Antara Keluarga dan Corona*

Antara Keluarga dan Corona
Foto yang dikirim istri


Saya sudah malas menghitung jumlah hari isolasi diri yang dilewati. Lama-lama, jenuh juga.

Supaya kembali bersemangat, saya meminta istri agar mau mengirim foto terbarunya.

Ketika saya menerima dan melihat baik-baik fotonya, semua masalah lain sudah terasa ringan, --termasuk kegamangan dengan isu Covid-19. Sebab, masalah terbesar bagi saya, ya, ini... (menunjuk foto istri). Saking besar ia menimbulkan masalah, maka masalah yang lain-lain sudah pasti enteng.

Bila Anda termasuk penyuka komedian Cak Lontong, candaan di atas pastinya sudah sangat familiar. Kalau bukan bercanda, tidak mungkin saya berani bilang seperti pada istri, karena bisa-bisa terjadi perang dunia ke sekian.

***

Selama masa kewaspadaan Covid-19 ini, saya sejujurnya menyimpan rasa khawatir, tanpa pernah mau tunjukkan pada istri. Anak kami yang belum berusia 3 tahun tentunya belum paham dengan konsep penyakit infeksi, sehingga kalau saya khawatir atau tidak, dia tetap biasa-biasa saja.

Istri saya seorang perawat yang aktif bekerja di salah satu RS swasta di Kota Kupang-NTT. Meski bekerja di ruangan neonatus yang kemungkinan terpapar sumber infeksi relatif rendah bila dibandingkan ruang lain seperti IGD misalnya, bagaimana pun juga, tenaga kesehatan merupakan salah satu kelompok yang cukup rentan tertular virus Corona baru itu.

Kemarin dia sempat menyampaikan kekhawatirannya. "Say, di Kupang sudah mulai ada yang dicurigai kena korona."

Saya berusaha menenangkannya dengan jargon andalan ini: "Tetap waspada, tapi jangan panik!"

"Iya sih, bagaimana dengan Gibran?"

Ketika nama anak kami itu disebut, saya mulai gagap. Bingung mau menjawabnya bagaimana. Ketika kapasitas saya sudah mentok, dengan iman yang mungkin tidak lebih besar dari biji sesawi, saya hanya pasrah berkata, "Biarkan Tuhan mengatur yang terbaik. Tugas kita adalah berusaha mengikuti dengan ketat semua tindakan pencegahan, selanjutnya biar menjadi urusan Tuhan saja."

Saya, secara individu, tidak mau terlalu merepotkan dengan suasana gaduh ini. Di medsos atau media massa, saya hanya membaca informasi yang bernada positif saja. Kabar negatif saya abaikan, lebih memilih cari alternatif tayangan yang lebih menghibur. Daridapa stres berlebihan, malah melemahkan sistem kekebalan tubuh.

Tapi, sebagai seorang suami dan ayah, saya tidak mungkin merasa semuanya aman-aman saja.

Sambil terus berharap baik (berpikir positif), saya mencari informasi sebanyak-banyaknya. Selama masa isolasi diri, saya membaca lumayan banyak artikel ilmiah yang bersumber dari hasil penelitian atau analisis kondisi yang terjadi di China selama masa Covid-19 berlangsung. Sekarang mereka dianggap sudah "menang", kita perlu belajar dari mereka.

Sebuah studi yang melihat proporsi angka kesakitan dan kematian, persentase pada usia anak relatif kecil dibanding kelompok usia remaja, dewasa dan lansia.

Bahkan ada sebuah studi yang menyimpulkan anak kurang rentan dengan virus ini. Ada yang positif memiliki virus dalam tubuhnya, tapi anak tersebut tidak menunjukkan gejala yang buruk. Sebagain besar anak-anak yang menunjukkan gejala, pada akhirnya menunjukkan perubahan ke arah yang baik.

Anak-anak tidak kebal sempurna, tapi berbagai analisis setiap studi yang saya baca, sebagian besar menunjukkan prognosis yang baik.

Saya makin lega ketika mendengar pasien anak postif Covid-19 di Jogja pada akhirnya dinyatakan sembuh. Artinya, studi yang saya baca dan kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang sama.

Semua kesimpulan studi itu saya foto dan kirim ke istri. Meski tidak benar-benar aman, paling tidak dia bisa lebih kuat dan tenang menjalani hari-harinya.

Istri juga sempat mengeluhkan kelangkaan masker dan hand-sanitizer di Kupang. Kalau pun ada, seperti biasa, harganya melonjak bebas.

Mengenai masalah ini, saya mengajurkan alternatif lain. Banyak cara lain yang bisa dilakukan, jangan terpaku pada hal yang tidak mungkin bisa kita ubah.

Tapi, keluhan itu penting untuk diketahui pemerintah. Mereka punya kewajiban untuk mencari dan menyediakan fasilitas yang terbaik buat warganya.

Hingga kini, jumlah pasien dengan status orang dalam pengawasan (ODP) terus bertambah. Status ODP itu sudah ada sejak 3 Maret lalu, belum ada kemajuan mengenai kepastian diagnosisnya, apakah positif atau negatif?

Ternyata memang tidak mudah untuk memeriksanya. Semua sample pasien harus dikirim ke Surabaya dulu baru untuk bisa diperiksa, di NTT belum ada fasilitasnya.

Media massa melaporkan, sebagian besar pelayanan kesehatan yang ada di NTT berfasilitas minim. Belum cukup mampu untuk menangani masalah Covid-19, apalagi kalau jumlah pasien yang datang melonjak tinggi.

Maka semua tindakan pencegahan penyebaran virus harus benar-benar dipatuhi. Bila tidak, maka kelonjakan pasien ke faskes tidak bisa dibendung.

Besarnya jumlah pasien yang datang dan tidak diimbangi fasilitas dan sumber daya yang memadai, sudah pasti faskes akan tumbang.

Bila faskes/nakes tumbang duluan, apalagi masyarakat umum?

Kalau saat ini kita acap melihat foto nakes yang mengirim pesan: "Kami di RS untuk Anda; Anda di rumah saja untuk kami," itu bukan sekadar pesan biasa. Itu serius dan mohon diikuti.

Kita semua memiliki kekhwatiran yang sama. Tapi, sebisa mungkin kita kurangi kadarnya dengan berbagai cara. Usahakan agar tetap waspada, tapi jangan panik. Jangan sampai terjadi sebaliknya: Tetap panik, jangan waspada.

Eh, tulisan ini tadinya hanya sebagi upaya melepas kangen dengan istri, kok malah kepanjangan dan melebar ke mana-mana.

 (*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 21 Maret 2020)


Posting Komentar

0 Komentar