Jalan Pagi (30)*

Jalan Pagi (30)
Foto bersama pembicara dan peserta pelatihan jurnalistik
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 2 Desember 2017)

Kalau mau menghitung jumlah saya mengikuti pelatihan menulis, sudah terlalu banyak. Entah mengapa, kemampuan saya menulis begitu-begitu saja. Mentok sebagai penulis status facebook yang panjang. Beberapa sahabat saya protes, "Kalau tulis itu langsung pada intinya saja, tidak usah taputar-taputar dulu".
Saya biasanya hanya akan merespon dengan tertawa, dan tetap saja menulis panjang-panjang. Begitupula bila mendengar atau membaca ada kegiatan penulisan, saya akan berusaha untuk ikut, meski bukan pembelajar yang baik. Apa yang saya dengar, kadang tidak dipraktikkan dengan baik.
Kemarin (1/12), saya mengikuti lagi pelatihan menulis yang diselenggarakan oleh Lembaga Cakrawala NTT dan didukung Komunitas Secangkir Kopi (KSK), voxntt.com, Molas Ba Gerak dan beberapa komunitas lainnya. Pelatihan menulis ini dilabeli dengan nama pelatihan jurnalistik, dengan tema: "Menyambut generasi emas NTT 2050 dengan membangun budaya literasi". Tema itu tidak asing bagi saya yang selama ini biasa nimbrung dengan KSK. Itulah misi utama pergerakan KSK, mengakarkan budaya literasi di NTT.
Kegiatan berlangsung di salah satu ruang rapat lantor Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) NTT. Saya #JalanPagi ke sana dengan perasaan antusias, apalagi saat melihat banyak anak muda yang juga memiliki hasrat yang besar belajar menulis. Peserta yang mendaftar berjumlah sekitar 50-an orang, didominasi mahasiswa dari berbagai PT di Kota Kupang.
Materi pelatihan, terbagi dalam 2 sesi, pagi dan sore. Sesi pagi ada 2 pembicara utama. Pertama oleh Pemimpin Umum Lembaga Cakrawala NTT, Kak Richarno Gusty. Beliau menyampaikan kondisi pendidikan, khususnya budaya literasi saat ini yang belum baik. Butuh kerja kolaborasi semua pihak untuk menatanya, supaya ratapan-ratapan keburukan tetang NTT berkurang. Salah satu cara sederhana yang bisa dilakukan, yaitu dengan membudayakan gerakan literasi.
Pembicara kedua, Pimred Media Pendidikan Cakrawala NTT -Kak Max Eddy Lamawato-, memberikan gambaran tentang hal-hal teknis dalam menulis.
***
Foto bersama penulis senior, Bapak Pius Rengka
Foto bersama dengan Pak Pius Rengka

Sesi sore semakin menarik. Ada dua orang hebat NTT yang mau berbagi pengalamannya dengan kami anak muda yang biasa-biasa saja ini, yakni Pak Pius Rengka dan Pak Beni Harman (#BKH). Keduanya dikenal luas, salah satunya berkat kemampuan mereka menulis. Itulah yang ingin kami gali, bagaimana keduanya memulai dan membiasakan diri menulis.
Kemarin merupakan kali kedua saya bertemu dengan Pak Pius. Kesan saya masih sama, beliau sangat menarik untuk didengar. Suaranya lantang, sehingga tanpa mic pun, kami tetap mendengar dengan jelas.
Beliau merupakan dosen senior dengan banyak aktivitas atau pekerjaan profesional lainnya. Tidak heran bila kemampuan public speaking-nya sangat memukau.
Beliau berkisah dengan santai, menggunakan bahasa dan contoh yang sederhana. Terlalu bila tidak kami pahami. Selama bicara, seluruh tubuhnya "bergerak". Beliau berjalan mengitari peserta, tangannya tidak pernah diam, kontak mata dan mimik wajahnya seolah menarik mata kami tidak berpaling sedikitpun.
Beliau juga sangat humoris. Sepanjang beliau bicara, kami sering kali terbahak-bahak. Kami sangat terhibur dan sekaligus mendapatkan inti pesan yang beliau sampaikan. Singkatnya, bagi saya, beliau pembicara publik yang hebat.
Perihal menulis, Pak Pius berkisah tetang masa-masa sulitnya saat kuliah di Jogja. Kalau tidak salah tahun 70-an. Menurutnya, saat itu mereka jarang sekali mendapat kiriman uang dari kampung. Hidup sangat susah di rantauan, kadang tidak makan sampai 2 hari. Situasi itulah yang membuat dirinya terpaksa menulis agar mendapat honor dari media massa. Cuma menulis yang beliau bisa lakukan. Sebab kalau memilih jadi perampok atau garong, dirinya kurang bernyali. "Takut dihajar dan dibakar massa", begitu katanya.
Perihal menulis, beliau menekankan pentingnya memperhatikan 2 hal: konteks dan perspektif. Selain itu, penting juga berlatih deskripsi dengan baik. Usahakan tulisan kita bisa membuat orang buta "melihat". "Make me see", pesannya.
Pak Pius juga menambahkan, "Tulisan yang bagus itu, tulisan yang sudah jadi". Jadi menulislah. Kunci menulis itu menguasai kata. Banyaklah membaca. Setiap kata meski kita pahami maknanya. Bila tidak tahu, tanya sama orang atau buka kamus. Selesai menulis, jangan lupa membaca ulang dan edit lagi bila dirasa kurang baik.
Pada kesempatan itu, Pak Pius membagikan tips public speaking juga. Ketahui siapa audiens kita. Lalu yakini, mereka akan mendengar kita. Percaya diri, anggap saja pendengar belum tahu apa-apa tentang apa yang ingin kita sampaikan. Perhatikan juga artikulasi dan intonasi suara kita. Gunakan pakaian yang pantas serta bicaralah sesuai tema yang ditetapkan.
Bersama Bapak Beni K. Harman
Foto bersama BKH
Pembica terakhir Pak BKH. Beliau duduk saja di kursinya dan berbicara sangat pelan dengan suara yang juga tidak begitu keras. Saya harus mencondong telinga, berusaha mendengarkan baik-baik.
Bagi saya, -tentu saja sangat subjektif- suaranya yang lembut itu kurang efektif saat bicara di hadapan banyak orang. Padahal, isi pembicaraannya sangat bernas. Andaikan Pak BKH membawakan materinya seperti Pak Pius, pasti makin seru lagi.
Pengalaman menulis Pak BKH juga hampir sama dengan Pak Pius. Pak Beni sudah terbiasa menulis sejak SMA di Seminari Kisol, lalu berlanjut saat kuliah di Malang. Motivasi awal beliau menulis juga terbilang sama, untuk mendapatkan tambahan uang makan semasa kuliah.
Menurut Pak Beni, tulisan yang bagus itu memiliki syarat 3 hal. Pertama harus sesuai logika, kedua dilandasi data/informasi yang valid, dan ketiga mengandung kebenaran.
Beliau mengingatkan saat ini banyak sekali informasi yang simpang siur. Hoaks di mana-mana. Pembaca harus cerdas. Perlu membaca berita secara berimbang, tidak hanya dari satu sumber atau media saja.
Kemampuan membaca "tanda-tanda zaman" itu hanya bisa dilakukan bila kita rajin membaca dan berdiskusi. Intinya, berliterasi dengan baik.
***
Itulah gambaran umum kegiatan yang kami lakukan kemarin. Saya sangat puas. Tidak sia-sia duduk betah dari pagi hingga sore. Rasa betah itu juga -mungkin- dipengaruhi oleh aura moderator yang hebat, Kae Rian Seong. Saya bisa meramalkan, suatu saat beliau memiliki acara dengan menggunakan namanya sendiri, misalnya: "Bincang-Rian".
Oh iya, kegiatan kemarin akan dilanjutkan hari ini sebagai sesi praktik. #JalanPagi hari ini tetap mengarah ke sana.
Rencananya, peserta pelatihan akan tetap berkomunikasi lewat grup WA. Kami telah bersepakat untuk kolaborasi melakukan kegiatan kegiatan selanjutnya. Apa kegiatannya ?
Nantikan saja kisah selanjutnya. Silakan bergabung bila tertarik. Selamat pagi...

Posting Komentar

0 Komentar