Jalan Pagi (31)*

Jalan Pagi (31)
Mentor sedang memberi arahan untuk praktik menulis
(*Tulisan ini, bisa juga baca di facebook)

Hari kedua pelatihan jurnalistik (2/12/2017) kali lalu, peserta lebih banyak diberi kesempatan praktik menulis.
Gerakan pena saya macet setelah menulis beberapa kata. Saya menilai itu sangat buruk. Saya coret semua yang sudah tertulis.
Saya mulai lagi. Kali ini lebih banyak, sekitar 3 kalimat yang membentuk satu paragraf utuh. Saya membaca ulang apa yang sudah tertulis, rasanya aneh. Beda sekali dengan kualitas tulisan yang dicontohkan oleh mentor. Saya coreti lagi.
Saat itu, pendampingan menulis dimentori oleh Pak Richarno Gusty dan Max Eddy Lamawato. Sebelumnya, kedua mentor itu menjelaskan -sekali lagi-, bagaimana membuat sebuah tulisan berita langsung (straight news).
Kedua jurnalis berpengalaman itu menjelaskan, ada 2 tipe penulisan berita langsung, metode piramida tegak dan piramida terbalik.
Piramida tegak merupakan sebuah struktur tulisan berita yang dimulai dengan informasi yang kurang penting, lalu disusul informasi yang agak penting pada bagian tengah dan semakin penting pada bagian akhir.
Sebaliknya, struktur piramida terbalik merupakan lawan dari konsep di atas. Tulisan beritanya diawali dengan informasi penting (utama), lalu disusul dengan informasi tambahan yang kurang begitu penting.
Sehari sebelumnya, Pak Pius Rengka juga telah menjelakan kepada peserta bahwa, dari konsep 5W+1H, ada tiga yang paling penting: Apa, Mengapa, dan Bagaimana ?
Dengan demikian, bagian penting dalam struktur piramida di atas, bisa diisi dengan informasi dari pertanyaan, "Apa, Mengapa, dan Bagaimana ?"
Saya coba lagi menulis. Lagi-lagi mentok. Saya ragu. Saya takut tidak bisa lebih baik seperti yang diharapkan para mentor.
Saya memperhatikan sekeliling, peserta lain tampak khusuk. Saya makin khawatir, jangan sampai hanya saya yang begitu bodoh dalam ruangan itu. Kertas di hadapan saya hanya berisi coretan-coretan. Berisi kalimat ragu-ragu.
***
All Vian, anak muda yang giat berlatih menulis

Pada akhirnya, perhatian saya tertuju pada seorang peserta. Namanya All Vian. Dia satu-satunya mahasiswa dari tempat saya bekerja yang berhasil diajak mengikuti kegiatan pelatihan menulis itu.
Saya perhatikan, dia berlatih menulis dengan serius. Perasaan frustasi yang yang saya alami agak berkurang saat melihat dia semangat berlatih seperti itu. Saya berpikir, kalau saya masih kesulitan menulis, minimal dia -orang yang saya ajak- bisa beradaptasi dengan baik. Saya merasa puas telah berhasil mengajaknya ikut berlatih menulis.
Saya pun ingat, sebelum berangkat ke Aula LPMP NTT ini, dia mengirim pesan, "Pak, saya bisa nebeng ke tempat kegiatan ?".
Tentu saja saya bersedia menjemputnya. Kami pun #JalanPagi bersama dengan niat yang sama: belajar menulis.
Selama perjalanan ke lokasi acara, saya memujinya karena telah memutuskan ikut belajar menulis. Saya jelaskan, tidak semua hal yang bermanfaat bagi masa depan itu tersedia di kampus. Kadang kita perlu berpetualang ke luar, mencari lebih banyak "bekal" bagi kehidupan yang lebih baik.
Saya bersyukur saat dia mengamini apa yang saya anjurkan itu. Dia pun mengungkapkan tekatnya untuk membudayakan literasi sejak sekarang.
Saya meyakinkan dirinya kalau itu (budaya literasi) dilakukan secara konsisten, masa depan lebih cermelang dibandingkan yang tidak melakukannya.
***
Lamunan saya buyar saat mentor megingatkan kami, "Tulisannya sudah selesai ?"
Seorang mentor mendekati meja anak muda tadi. Tulisannya diambil, kemudian dibaca dan dicermati. Sang mentor kemudian memberi sedikit komentar perbaikan.
Saya agak lega saat melihat ekspresi anak muda itu tetap tersenyum. Dia bisa menerima kritikan dari mentor dengan hati yang lapang.
Saya makin terkesan dengan gigihnya dia belajar. Begitu pula dengan anak muda yang lainnya. Mereka berani menunjukkan karyanya, membacakan di hadapan khalayak. Mereka pun masih tersenyum manggut-manggut saat tulisannya dikomentari/dikritisi. Tidak ada rasa takut dan malu sama sekali. Mereka pembelajar yang baik.
Sementara saya, kertas yang penuh coretan tadi terus dipendam dalam-dalam. Saya remas-remas kertas itu, kemudian menggelarnya kembali. Kertas makin lunak untuk dicabik-cabik. Saya tidak ingin melihat kertas jehanam itu terlalu lama.
Saya hancurkan kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah bersama perasaan kecewa yang saya alami. Saya ambil kertas baru. Saya membangun semangat baru, lalu mulai belajar menulis lagi...

Posting Komentar

0 Komentar