Bukan Kahlil Gibran*

Bukan Kahlil Gibran
Diskusi buku di Komunitas Secangkir Kopi Kupang


Ketika menjawab pertanyaan orang-orang mengenai nama anak kami, Gibran, tidak sedikit di antara mereka mengasosiasikannya dengan nama Nabi Cinta dari Lebanon yang terkenal itu.

"Kahlil, e?"

Ada juga yang serampangan bilang, "Pantas, anaknya penulis..."

"Dia pasti jadi penulis terkenal nanti, lebih hebat dari bapaknya."

Saya sebenarnya mau ketawa sampai lemas ketika mendengar itu semua. Tapi, supaya mereka tidak terlalu kecewa, maka saya meresponsnya dengan senyuman yang tenang.

Saya tidak mengiyakan apa yang mereka bilang, juga tidak menyangkalnya. Tersenyum saja. Tenang.

Semakin lama, semakin banyak orang yang meyakinini pikiran mereka sendiri, tanpa pernah melakukan verifikasi yang mendalam pada saya.

Saya juga senang-senang saja diikira sebagai penulis, hehehe.... Yah, siapa tahu harapan mereka itu jadi doa yang kuat.

Pernah suatu ketika, Kaka Robertus Fahik dan Kae Richarno Gusty sebagai pengagum karya-karya K. Gibran, memasukan saya ke dalam grup WA yang diberi nama kurang lebih seperti ini: Pecinta K. Gibran.

Kedua Kakak saya yang baik hati dan tidak sombong itu memang pembaca yang tekun karya penyair cinta itu. Hal itu saya tahu kemudian, ternyata keduanya sama-sama menulis karya ilmiah (skripsi) yang mengupas tuntas si Gibran dari berbagai sisi.

Ketika mereka tahu nama anaknya saya Gibran, mungkin mereka kira saya juga "pecinta" karya K. Gibran.

Selama berada dalam grup WA esklusif tersebut, saya hanya membaca apa yang mereka tulis atau bagikan ke sana.

Saya agak ragu menulis komentar, takut ketahuan kalau saya benar-benar buta informasi tentang K. Gibran. Saya hanya memberi emoticon, itupun sesekali saja.

Kepura-puraan itu saya simpan rapi cukup panjang. Hingga 11 Januari 2020 kemarin, saat acara diskusi buku "Lukisan yang Hilang" karya Kae Rian Seong yang dipadukan dengan bukunya Kae Gusty, "Feminisme Kahlil Gibran." Singkatnya, kedua buku itu banyak menyinggung, atau paling tidak punya hubungan dengan karya-karya K. Gibran.

***

Sore itu, di Kupang turun hujan yang tidak ada obatnya. Meski jalanan agak licin di Naimata, saya tetap paksakan menuju lokasi acara, di kantor Media Pendidikan Cakrawala; yang berlokasi di bilangan TDM.

Sebelumnya Kae Riang berulang kali mengirim WA, memastikan saya untuk hadir. Saya yang telah berjanji tidak akan ke mana-mana selama liburan, hanya ingin lebih banyak bermain dengan Gibran anak kami (bukan sang penyair), tetap berupaya pergi.

Iya, bagaimana pun juga, selain Kae Rian, di sana juga sudah ada rekan-rekan Komunitas Secangkir Kopi (KSK) yang lain. Satu semester kita berpisah, tidak ada salahny berjumpa dulu, meski tidak lama.

Selain itu, ini acaranya diskusi buku, tentang orang yang memiliki kesamaan nama dengan anak saya. Ah, harus berangkat.

Tiba di lokasi, saya disambut senyuman Reba/Molas Perkumpulan Mahasiswa Macang Pacar. Mereka banyak sekali, ketika saya tiba, mereka sedang menyiapkan segala sesuatu demi kelancaran acara.

Saya menyapa mereka secara random, tapi kepada Molas yang sempat berpapasan, saya pastikan untuk berjabat tangan dulu.

Begitu masuk pintu redaksi, Kae Robi Fahik selaku Pemred menatap kaget. Dia tidak menyangka saya sudah di Kupang. Rumah kami sebenarnya berdekatan, tapi saya pandai bersembunyi.

Di sampingnya duduk Kaka Siti Hajar, Dosen UM Kupang yang menulis cerpen "Menyudahi Khabair." Saat itu pula, saya membeli buku cerpen itu setelah sekian lama menundanya. Akhirnya kami ketemu tanpa rencana di sana.

Saat itu, Ka Robi memperkenalkan saya dengan kru Cakrawala yang baru, Ka Atyk panggilannya. Saya memperhatikannya sangat sibuk, rupanya dia yang mengoordinir Reba/Molas Mahasiswa Macang Pacar.

Acara dimulai lumayan telat dari rencana semula. Hujan berulang-ulang disalahkan, sebab cuma dia yang tabah dijadikan kambing hitam.

Di panggung utama, telah duduk dengan anggung Ka Roby yang diapiti dengan hangat dari sisi Kanan oleh Kae Rian. Di sebelah kirinya ada Pak Marsel Robot sebagai pembedah utama kedua buku tersebut, kemudian disusuk Ka Gusty, Pak Sebas, dan hadirin lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Saya duduk di sisi sebelah Barat, bersama Ka Sity, Ka Atyk, dan Reba/Molas lainnya.

Ketika diskusi baru bergulir sebentar, Reba/Molas yang dikoordinir Ka Atyk tadi mulai mengedarkan penganan lokal khas NTT. Ada jagung manis, pisang dan ubi rebus. Makanan itu akan biasa saja bila tanpa kehadiran sambal tomat yang lezat.

Ketika saya mencocol sepotong ubi ke sambil, lalu dirasakan dalam mulut, saya tidak berhenti berdecak kagum.

Mungkin karena sering menyanjung sambalnya yang enak, seorang Reba Macang Pacar menyahut, "Sambal itu buatan Ka Atyk."

Saya langsung menoleh ke pemilik nama yang disebut, kemudia memberi dua jempol tangan. Dia tidak bisa menahan ketawa, tersanjung. Tapi entah dalam hatinya, bisa saja dia bilang, laki-laki botak ini makan seperti baru lihat ubi-jagung-pisang-sambal saja.

Nah, gara-gara fokus pada makanan, saya kehilangan beberapa momen ketika Pak Marsel Robot mengulas buku Kae Rian dan Gusty.

Tapi, pada intinya beliau menyanjung keberanian dua pemuda NTT itu dalam menerbitkan buku. Setiap buku, pasti ada sisi baik, juga ada kelemahannya. Beliau menjabarkannya dengan sangat baik, jujur, tanpa menyakiti perasaan.

Mengenai kerja penulisan, beliau menekankan pentingnya melakukan penyuntingan berulang-ulang. Bila perlu, kata Dosen Undana tersebut, kalau draft pertam masih dirasa kurang pas alias jelek, hapus ulang dan tulislah kembali versi terbaiknya.

Setelah Pak Marsel membedah luar-dalam kedua buku tersebut, Kae Robi selaku pemandu acara memberi kesempatan beberapa orang untuk ikut berkomentar.

Saya merasa disambar petir ketika Ka Robi meminta ikut berkomentar juga.

Wah, mau komentar apa? Saya tidak tahu banyak tentang K. Gibran. Apalagi karya-karyanya, belum satu pun bukunya saya baca.

Nama K. Gibran, saya sekadar tahu dari kutipan yang berseliweran di medsos. Hanya pernah membaca ungkapan sepotong-sepotong saja.

Supaya tidak kehilangan muka, saya lebih banyak mengomentari bukunya Kae Rian. Kebetulan ketika dia pernah ke Surabaya berapa bulan sebelumnya, saya membeli satu buku itu dengan menukarkannya dengan baju kaus #JalanPagi. Saya sudah baca, sehingga agak mudah mengomentarinya.

Tapi, bagaimana dengan buku Kae Gusty yang membahas tentang Feminisme K. Gibran? Oh Tuhan, saya tidak tahu mau komentar mulai dari mana.

Maka di saat itulah, saya akhirnya jujur, bahwa nama Gibran anak saya itu bukan terinspirasi dari penulis terkenal itu.

Mereka semua merespons dengan oh panjang. Sebuah tabir baru saja terungkap di sore hari selepas hujan lebat itu.

Mau tahu kenapa anak kami diberi nama Gibran? Nanti saja lah, sudah capai mengetik di hp ini.

 (*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 26 Januari 2020)

 


Posting Komentar

0 Komentar