Berhenti Merokok*


 

Berhenti Merokok
Ini teman saya, Nana Rian, hanya pura-pura merokok untuk ilustrasi tulisan ini


"Dulu perokok berat, sekarang sudah berhenti. Boleh Saver diceritakan motivasi dan pengalaman untuk berhenti?"

Paragraf pertama di atas, ditulis seorang teman sejawat Ners pada kolom komentar, ketika dalam sebuah tulisan saya menyinggung kalau dulu pernah menjadi pecandu rokok.

Saya sebenarnya sudah beberapa kali menulis pengalaman berhenti merokok, hanya saya lupa telah unggah di mana. Saya merasa lebih gampang menulis ulang dibanding harus mencari tulisan yang lama itu. Karena ini juga permintaan seorang Ners yang bekerja di Puskesmas, -yang roh utamanya ada pada tindakan promotif dan preventif, maka saya melakukannya dengan senang hati.

***

Saya ceritakan secara singkat awal mulanya. Dulu, saya sudah coba-coba merokok ketika masih SD. Tentu saja dilakukan sembunyi-sembunyi.

Orang tua saya punya kios kecil di kampung, salah satu barang dagangannya adalah rokok.

Mungkin karena tiap hari melihat rokok dan menyaksikan banyak orang merokok, termasuk anak-anak muda, rasa penasaran itu bertunas.

Saya mulai berada pada tahap candu itu ketika kelas 3 SMP. Candu itu artinya, saya tidak akan bisa tenang bila belum mendapatkan rokok. Maka kami rela melakukan apa saja, misalnya bolos dari sekolah/asrama, demi mengisap rokok.

Masa SMA makin gila lagi. Rokok menjadi kebutuhan yang paling utama. Bila disandingkan dengan makanan paling enak sekali pun, saya tetap memilih rokok.

Begitu juga kalau ada cewek yang sok-sokan membuat peraturan, misalnya membuat ultimatum begini: "Kalau kamu merokok terus, lebih baik kita putus saja."

Saat itu juga saya menyetujui untuk putus, sebab masih banyak cewek lain yang menanti dan justru berharap cowoknya merokok. Entah kenapa? Mungkin kegantengan ini membuat segalanya bisa dimaklumi, hehehe...

Saking madatnya saat itu, ketika uang kiriman dari kampung sudah amblas, saya dan beberapa kawan sealiran lainnya, rela memungut puntung di jalanan. Sampai sehina seperti itu dulu.

Sekarang saya mulai menjawab pertanyaan pertama, "Bagaimana motivasi awalnya untuk berhenti?"

Saya mulai berpikir untuk berhenti ketika mulai kuliah di jurusan keperawatan. Waktu itu masih pada tahap rencana berhenti, tiap hari asap masih mengepul di liang mulut dan hidung.

Barangkali saya ceritakan saja, sebenarnya ada salah satu dosen kami dulu yang memprovokasi agar perawat harus menjadi contoh (role model) bagi pasien. Salah satunya dalam hal merokok. Beliau mengatakan, sangat tidak elok bila perawat melakukan penyuluhan tentang berhenti merokok, tapi dia sendiri melakukannya. Kontradiktif.

Mohon izin, saya sebut saja namanya di sini, Bapak Niko Kewuan. Saya masih ingat jelas, di sebuah ruang kelas waktu itu, beliau memutar sebuah video yang menunjukkan betapa berbahayanya merokok itu.

Saya merasa ngeri setelahnya, tapi lantas tidak langsung berhenti. Rupanya sulit menghentikan sesuatu yang telah mencandu.

Setahun kemudian, saya mulai merasakan nyeri dada sebelah kiri. Tanda dan gejalanya persis video dan nasihat Pak Niko sebelumnya.

Saya juga telah membaca banyak tentang penyakit, salah satunya bernama: Angina Pektoris (selanjutnya disingkat AP).

Ciri khas AP itu nyeri dada sebelah kiri, menjalar ke bahu dan lengan kiri, kadang sampai ke rahang kiri juga.

Rasa nyerinya seperti tertindih beban berat, dan mulai terasa sulit untuk bernapa lega. Siapa yang tidak khawatir?

Menurut teorinya, gejala itu terjadi karena suplai darah ke otot-otot jantung sudah mulai berkurang. Pemuluh darah jantung yang kecil-kecil itu tersumbat oleh berbagai sebab, salah satu pemicunya adalah merokok.

Kebetulan saat itu juga, saya sedang membaca sebuah buku yang benar-benar mengubah cara berpikir saya, judulnya: Kekuatan Pikiran.

Kombinasi rasa takut mati cepat karena serangan jantung akibat merokok itu dan informasi dari buku tersebut, akhirnya saya bisa berhenti total hingga sekarang. Hingga saat ini, saya sudah 10 tahun berhenti total merokok.

"Apakah dengan berhenti merokok kita makin sehat?"

Jawabannya sangat relatif, tergantung pengalaman masing-masing. Bagi saya pribadi, dampaknya luar biasa. Tapi mohon maaf, saat ini saya belum bisa memerincikan semuanya. Saya cukup mengatakan, kualitas hidup saya menjadi lebih baik dibanding sebelumnya. Penilaian ini memang terkesan subjektif, tidak mengapa lah. Percaya baik, tidak percaya juga baik.

Bila saya kaitkan dengan teori perubahan perilaku yang baru-baru saya pelajari saat kuliah S2 ini, bisa disimpulkan, perubahan yang saya alami itu dulu erat kaitannya dengan "The Transtheoretical Model and Stage of Change."

Saya tidak akan memerincikan teori itu, karena lumayan panjang. Sebelum Anda bosan, saya hanya ingin menyampaikan kalau perubahan itu ada tahapannya. Perubahan dari satu tahap ke tahap lainnya bisa cepat dan lambat, tergantung dari individu masing-masing.

Saya bersyukur bisa berubah cepat, dan harus saya akui peran besar dari buku pengubah pola pikir, Kekuatan Pikiran.

Saat ini saya belum bisa menjelaskan secara detail langkah-langkahnya. Terlalu panjang. Mungkin nanti akan dikemas dalam buku #JalanPagi jilid ke-2. Bagaimana, Anda berminat membacanya?

(*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 26 Oktober 2019)


 


Posting Komentar

0 Komentar