Belajar Jurnalistik di Kampus

Dr. Imron Mawardi sedang berbagai pengetahuan seputar jurnalitik


Suasana kampus C Unair pada hari itu, Sabtu (22/8/2019) lebih lengang dari biasanya. Bisa dimaklumi, memang tidak ada kegiatan perkuliahan setiap akhir pekan. Meski demikian, masih tampak aktivitas beberapa orang yang mengikuti berbagai kegiatan seperti seminar, diskusi, pelatihan, dan lainnya.

Seperti yang terlihat di Aula Kahuripan 301, banyak sekali mahasiswa/i dari berbagai fakultas yang ingin mengikuti acara “Sekolah Jurnalistik untuk Mahasiswa Unair Batch 2.” Saya termasuk di antara mereka yang begitu antusias.

Kegiatan yang diselenggarakan oleh Pusat Informasi dan Humas Unair itu bertujuan untuk menjaring talenta-talenta muda Kesatria Airlangga yang berminat pada bidang jurnalistik. Ada beberapa tahapan seleksi yang harus diikuti. Setelah pelatihan pertama, kami ditantang untuk mulai menulis berita. Penulis terpilih itu akan dipanggil mengikuti wawancara, hingga nantinya tersisa 30 orang yang dibutuhkan untuk menjadi kuntributor media internal kampus, News Unair.

Pelatihan pertama hari ini langsung di bawah asuhan seorang mantan jurnalis yang kini bekerja sebagai sekretaris PIH Unair, Bapak Dr. Imron Mawardi. Beliau memberikan gambaran umum tentang dunia jurnalistik, kemudian fokus menyadarkan peserta tentang sensitivitas terhadap peristiwa yang bernilai berita (News value).

Beberapa intikator yang perlu dikenal calon jurnalis tentang nilai berita di antaranya harus aktual (peristiwa baru); spektakuler; dramatis; informatif; ekslusif (belum banyak diketahui orang); proximity (kedekatan dengan pembaca); tokoh; human interest (mengandung nilai kemanusiaan yang tinggi); unik; dan ditulis dengan berbagi angle atau sudut pandang.

“Banyak hal penting, tapi tidak menarik. Banyak juga hal yang menarik, tapi tidak penting. Jurnalistik merangkum keduanya, yakni menulis dengan menarik tentang hal-hal yang penting,” kurang lebih demikian pesan yang ditekankan oleh Pak Imron.

Sekretaris PIH Unair itu juga memberi bayangan tentang proses kerja yang biasa dilalui oleh seorang jurnalis. Kegiatannya dimulai dengan mencari berita atau informasi. Narasumbernya bisa siapa saja, lalu perlu juga melakukan penelusuran pustaka atau mencari informasi terkait tentang topik berita yang akan ditulis. Setelah bahan mentahnya disiap, mulailah menulis.

Setelah tulisannya jadi, tidak boleh langsung diterbitkan. Isinya dibaca dulu oleh editor berpengalaman, lalu diperhalus lagi oleh editor bahasa. Setelah melalui penyaringan, barulah tulisan masuk ke tahap lay-out, sebelum kemudian diterbitkan.

Kami sangat senang, meski bukan mahasiswa jurusan jurnalistik, tetapi tetap diberi pengetahuan tambahan yang tentunya berguna untuk masa depan.

***

Tulisan agak kaku di atas merupakan hasil latihan saya menulis reportase setelah ikut pelatihan tersebut. Bagaimana, masih jelek kan? Saya makin menyadari kalau teori menulis itu gampang dipelajari atau diajarkan kepada orang, tapi begitu dipraktikkan, kadang tidak semulus yang diperkirakan.

Oh iya, pada waktu itu saya dibatalkan oleh panitia karena ternyata kegiatan itu hanya ditujukan untuk mahasiswa S1. Pada brosur kegiatannya tertulis “untuk mahasiswa baru” saja, tidak ada keterangan lebih detail. Saya berpikir, karena saya juga berstatus mahasiswa baru pada waktu itu, masih diberi kesempatan belajar juga. Ternyata tidak dibolehkan (Ingat umur! Hehehe...)

Sejak menjadi mahasiswa Pendidikan Ners (S1) di FKp Unair pada tahun 2013 lalu, saya memang sering mengikuti kegiatan semacama itu: pelatihan jurnalistik atau pelatihan menulis. Entah kenapa, saya begitu tertarik dengan dunia yang satu ini.

Meski sadar saya akan menjadi perawat (Ners) dan bukannya wartawan, pada saat itu saya tetap merasa keterampilan menulis atau jurnalistik itu perlu dipahami, meski tidak dikuasai seperti para profesional pada bidang tersebut.

Mungkin karena saya memiliki dendam pribadi. Dulu, ketika menjadi panitia kegiatan perawat, kita selalu mengundang wartawan dari berbagai media. Meski kami tahu praktik ini ilegal, tapi dalam rapat panitia selalu menyiapkan “amplop” buat si peliput nantinya.

Kita sempat berdebat mengenai kepantasan memberi amplop itu, sebab sudah banyak beredar informasi kalau wartawan profesional itu dilarang menerima amplop dari siapapun. Tapi salah seorang panitia mengingatkan, “Kalau kita tidak siapkan (amplop), jangan harap nanti beritanya akan turun.”

Pada akhirnya kami semua sepakat dengan amplop tersebut. Saat beritanya turun, saya pastikan untuk membaca isinya. Saya agak menyesal karena beritanya pendek saja, tidak memuat semua kisahnya secara utuh. Belum lagi wartawannya salah mengutip atau salah menjelaskan beberapa istilah teknis dalam bidang keperawatan atau kesehatan.

Sejak itu saya berpikir, perawat juga perlu belajar jadi jurnalis supaya bisa lebih leluasa menyuarakan apa yang dipikirkan; apa yang sudah dilakukan; dan apa yang direncanakan pada masa mendatang.

Beruntung pada masa awal belajar itu, konsep tentang jurnalisme warga sedang marak dipelajari dan diminati banyak orang. Saya juga ikut belajar dan mempraktikkannya setiap hari. Saat ada yang menarik dalam perkulihan, saya tulis. Ketika praktik di rumah sakit dan melakukan penyuluhan, saya tulisan liputannya, kemudian diterbitkan di blog pribadi pada saat itu sedang tren menerbitkan liputan di Kompasiana.

Hingga kini, proses belajar itu terus berlangsung. Makanya ketika kembali ke Unair untuk melanjutkan pendidikan S2, saya selalu tergerak untuk berpartisipasi dalam kegiatan pelatihan menulis atau jurnalistik. Tidak peduli harus berbaur dengan anak muda mahasiswa baru, asalkan bisa belajar atau mempertahankan motivasi menulis, saya tetap akan hadir.

Setelah gagal melanjutkan pelatihan yang saya ceritakan di atas, saya tetap mempratikkan apa yang sempat dipelajari. Makanya selama semester satu di sana, saya lumayan banyak menulis reportase kegiatan kampus. Sebagian besar terbit di website kampus, tapi ada juga beberapa yang berhasil terbit di Koran Surya Surabaya.

Kalau di kampus kamu juga ada pelatihan semacam ini, sebaiknya dimanfaatkan baik-baik. Kemampuan yang tidak ada dalam kurikulum inti ini terkadang sangat membantu kita suatu saat kelak, dalam menjalankan tugas apapun. Sependek yang sudah saya jalani selama ini, saya bisa merasakan banyak kemudahan karena sudah terbiasa latihan menulis. Ayo mulai, kamu juga bisa...


Posting Komentar

0 Komentar