Belajar Pacaran*

Belajar Pacaran
Gibran Suhardin dan mamanya


Dari mana kita belajar berelasi dengan lawan jenis alias pacaran?

Sebagai anak yang tumbuh dan berkembang di kampung yang agak terisolir pada waktu itu, sudah tentu saya (mungkin juga dirasakan oleh teman-teman sepantar) tidak mendapat referensi dari tayangan di TV maupun buku roman. Tidak juga diajari lewat pendidikan formal. Orang tua juga tampaknya masih menganggap tabu untuk memberikan informasi seputar tentang hal itu.

Lalu, dari mana dan bagaimana kami pelajari mendekati seorang gadis yang disukai?

Tentu saja dari kakak-kakak pemuda yang usianya terpaut sekitar 5-10 tahun di atas kami. Mereka, para pemuda itu, memang tidak mengadakan kelas khusus. Tapi, ketika mereka berkumpul di deker atau di tempat nongkrong lainnya, kami sebagai anak yang akan betumbuh jadi pemuda kelak, ikut mendengar cerita-cerita mereka tentang menaklukan hati seorang wanita.

Dari proses pembelajaran informal di jalanan itu, saya akhir tahu, bahwa ketika kita memberi "salam" kepada seorang gadis lewat seorang perantara, itu merupakan cara awal mengungkapkan rasa cinta.

Bila salam itu diterima atau dijawab iya, maka selanjutnya bisa direncanakan jadwal kuncar (kunjung pacar) pada waktu dan tempat yang tepat. Dan seterusnya hingga bagian-bagian yang tidak perlu saya tuliskan lebih detail lagi, karena sedikit mengandung konten terlarang.

Selain pelajaran dasar tentang memulai berpacaran itu, ada hal menarik lain yang sampai saat ini selalu mengganggu pikiran saya.

Para pemuda itu, --lalu generasi saya juga pada akhirnya mengikuti-- punya kebiasaan unik ketika melihat seorang cewek cantik yang kebetulan baru pertama kali lewat di depan mereka.

Selain mereka akan suit-suit dan metode menarik perhatian lainnya, di antara mereka juga akan saling berkomentar, kurang lebih seperti berikut ini:

"Ole, molas de timi hio a, am toe manga wau pecun..." (Waduh, gadis itu cantik sekali, barangkali kentutnya pun tidak bau).

Selanjutnya, mereka juga akan menyeletuk:

"Ole, enu..., eme ngoeng keta agu aku, som asi keta ngo kerja agu ngo teneng musi dapur na. Kong one loang kat..." (Aduh, nona, kalau saja kamu mau dengan saya, kamu tidak perlu susah kerja, bahkan urusan di dapur sekalipun. Biarlah kamu di kamar saja).

Jadi, ketika pemuda Manggarai (khusus generasi yang saya sebut di awal tadi, saya tidak mau menggeneralisasi semua) sedang mabuk jatuh cinta, para pesohor yang baru-baru ini tidak bisa kupas kulit salak; ada suami yang melarang istrinya ke dapur supaya tidak keciprat minyak panas, dll., itu masih belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan pemuda Manggarai yang sedang jatuh cinta.

Pertanyaan selanjutnya, apakah janji-janji "istri tidak perlu kerja" itu benar-benar jadi nyata?

Oh, saya yakin Anda sudah tahu kalau semua itu adalah gombalan ketika sedang jatuh cinta saja. Ketika benar-benar sudah pacaran, lalu menikah dan hidup berumah tangga, janji manis yang pernah diucapkan sebelumnya sirna tak berbekas.

Malah situasinya berubah, istri yang dijanjikan akan hidup enak-enak itu bekerja lebih banyak, bahkan bisa dibilang bekerja lebih keras dari kemampuannya.

Selain urusan rumah tangga seperti cuci-sapu-pel-masak-jaga anak, kadang istri juga turun tangan ikut mencari nafkah. Sebab kalau tidak begitu, perekonomian rumah tangga akan terguncang yang menyebabkan ketidakstabilan di berbagai lini kehidupan.

Apakah mereka (istri) pernah menuntut janji-janji manis ketika awal berkenalan dulu? Oh, tentu saja tidak. Atau mungkin iya, hanya jarang diceritakan, hanya dipendam rapi dalam hatinya saja.

Mereka (istri) tidak pernah mengungkit lagi janji-janji penuh bualan itu, entah kenapa?

Setelah saya renung-renung, barangkali ada kaitannya dengan kalimat gombal pertama tadi, tentang wanita cantik yang dianggap kentutnya tidak bau.

Mungkin setelah mereka (pemuda dan pemudi) itu hidup bersama, mereka akhirnya menyadari kalau secantik apa pun seorang wanita, tetap saja kentutnya bau. Bahkan lebih bau malahan. Ada yang menyebutnya seperti ada bangkai tikus dalam perut.

Maka ketika kalimat gombal pertama tadi tidak terbukti kebenarannya, sudah pasti, kalimat gombal berikutnya yang berisi janji memperlakukan calon istri secara istimewa (tidak kerja), dengan sendirinya buyar.

Coba saja kalau benar-benar ada gadis cantik yang kentutnya harum, barangkali ada pemuda Manggarai yang dengan sekuat tenaga memenuhi kalimat atau janji yang kedua.

***

Cerita tidak jelas di atas, saya gunakan sebagai pengantar untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun untuk istriku tercinta, Anyk Astuty.

Saya sudah tidak ingat baik-baik, apakah dulu ketika mendekati dirinya pernah mengucapkan kalimat gombal seperti di atas.

Kalau pernah, berarti saya khilaf. Dan momen hari ulang tahunnya hari ini, sangat cocok dijadikan kesempatan untuk minta maaf.

Saya merasa bersalah bila pernah gombal seperti itu, sebab kenyataannya sekarang, setelah kami hidup bersama beberapa tahun terakhir, semuanya serba tidak enak.

Tidak ada alasan untuk tidak bisa kupas salak. Jangakan salak, kalau saja baru karang bisa dimakan, barangkali dia juga bisa mengupasnya.

Tidak ada alasan takut dengan percikan minyak panas. Malahan rasanya aneh kalau sehari saja tidak menyentuh minyak panas; periuk panas; dan hal-hal panas lainnya.

Apalagi ketika saya harus kuliah dengan alasan atau janji "untuk masa depan yang lebih baik." Urusannya makin berat lagi. Selain urusan domestik rumah tangga, dia juga bekerja melayani pasien di sebuah RS Swasta di Kota Kupang.

Saya juga agak sangsi dengan janji bahwa dengan kuliah saat ini akan memberi masa depan yang baik. Bagaimana kalau tidak bisa? Sebab kadang kuliah ini hanya menambah gelar, sedangkan kebaikan atau keberkahan lain masih sangat misteri.

Saking khawatirnya saya tidak bisa memenuhi harapan seperti itu, maka ketika liburan kemarin, saya mengajukan permohonan mengundurkan diri sebagai kepala keluarga.

Lewat rapat bertiga, saya-istri-Gibran, diputuskan istri saya yang jadi KK. Gibran jadi anggota istimewa. Sementara saya bertugas sebagai sekretaris keluarga.

Saya mengusulkan istri jadi KK itu bukan asal-asalan. Sebelumnya saya membaca sebuah artikel penelitian, ternyata di daerah yang memiliki budaya perempuan sebagai KK, masalah stuntingnya lebih rendah atau lebih mudah teratasi.

Itu artinya, perempuan lebih bagus jadi pemimpin rumah tangga. Makanya perlu sesekali diubah struktur rumah tangga kita, sebagaimana kabinet presiden, gonta-ganti posisi menteri itu hal yang biasa.

Tugas utama sekretaris adalah menulis, termasuk menulis hal yang tidak jelas ini....hehehe

Sekali lagi, selamat ulang tahun, Sayang...

Dari suamimu alias sekretaris keluarga.

 (*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 8 Februari 2020)


Posting Komentar

0 Komentar