“Sastra tidak dibawa malaikat dari
langit. Sastra tidak datang begitu saja. Ia lahir melalui pergulatan sastrawan
dengan kondisi sosial –budaya zamannya. Maka, membaca karya sastra hakikatnya
membaca keadaan masyarakat dan budaya yang terungkap dalam karya itu. Jadi,
sastra menyimpan pemikiran sastrawamnya juga.”
Itulah penggalan awal kata
pengantar Maman S. Mahayana di beberapa e-book
karya satra yang diterbit oleh Balai Pustaka dan Pepustakaan Nasional RI, serta
bisa diakses secara gratis di perpusnas.go.id
Pernyataan di atas, begitu
kental terasa dalam karya teranyar dari Dicky Senda, sebuah buku kumpulan
cerpen yang berjudul “Sai Rai”. Membaca Sai Rai, memungkinkan kita mengenal
atau menyadari kembali ajaran nenek moyang orang Timor, tempat di mana
penulisnya hidup. Kita juga disadarkan kembali mengenai realitas hidup saat ini
yang terkesan agak ganjil. Orang berlomba-lomba mencitrakan diri sebagai sosok
yang agamais, namun pada sisi tertentu mereka menampilkan perilaku atau cara
hidup yang kontradiktif. Banyak perilaku yang sudah melenceng dari norma adat
maupun hukum. Itulah gambaran umum tentang Sai Rai.
Bila ditelusuri lebih
mendalam, sebagai pembaca saya menemukan kurang lebih 5 tema yang termuat dalam
18 cerpen tersebut. Saya bukanlah kritikus sastra. Saya hanya pembaca biasa
yang ingin mengulas cerpen ini dari kacamata seorang yang tidak mengenal metode
kritik sastra. Itulah sebabnya saya membahas dengan pola yang agak ‘ngawur’. Dalam
“Sai Rai”, Dicky menggabarkan tentang ironi ajaran agama, ritual adat orang Timor, relasi/kehidupan
rumah tangga, sejarah dan kisah hidup sehari-hari.
Ironi Ajaran Agama
Cerita
yang menggambarkan ironi ajaran agama bisa kita temukan dalam cerita “Suatu
Hari di Bioskop Sunlie” dan “Pohon-pohon dibunuh Tim Doa.” Dalam cerita
pertama, digambarkan kehidupan masyarakat yang tekun menjalankan ritual
keagamaan tapi malas atau tidak bekerja. Selain itu, perilaku atau tutur mereka
tidak mencerminkan ajaran yang seungguhnya. Hal itu bisa kita rasakan lewat
penggalan cerita berikut: “...sementara
di balik jendela para tetangga melemparkan tatapan curiga. Kemudian gosip
sehabis baca kitab suci...” (Hal.3) dan ada lagi pada hal.4 seperti ini: “Dari mulut pembaca kitab suci, kabar burung
berlanjut ke rumah-rumah ibadat.”
Kebiasaan gosip atau
menyebarkan informasi yang tidak benar tentu saja bertentangan dengan ajaran
kitab suci. Ironi yang terasa biasa. Orang rajin membaca atau menjinjing kita
suci ke rumah ibadat, tapi perilakunya malah berlianan yang ajaran yang dibaca
atau didengarnya.
Pada bagian lanjutannya, cerita
itu juga menggambarkan bagaimana aparat negara maupun pemuka agama, berusaha
mempengaruhi sebuah suku di Timor yang masih mempertahankan kepercayaan
leluhurnya. Mereka menyebut dirinya sebagai orang beragama, tampil gagal
menyampaikan ayat-ayat suci, doanya sangat panjang tapi malas bekerja. Kadang mereka
mengambil barang yang bukan miliknya. Sementara penganut kepercayaan nenek
moyang, menjalankan ritualnya sambil terus bekerja keras untuk bertahan hidup
tanpa harus mencuri atau melakukan tindakan kriminal.
Pada cerita kedua juga
sama. Tim doa yang sering menyebut nama Tuhan, pikul injil ke mana-mana, tapi
meyakini kalau orang yang meninggal (tokoh dalam cerita tersebut) terjadi
karena diserah roh jahat yang mendiami pohon-pohon. Karenanya, pohon-pohon itu
mesti ditebang.
Ritual Adat Orang Timor
Sebagain besar cerita
dalam “Sai Rai” menggambarkan ritual adat orang Timor. Meskipun telah beragama,
ritual adat yang diwarisi nenek moyang tidak pernah atau tidak boleh
ditinggalkan. Banyak hal mistis yang terjadi di Timor yang tidak bisa dipahami
oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan. Hanya dengan ritual adat, maka
keseimbangan hidup bisa dipertahankan.
Cerita “A’bonenos dan
Perempuan yang Agung” menggambarkan ritual orang Timor yang bertujuan mencari
orang yang hilang. Dalam cerita tersebut dikisahkan orang asing yang masuk ke
wilayah keramat orang Timor tanpa izin, sehingga menimbulkan malapetaka serta
mayatnya disembunyikan oleh roh. Setelah dilakukan sebuah ritual adat, mayatnya
muncul digotong jutaan belut. Hal ini kesannya aneh, tidak masuk akal. Tapi,
begitah hal mistis yang terjadi.
Pada cerita “Sutradara
yang Memainkan Sendiri Filmnya” juga mengisahkan hal yang hampir sama. Seorang pemuda
dari kota, berkunjung ke pedalaman Timor dengan tingkah sombong. Masuk tanpa
izin; tidak menyapa warga lokal dengan sopan; mengambil gambar (potret)
sesukannya/tanpa izin; dan bentuk keangkuhan lainnya. Orang tersebut hampir
sekarat bila tidak segera ditolong warga setempat dengan melakukan sebuah
ritual adat, memohon ampun atau pembersihan diri kepada roh nenek moyang.
Lewat cerita “Batu yang
Menangis dan Melahirkan Seribu Anak Sungai,” kita bisa memahami bagaimana pentingnya mengadakan
ritual adat di lokasi mata air tiap tahunnya dengan bahan persembahan seekor
ayam. Kita juga bisa tahu soal ritual orang Timor saat ada yang meninggal dari
cerita “Maet Mone,” dan tentang ritual saat melahirkan, bisa kita simak dari cerita
“Sai Rai: Lelaki yang Meninggalkan Bumi.”
Lalu, bagaimana sebagainya
orang memperlakukan tumbuhan dan hewan di sekitarnya (lingkungan)? Hal itu bisa
kita pelajari dari cerita “Bagaimana Jika Para Istri dan Gundik Ayah adalah
Berbagai Jenis Hewan dan Tumbuhan?” Cerita itu sarat dengan nilai ekologis.
Hal lain yang menarik dari
cerita-cerita tersebut, Dicky menyelipkan narasi yang menggambarkan kebiasaan
harian orang Timor seperti mengunyah sirih pinang, menyelipkan tembakau di
antara gigi dan bibir, menenun, menggunakan kain/syal tenunan bermotif,
memelihara anjing, makan lokal dan sebagainya. Kita juga akan sering mnemukan
latar cerita yang khas seperti tentang rumah bulat, pohon cendana, jagung dan
sebagainya.
Keseharian penulis yang
bergiat di kewirausahaan sosial “lakoat.kujawas”, sangat terasa dalam
ceritanya. Dia begitu paham tentang proses menenun serta makna dari setiap
motif tenunan. Saya yakin, pengetahuannya tentang kain tentu berumber dari
mama-mama penenun di Mollo yang penjualan kainnya difasilitasi oleh
lokat.kujawas.
Relasi/Kehidupan Rumah Tangga
Penulis “Kanuku Leon”
(2013) dan “Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi” (2015) itu juga mengakat kisah dari
persoalan rumah tangga yang biasa kita dengar atau baca dari media massa. Kita sering
mendengar kisah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), keseteraan gender, perselingkuhan,
dan merantau secara ilegal (human
trafficking). Persoalan-persoalan itu sangat akrab dengan kita, khususnya
yang berdomisili di NTT.
Saya masih sangsi dengan inti
cerita yang paling pendek ini: Naga. Bagi saya, naga itu mencerminkan kekuasaan
laki-laki yang semena-mena terhadap perempuan. Hal itu tergambar dalam sebuah
kalimat: “Konon, naga itu juga telah
membunuh ibu (dan juga ibu-ibu tiriku)”
(hal.19).
Cerita “Dua Ruangan dan
Seribu Ular” menggambarkan seorang ibu yang meninggalkan keluarga, menjadi
istri simpanan orang lain (seorang kolonel). Tentu saja anak sangat membenci
ibu seperti itu.
Saya sangat terkesan
dengan cerita Orpa. Dalam cerita itu digambarkan seorang ayah yang mati gantung
diri gara-gara tidak mampu memenuhi kebutuhan harian keluarganya. Lalu istrinya
pun mati setelah diperkosa oleh pejabat desa. Tinggal 2 orang anak, seorang
kakak bernama Orpa dan adiknya laki-laki. Orpa pernah bemimpi, ayah-ibu datang
memberi benih jagung dan kacang sambil berpesan, “Ini akan membuatmu mandiri.” Apakah
Orpa dan adiknya mengikuti pesan itu ? Tidak. Adik lelaki Orpa malah merantau
ke Kalimantan dan Orpa meninggalkan kampung ikut bersama suaminya. Tanah warisan
orangtau dibiarkan kosong. Lanjutannya makin tragis. Orpa sering mendapat
perlakukan kasar dari suaminya. Saking kasarnya, sang suami membunuh anak
mereka dan menguburnya di kintal rumah. Orpa lari meninggalkan suaminya. Sedangkan
adiknya tidak ada kabar yang jelas. Mungkin dia salah satu TKI yang dibunuh
dengan sadis, lalu organnya dijual. Orpa yang malang.
Saya memfavoritkan cerpen
Orpa ini karena menggambarkan kondisi terkini di NTT. Banyak yang bunuh diri; buang
bayi; terjebak human trafficking;
anak mudah lebih mau merantau dari pada bertani; KDRT dan sebagainya. Kita bisa
belajar atau menyadari banyak hal lewat cerpen ini.
Gambaran tentang KDRT juga
bisa kita simak di cerita “Misteri Kaleng Susu di Kebun Pisang Nenek Min.” Seorang
suami yang mabuk, melabrak istrinya yang sedang hamil. Tindakannya kasar itu
dianggap sebagai perilaku anjing oleh Nenek Min, dukun beranak yang membantu
ibu yang keguguran itu. Hal yang mengejutkan terjadi, oroknya menyerupai
anjing. Ayahnya memang anjing. Perilaku suami yang kasar terhadap istrinya
diibarakan anjing yang kalap.
Sejarah
Dicky juga menghadirkan cerita yang berlatarkan peristiwa
sejarah yang begitu membekas hingga kini. Misalnya tentang kekuasaan partai
kuning berlambang pohon beringin di era orde baru, terasa juga sampai ke daerah
Timor dan tergambar dalam cerita “Liuksaen dan OPK dan Kisah Lainnya.” Kisah
sejarah tahun 1965, tentan kekejaman PKI juga terjadi hingga ke Timor. Kisahnya
bisa dibaca pada cerita “Pulang ke Barat dari Hanga Loko Pedae.” Cerita “Memente”
juga bernilai sejarah. Satu-satunya cerita yang berlatar di luar Timor itu
mengisahkan tentang kenangan tenggelamnya kapal saat prosesi Semana Santa di Flores.
Kisah Hidup Sehari-hari
Ada beberapa cerita yang
saya anggap sebuah kebiasaan sehari-hari masyarakat Timor. Aktivitas harian
yang menarik untuk diikuti karena sebenarnya mengandung makna tersendiri atau
penting dijadikan pedoman hidup. Mungkin saya salah mengelompokkan kisah
berikut dalam kelompok yang berlabel “Kisah hidup sehari-hari.” Maafkan bila
saya keliru.
Dalam cerita “Wedang Uwuh
untuk Saudara Baru” menggambarkan kebiasaan orang Timor yang sering berkumpul
di dapur. “Dapur adalah jantung dari
sebuah rumah” (hal. 35), lalu didukung lagi dengan pernyataan pada hal. 36,
“Di dapur, kemanusiaan kita terawat.”
Tidak bisa kita pungkiri, orang Timor khususnya di desa, sering kempul bersama
anggota keluarga di dapur. Mereka duduk bercerita atau menasehati anak-anak
sambil menantikan makan malam.
Kebiasaan lain orang Timor
atau NTT pada umumnya adalah memelihara anjing. Setiap rumah ada anjing. Hewan peliharaan
itu bermanfaat untuk menghalau hewan perusak di kebun, berburu, penjaga rumah
dan sebagainya. Kisah memelihara anjing ada di cerita “Mok dan Kucing-Kucing
Tak Bernama.”
Lalu adapula cerita
keseharian seorang penulis yang diselimuti kegelisahan. Dia tidak percaya diri
dengan tulisannya. Dia masih sangsi dengan kualitas tulisannya sendiri. Saya kira,
ini menggambarkan perasaan pribadi penulis tentang pengalamannya dalam menulis.
Tenang Kaka Dicky, Anda termasuk penulis yang hebat. Kisah itu bisa kita baca
pada cerita “Tentang Kamar, Penyihir Bermata Kuning dan Rasa Gelisah.”
***
Itulah gambaran singkat (lumayan panjang?) buku “Sai Rai”.
Saya tidak menemukan kekurangan yang berarti pada buku tersebut. Lagian penerbitnya
bukan baru pertama kali menerbitkan buku. Grasindo telah lama menjadi penerbit
buku-buku berkualitas di Indonesia.
Memang ada berapa kesalahan pengetikan kata. Tidak banyak.
Penulis temukan di halaman 71, dituliskan: “...kuakui kupernah...” Menurut
saya, sementinya ditulis begini: “..kuakui pernah...” Tidak ada lagi “ku” di
depan “pernah.” Ada juga pada halaman 82, dituliskan: “Mempunya” seharusnya: “Mempunyai.”
Lalu yang terakhir pada hal. 113 dituliskan: “Aroma minta kayu putih.”
Seharusnya “Minyak”, bukan “Minta.”
Kesalahannya sedikit sekali dan tidak mengganggu
pemahaman pembaca. Buku ini sangat direkomendasi untuk dibaca oleh seluruh
warga NTT, khususnya Timor. Meski peradapan manusia berkembang begitu pesat,
kita tidak boleh melupakan ajaran nenek moyang termasuk ritual-ritualnya. Itulah
yang membuat hidup kita tetap seimbang dan sejahtera.
Tentu saja tidak hanya untuk orang NTT. Malahan buku ini
cocok bagi pembaca di manpun berada yang ingin mengenal NTT, khususnya pulau
Timor. Salah satu cara mengenal orang Timor-NTT, bisa dilakukan dengan membaca cerpen
ini.
0 Komentar