalah, bingung menentukan mau tidur di rumah yang mana.
Jadi, rumah bukanlah masalah. Setiap orang bisa membangun rumah. Anak-anak berusia 13 tahun, di sekolahnya, membuat batu bata bersama, membangun rumah. Sebulan kemudian, mereka memiliki ruang perpustakaan. Anak-anak saja bisa bangun rumah. Seorang yang tua dan hidup sendiri pun bisa membangun pondok untuk dirinya sendiri. Banyak orang yang bisa membangun rumah. Jadi, sangat mudah. Jika tidak percaya, cobalah sendiri. Itu kalau anda ingin punya rumah.
Berikutnya soal pakaian. Saya merasa sepertinya saya sangat miskin, tidak keren (ganteng). Saya pernah coba menggunakan pakaian layaknya bintang film supaya terlihat lebih baik (keren). Saya menggunakan waktu sebulan untuk menabung agar bisa membeli sepotong celana jins. Saat saya mengenakan jins itu, saya putar ke kiri, putar ke kanan di hadapan cermin. Setiap kali memperhatikan, saya masihlah orang yang sama. Celana yang sangat mahal tidak bisa mengubah diri saya. Saya merasa seperti sudah gila, kenapa harus membeli pakaian mahal itu ?
Butuh usaha sebulan hanya untuk mendapatkan celana jins. Itu tidak mengubah saya. Saya mulai berpikir lebih mendalam tentang hal tersebut. Kanapa kita harus mengikuti perkembangan fashion ? Bila kita mengikuti fashion, kita tidak akan pernah mencapainya. Jadi tidak perlu mengikuti tren fashion, tetaplah seperti sekarang. Gunakan apa yang ada.
Setelah berpikir seperti itu hingga saat ini (20 tahun), saya tidak pernah membeli pakaian lagi. Semua pakaian yang saya gunakan merupakan pakaian bekas yang diberikan orang. Saat orang datang mengujungi saya, begitu kembali, mereka meninggalkan pakaian buat saya. Sekarang saya memiliki pakaian kurang lebih satu ton. Saat orang datang dan melihat saya menggunakan baju yang lusuh, mereka memberi banyak pakaian lagi. Saat ini, saya harus sering memberikan pakaian yang banyak itu kepada orang lain. Jadi, ini sangat mudah.
Saat saya memutuskan berhenti membeli pakaian, saya merasa bukan hanya pakaian saja, tapi juga segala hal dalam kehidupan saya. Hal yang bisa saya pelajari adalah, saat membeli sesuatu itu karena butuh. Kalau saya membeli hanya karena ingin, itu berarti saya salah. Saya merasa bebas semenjak berpikir seperti itu.
Hal terakhir, bila saya sakit, apa yang akan dilakukan ? Awalnya saya begitu cemas karena tidak memiliki banyak uang. Saya pun mulai merenung lebih jauh. Pada dasarnya, sakit merupakan hal yang wajar, bukan sesuatu yang buruk. Sakit itu mengingatkan kita bahwa, kita telah melakukan hal yang salah dalam hidup. Itulah kenapa kita bisa sakit.
Bila kita sakit, berhentilah sejenak, kembali pada diri sendiri dan pikirkan tentang itu, “Apa tindakan salah yang sudah dilakukan ?” Saya belajar menggunakan air sebagai penyembuh diri sendiri; saya belajar bagaimana menggunakan bahan alam untuk mengobati diri sendiri; saya belajar bagaimana menggunakan ilmu dasar untuk menyembuhkan diri sendiri.
Semua kisah itu menyimpulkan, hidup itu sangat mudah. Saya merasa sangat merdeka. Bebas. Saya merasa tidak perlu khawatir tentang apapun. Saya tidak pernah takut. Saya bisa melakukan apa saja yang diinginkan dalam hidup.
Sebelumnya, saya begitu banyak ketakutan tentang hidup, saya tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi sekarang saya merasa sangat bebas. Saya merasa diri manusia paling unik di bumi ini. Tidak ada orang seperti saya. Saya tidak mau ikut cara atau gaya hidup orang lain. Saya adalah orang nomor satu.
Jadi, hal seperti itu sangat mudah; sangat mencerahkan. Setelah itu saya berpikir kembali tetang kehidupan di Bangkok dulu. Saya merasa itu bagian yang “gelap” dalam hidup. Saya juga berpikir, mungkin banyak orang berpikir seperti saya saat ini. Itulah mengapa kami membuat  sebuah tempat yang dinamai “Pun Pun” di Chiang Mai. Tujuan utamnya untuk menyimpan benih. Karena benih merupakan makanan, dan makanan merupakan hidup. Jika tidak ada benih, tidak ada kehidupan. Tidak ada benih, tidak ada kehidupan. Tidak ada benih, tidak ada kebahagiaan. Hidupmu akan bergantung pada orang lain karena kamu tidak memiliki bahan makanan. Sangat penting kita menyimpan benih. Itulah mengapa kami fokus dalam menyimpan benih. Itulah kegiatan utama di Pun Pun.
Hal kedua, di sana ada pusat pembelajaran. Kami memiliki pusat tempat belajar. Belajar bagaimana hidup bisa mudah. Karena kita sudah berpikir hal-hal yang rumit sepanjang waktu. Bagaimana caranya membuat itu mudah ? Sangatlah mudah. Tapi, kadang kita tidak tahu bagaimana membuatnya mudah.
Sekarang kita coba belajar, dan belajar hidup bersama. Selama ini kita tidak terhubung dengan diri sendiri; dengan segala sesuatu yang membuat kita mandiri. Kita tidak bisa hanya mengandalkan uang saja. Kita tidak bisa mengandalkan pada orang lain. Kalau mau bahagian sekarang, kita harus kembali, terhubung dengan diri sendiri lagi; terhubung dengan orang lain; terhubung dengan pikiran dan tubuh kita lagi. Jadi, kita bisa bahagia. Hidup ini sangat mudah.
Sejak awal hingga saat ini, apa yang saya pelajari tentang 4 kebutuhan dasar: makanan, rumah, pakaian dan obat-obatan, harusnya murah dan mudah bagi setiap orang. Tapi bila Anda membuat 4 hal tersebut menjadi sesuatu yang sulit diperoleh, itu sungguh keterlaluan.
Bila kita melihat di sekeliling saat ini, semuanya sangat sulit  untuk didapat. Saya merasa sepertinya sekarang merupakan era terburuk manusia di bumi. Kita memiliki banyak orang lulusan dari universitas. Ada begitu banyak universitas di dunia ini. Ada begitu banyak orang pintar di muka bumi ini. Tapi, hidup makin sulit dan sulit. Kita membuat ini sulit untuk siapa ? Kita bekerja keras untuk siapa saat ini ?
Saya merasa ada yang salah, tidak normal. Jadi, saya hanya kembali pada hidup yang normal. Jadilah manusia yang normal. Normal seperti binatang-binatang. Burung membuat sarangnya (rumah) hanya satu atau dua hari. Tikus, menggali lubang (rumah) hanya semalam. Tapi orang pintar seperti kita, butuh waktu 30 tahun untuk mendapatkan sebuah rumah.
Banyak orang tidak yakin mereka bisa memiliki rumah selama hidupnya. Itu salah. Kenapa kita hancurkan spirit yang dimiliki; kenapa kita hancurkan kemampuan yang begitu banyak dimiliki ?
Saya merasa sudah cukup, hidup dengan cara tidak normal. Sekarang saya mencoba hidup normal. Tapi orang menilai saya tidak normal. Orang gila. Tapi saya tidak peduli, karena itu bukan kesalahan saya. Mereka yang salah, karena mereka yang berpikir seperti itu.
Hidup saya mudah dan menyenangkan saat ini. Itu sudah cukup bagi saya. Orang-orang bisa berpikir apa saja yang mereka mau. Saya tidak bisa mengatur semua di luar hidup saya. Apa yang saya lakukan Cuma mengubah cara berpikir, mengatur pikiran sendiri. Saat ini pikiran saya begitu cerah dan mudah, itu sudah cukup.
Jika ada yang mau membuat suatu pilihan, Anda dapat memilih menjadi mudah atau memilih menjadi susah. Semuanya tergantung Anda.
 ***
 Bila Anda tidak bisa menyaksikan video di Youtube, saya coba gambarkan sedikit rumah yang dibangun Jon Jandai buat. Kesan saya, rumah itu terbuat dari bahan-bahan alami yang ada di sekitar kita. Batu batanya terbuat dari tanah. Mungkin dindingnya juga berasal dari tanah liat. Atapnya menggunakan daun jerami. Meski kesannya sangat sederhana dari “kacamata” kita, tapi tetap terlihat indah dan menarik. Rumah itu tampak bersih.

Demikianlah kisah hidup Jon Jandai. Sebagai orang yang telah merantau sekian tahun ke kota, saya merasa terganggu dengan pemikirannya. Saya tidak tahu apakah akan mengikuti jejaknya suatu saat. Tapi yang pasti, pikiran saya sangat terganggu dengan pemikirannya. Jon Jandai sungguh mengganggu saya. Ah.., John... 

Posting Komentar

0 Komentar