![]() |
Teman SD saya dulu, Pater Aventinus Serundi, SVD |
Tepat hari Jumat
Agung bulan lalu, teman se-kampung dan se-SD dulu, -Venty Serundi,
mengirimi saya foto di bawah ini dengan disertai pesan berikut ini:
"Salam
jumpa bro, saya tak bisa merumuskan kata-kata yang pas untuk kostum ini. Saya
menggunakannya, sebagai busana hitam di prosesi jumat agung. Dan banyak yang
menyukainya. Setelah melihat kembali foto ini, saya membayangkan kita sedang
keluar atau masuk hutan wae kanta ngo kawe wua lekeng, bersama kraeng Hans Modho dkk, lako leso
mese dengan kostum #JalanPagi."
Saya membacanya
berulang-ulang. Setiap kali membacanya, saya tersenyum sendiri, lalu semacam
ada rasa gemetar di dalam dada. Saya bangga! Teman se-kampung, se-SD, dan
sepermainan masa kecil, akhirnya terjalin dalam ikatan #JalanPagi.
Antara saya,
Hans dan Venti memang terbilang cukup dekat sewaktu masih kecil hingga tamat
SD. Kami kurang lebih seumuran, seangkatan ketika sekolah, dan rumah kami
berdekatan. Tidak heran bila kami akrab, karena teman bermain sewaktu di
sekolah maupun di rumah, hanya seputaran itu-itu saja.
Sewaktu SD,
kalau ada orang bertanya cita-citanya mau jadi apa, otomatis kami menjawab
ingin menjadi pastor atau romo.
Entah teman saya
berdua itu (Venti dan Hans), kalau saya motivasinya sederhana. Tiap kali
melihat ada pastor yang mengunjungi ke stasi Pela, pasti selalu dilayani secara
istimewa oleh umat. Makanan dan minumannya serba enak. Siapa yang tidak
tergerak menjadi Pastor, coba?
Singkat cerita,
ketika kami kelas 6 SD, ada informasi tes masuk Seminari Pius XII Kisol. Setahu
kami, lewat sekolah itulah kalau mau jadi pastor. Ketika ditanya siapa yang
bersedia, kami bertiga menyatakan siap.
Sebelumnya, ada
kakak kelas yang penah lulus tes masuk, Kae Fedi dan Kae Ino. Guru dan orang
tua kemudian memberikan penguatan buat kami, "Kalau mereka dulu bisa
lulus, kamu juga harusnya bisa."
Mungkin mereka
kira kalimat itu bisa memotivasi kami. Padahal, khususnya bagi saya, kalimat
itu menjadi 'beban' yang mengganggu pikiran dan perasaan.
Kami bertiga
diantar dan ditemani bapak saya yang juga berstatus sebagai guru kami di SD.
Karena kampung kami dan lokasi tes yang dilaksanakan di kota kecamatan lumayan
jauh, maka kami menginap di rumah adik bapak saya, di Malawatar.
Tes berlangsung
2 atau 3 hari waktu itu, saya agak lupa. Hal yang tidak pernah saya lupa,
ketika selesai tes hari terakhir, kami buru-buru ke rumah adik bapak saya. Kami
segera pamit, takut ketinggal kendaraan. Waktu itu kendaraan umum yang ada
hanya bemo. Lewat dari jam 18.00, tidak ada lagi yang bemo yang lewat.
Saat berjalan ke
terminal bemo, saya bercerita dengan Venti dan Hans, "Oe teman, untung
tadi soal matematika hanya 30 nomor saja, e?"
"Aeh, kami
punya ada 60 nomor e," waktu itu Venti dan Hans memberi keterangan yang
sama.
Saya langsung
lemas. Berarti soal yang saya terima tidak lengkap, tapi saya tidak
menyadarinya saat ujian berlangsung.
Saya langsung
mengadu ke Bapak Thadeus, guru pendamping sekaligus bapak saya. Beliau
marah-marah. Tapi, pada akhirnya beliau membesarkan hati saya dengan mencoba
bertanya lagi ke pastoran Paroki Wae Nekang.
Bapak saya tahu
kalau panitia dari Seminari Kisol menginap di sana. Benar saja, ketika kami ceritakan
persoalan yang saya hadapi, mereka akhirnya memberi saya kesempatan lagi untuk
menyelesaikan soal yang tersisa.
Ketika saya dan
bapak kembali menemui panitia ujian, Venti dan Hans pulang duluan. Saat itu
hanya tersisa satu bemo. Itu bemo yang terakhir yang beroperasi hari itu.
***
Setelah
menyelesaikan ujian susulan itu, malam makin larut. Saya tidak tahu lagi sudah
jam berapa. Yang saya tahu, saat itu saya lapar sekali.
Untungnya bapak
mengerti, kami makan di sebuah warung. Ada kepikiran untuk kembali ke rumah
bapak kecil, tapi sudah terlalu larut malam. Pastinya merepotkan.
Malam itu,
setelah agak kenyang, saya dan bapak turun ke jalan raya, berharap masih ada
kendaraan yang lewat.
Rupanya tidak
ada lagi. Bapak mengajak saya jalan kaki pelan-pelan, siapa tahu nanti dalam
perjalanan ada kendaraan yang bisa ditumpangi.
Sebagai anak,
saya tidak banyak pilihan saat itu. Saya ikuti saja, jalan kaki di sepanjang
jalan raya Wae Nakeng menuju Daleng. Selama dalam perjalanan, kami terus
berharap ada kendaraan umum yang bisa ditumpangi. Sampai tiba di Daleng, tidak
satu pun kendaraan yang mau berhenti.
Dari Daleng ke
kampung kami di Pela memang tidak ada kendaraan umum. Kami lanjutkan lagi jalan
kaki selama kurang lebih satu jam. Kaki rasanya mau patah saja. Seluruh tubuh
terasa sakit. Dalam hati saya terus berdoa, "Semoga perjuangan pahit ini
membuat saya lulus masuk seminari."
***
Hari pengumuman
hasil tes tiba. Bapak saya pulang dari pusat paroki dengan wajah tidak
bersemangat.
"Tidak ada
yang lulus dari sekolah kita...," katanya pelan.
Saya langsung
masuk kamar, dan merenung panjang. Barangkali memang saya tidak pantas jadi
romo. Semenjak saat itu, saya tidak mengubur dalam-dalam mimpi menjadi pastor.
Setamat SD, kami
bertiga melanjutkan sekolah di tempat yang berbeda. Saya juga tidak tahu,
apakah kedua teman itu masih kepingin jadi romo atau tidak.
Ketika SMA, saya
dan Hans masih sempat sekolah berdekatan, dan tinggal serumah kontrakan. Kami
berdua sama-sama tidak berpikiran lagi jadi pastor, tiap hari hanya berpikir
kira-kira pacar mana yang mesti dikunjungi.
Di tempat lain,
teman kami Venti ternyata masih setia dengan panggilan menjadi imam Katolik.
Setamat SMP, di masuk ke Seminari Gabungan Loyola. Lalu masuk biara, belajar
filsafat dan teologi di STFK Ledalero, dst.
Saat ini, teman
Venti sedang bertugas di salah satu daerah di Ende. Dia mengabarkan kalau tidak
lama lagi akan dithabiskan sebagai pastor, dan kemungkinan akan ditugaskan di
benua Amerika sana.
Luar biasa!
Sebagai teman, saya turut berbangga. Paling tidak, dari kami bertiga yang
pernah berjuang menjadi pastor, ada satu juga yang berhasil.
Terima kasih
teman Venti, paling tidak kamu sudah mewakili impian saya dan Hans; impian
keluarga besar SD dan kampung Pela. Sebab ketika penjemputan imam baru nanti,
kami semua bergembira. Akhirnya ada juga anak Pela yang jadi pastor.
(Ah..., cerita
ini sudah terlalu penjang. Padahal tadinya hanya mau promosi baju #JalanPagi. Kalau Anda berminat, sila tinggalkan komentar di bawah).
0 Komentar