![]() |
Potongan e-mail dari sebuah portal jurnal ilmiah |
Saya beryukur
dapat e-mail dari Academia.edu, isinya sebuah kabar
tentang Jurnal Ners milik FKp Unair yang baru saja menerbitkan sebuah artikel
secara online.
Selama ini saya memang sering membaca jurnal penelitian, apalagi bila sedang mempersiapkan tulisan yang akan dikirim ke media massa (koran). Tapi kali ini agak beda, mereka mengabarkan lewat japri, sehingga tidak perlu susah-susah dulu mencari jurnal penelitian yang baik/terakreditasi.
Kalau dibandingkan dengan bahan bacaan lain, saya harus akui masih jarang membaca jurnal ilmiah. Kenapa jarang? Bahasanya kaku dan untuk mendapatkan satu artikel, butuh usaha yang tidak hanya selangkah. Kadang ada beberapa jurnal harus bayar dulu supaya bisa melihat artikelnya.
Beda dangan artikel populer yang bertebaran di mana-mana. Sekali klik saja di media sosial, kita bisa membaca artikel yang gaya tulisannya menarik untuk diikuti hingga habis dan mudah dipahami oleh siapa pun, asalkan melek huruf saja.
Saya kadang heran, kenapa hasil penelitian di berbagai perguruan tinggi kita harus diterbitkan di jurnal ilmiah dengan ketentuan ini dan itu. Harus jurnal internasional. Jurnal yang terakreditasi. Terindeks ini dan itu. Bahasa yang digunakan harus bahasa internasional. Dan masih banyak lagi syarat lainnya.
Iya, memang ketentuan itu ada baiknya. Reputasi penulisnya makin oke di kancah dunia, tapi skop-nya kecil, hanya ilmuwan-ilmuwati yang serumpun. Ilmuwan mengenal ilmuwan.
Lucunya, kemudian kita bertanya, mana ilmu yang bisa diterapkan di masyarakat dari para ilmuwan di kampus? Hmmm....hanya jadi menara gading saja, tidak ada manfaat buat masyarakat.
Ya, iyalah. Masyarakat jarang mengakses jurnal ilmiah itu. Mereka lebih memilih jenis tulisan populer. Tulisan yang biasa muncul di koran, majalah dan media online gratisan. Media massa yang bahasanya luwes, menggunakan bahasa yang biasa digunakannya sehari-hari.
Kenapa kita tidak langsung tulis saja hasil penelitian buat semua jenis media? Bukankah salah satu tugas ilmuwan adalah menyampaikan informasi baru kepada khalayak?
Oke, omelannya saya cukupkan dulu. Sekarang kembali pada isi e-mail yang saya terima tadi. Ada sebuah artikel yang berjudul: "The Improvement of Student Competency in A Clinical Study in Indonesia: What Faktors Played An Important Role."
Bagaimana, dari judulnya saja, apakah Anda mudah memahaminya? Sudahlah, tidak usah merengut begitu. Saya berusaha menyederhanakannya.
Artikel ini pada intinya mau menunjukkan apa saja faktor yang berperan dalam meningkatkan kompetensi mahasiswa keperawatan selama praktik klinik?
Termuannya ada banyak. Saya ringkas buat Saudara/i...
Pertama, hubungan kerjasama yang baik antara institusi pendidikan dan pelayanan kesehatan sebagai tempat praktik. Keduanya harus memiliki kebijakan yang saling mendukung.
Kedua, variasi pasien yang ditemukan selama praktik. Semakin banyak kasus yang dirawat, kompetensi mahasiswa juga ikut bertambah. Jangan sampai baru diberi satu kasus saja, mengeluhnya minta ampun, sering-sering menghindar dari pembimbing supaya tidak ditanyai. Mana bisa berkompeten kalau begini.
Ketiga, kejelaskan deskripsi tugas dari instruktur klinik yang setidaknya ada dua peran utama: memastikan askep yang bermutu dan menjadi petunjuk bagi siswa yang sedang belajar/praktik.
Keempat, adanya role model. Maksudnya ada yang kasi contoh yang baik. Kalau calon perawat, tentu saja melihat contoh orang yanh telah sah jadi perawat. Kalau mereka dicontohi hal yang tidak baik, maka siswa bisa-bisa ikut tidak baik.
Menariknya, dalam penelitian tersebut, variabel 'role model' ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam meningkatkan kompetensi siswa. Saat ini kita sedang krisis role model, tidak banyak yang bisa dijadikan panutan.
Kelima, keahlian yang dilimiliki pembimbing, baik dari kampus maupun tempat praktik. Ini memang penting. Tidak lucu kalau orang yang tidak berkompeten membimbing anak yang belum tahu apa-apa. Itu semacam orang buta menuntun orang buta.
Itulah isi ringkas artikel ilmiah tadi. Tampaknya sangat sederhana. Tapi, dalam penerapannya, kadang dihambat ini dan itu. Ada saja kendalanya.
Okelah, apapun itu, yang jelas saat ini orang butuh banyak role model. Bukan model kayak rol, mbulet...
(*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 20 Agustus 2018)
0 Komentar