![]() |
Lambang Burung Garuda Pancasila di Baju |
Dua bocah
berlarian di halaman sekolah, keduanya sama-sama berambisi bisa lebih cepat.
Rupanya mereka sedang berupaya mendapatkan sesuatu yang berharga.
"Saya yang
dapat," pekik yang bertubuh kurus sambil berjongkok, kedua tangannya
membekab sesuatu di tanah.
"Coba
buka," kalimat anak yang agak gemuk itu terselip dalam napasnya yang
megap-megap.
Anak kurus
mengangkat kedua tangannya, lalu membuka perlahan, kecil sekali. "Ini
burung," senyuman kemenangan terpancar di wajahnya.
Anak gemuk
sedikit cemberut, "Burung apa?"
"Belum
tahu."
"Jangan-jangan..."
"Apa..?"
"Burung
garuda pancasila. Iya, itu burung garuda pancasila!"
"Sembarangan..."
Anak yang gemuk
menarik baju temannya yang kurus. Begitu tiba di depan kaca jendela kantor
sekolah, dia berusaha melihat pada jendela yang berwarna gelap.
"Kamu lihat
itu," desaknya pada si kurus, itu satu-satunya burung garuda yang berbeda
dari yang lain."
Anak kurus hanya
mengernyitkan dahi.
"Coba kamu
bandingkan," lanjut si anak gemuk, "lambang garuda pancasila yang ada
di sekolah kita, semua gambarnya sama. Kecuali yang ada di kantor ini, itu benar-benar
burung; burung garuda pancasila!"
"Maksudnya?"
"Itu
benar-benar burung, burung garuda yang diawetkan. Saya yakin, yang di tangan
kamu itu juga burung garuda. Garuda pancasila!"
"Jengan
sembarang kamu..."
"Ah, kurang
informasi kamu. Kamu tahu riwayat lambang burung garuda di kantor ini?"
Si kurus hanya
menggeleng.
"Begini
ceritanya. Kejadiannya hampir sama dengan apa yang kita alami barusan. Ada
seekor burung yang menabrak kaca, lalu menggelepar di lantai."
"Di lantai
sini?" Sela si kurus.
"Ya, iya.
Tapi tolong jangan potong dulu!"
Si kurus kembali
membisu sambil menatap burung di tangannya.
"Saya
lanjut lagi ya. Burung tadi buru-buru ditangkap penjaga sekolah. Kemudian
guru-guru dan kepala sekolah berkumpul. Mereka menghitung bulu lehernya, ada 45
helai. Bulu sayapnya ada 17 helai, dan bulu ekornya 8 helai."
"Persis
garuda pancasila, ya?"
"Lha iya,
tapi tolong jangan potong selagi saya menjelaskan!"
"Lalu?"
"Burung itu
diantar ke Jakarta. Di sana, burung itu diawetkan, lalu kakinya dilem bersama
kayu yang ada tulisan: Bhineka Tunggal Ika. Hasilnya seperti yang kita lihat
sekarang."
"Waktu itu,
kamu sudah lahir?"
"Belum
sih... tapi, tidak ada salahnya kita hitung bulu burung yang ada di tanganmu
sekarang."
"Baiklah,"
jawab si kurus.
Keduanya mulai
menghitung dari leher. "Satu, dua, tiga, .."
"Eh, yang
itu kelewatan," tangan si gendut ikut menyentuh leher burung.
"Ulang
lagi. Satu, dua, tiga..."
"Eh, yang
itu kelewatan," si gemuk lagi-lagi menunjukkan ketelitiannya.
Ulang lagi,
hingga beberapa kali.
"Ah, coba
kita hitung bulu sayap saja. Bulu leher terlalu kecil, susah
memisahkannya," usul si gendut.
Si kurus
melonggarkan genggamannya supaya mudah melihat sayap burung. Belum sempat
mereka hitung, burung itu keburu terbang saat genggaman si kurus sedang longgar.
Keduanya sangat
menyesali kebodohan itu. Mulut keduanya lebih banyak menghasilkan makian.
Hingga kini, keduanya masih penasaran, kira-kira burung itu benaran burung
garuda pancasila atau bukan?
0 Komentar