Hal yang Menyenangkan dari “Usaha Membunuh Sepi”



Hal yang Menyenangkan dari “Usaha Membunuh Sepi”
Felix bersama seorang penggemarnya Christine (Credit foto: Mando, diambil dari sini)

Saya kira, Kaka Felix K. Nesi merupakan penulis paling percaya diri sejagat ini. Buku kumpulan cerpennya yang pertama, -usaha membunuh sepi (UMS)-, tampil tanpa adanya kata pengantar dari manapun serta tidak ada endorsment dari siapapun. Lazimnya sebuah buku, -apalagi buku pertama- dihiasi oleh pengantar dari tokoh ternama dalam bidang sesui jenis bukunya. Selain itu, biasanya juga dipenuhi oleh berbagai dukungan-dukungan orang terkenal. Hal itu menandakan Felix sangat percaya pada karyanya akan mendapat tempat di hati pembaca tanpa  embel-embel dukungan apapun.
Keyakinan itu benar-benar terjadi. Buku kumcer itu ramai dibicarakan orang baik dalam diskusi langsung mapun mengulasnya lewat tulisan di media massa. Sependek yang tahu, sudah banyak kegiatan yang mendiskusikan buku tersebut. Diskusi proses kreatif pernah berlangsung di Malang (tempat kuliah penulis sekaligus tempat penerbit) dan di rumahnya sendiri, di NTT. Saya sempat mengikuti diskusi bedah buku itu yang berlangsung saat pegelaran festival Tpoi Ton beberapa waktu lalu. Reportase kegiatan yang dimaksud, bisa Anda baca di sini.
Ulasan dalam bentuk tulisan juga ada banyak. Beberapa yang pernah saya baca, ada ulasan dari Muhammad Asqalani yang dimuat dalam blog Sufmuti, ulasan dari Tarsy Asmat di website penerbit buku itu (Pelangi Sastra Malang), ulasan dari Yohanes Sehandi -kritikus sastra NTT- yang dimuat di Pos Kupang, serta berbagai berita di media online. Semua ulasan dalam bentuk tulisan itu bernada sama: tulisan atau cerita pendek karya Felix sangat bermutu dan layak dibaca khalayak. Fakta lain, buku itu sudah dicetak ulang dalam waktu 7 bulan setelah cetakan pertama.
Saya pun tertarik ikut menulis kesan selepas membaca 9 cerita pendek itu. Ulasan saya ini sangat subjektif, tanpa menggunakan metode atau teori kritik sastra manapun. Tulisan ini merupakan cara saya menghargai diri sendiri yang telah membaca buku hingga tuntas. Saya telah membuat komitmen sendiri, minimal membuat ulasan dari setiap buku yang telah dibaca. Bagus atau jelek; berguna atau mubasir, tidak menjadi ukuran bagi saya. Asalkan saya selalu menulis.
Bagi saya, kesan umum membaca UMS itu sungguh menyenangkan. Saya bisa menikmati setiap ceritanya sambil tersenyum, tertawa dan tentu saja rileks. Dalam kegembiran itu, saya tetap meresapi setiap makna atau pesan yang mau disampaikan penulis. Saya mendapati banyak pelajaran dari sana. Pelajaran itu saya kelompokkan dalam tiga kategori berikut ini.

Pelajaran  menulis
            Sebelum membaca UMS, saya sudah mengenal penulisnya, Ka Felix. Lewat sebuah cerpennya yang dimuat di Koran Tempo, saya akui dirinya seorang penulis yang patut diperhitungkan. Semenjak dari situ, saya menemukan banyak karyanya yang termuat di berbagai media massa berupa cerpen dan puisi. Karya-karya itu mengesahkan Ka Felix sebagai salah satu penulis NTT yang luar biasa.
            Saya pun tanpa malu meminta beliau agar bersedia membagikan trik-trik menulis. Saya mengusulkan agar dibuatkan pelatihan menulis cerpen bagi anak-anak muda di Kota Kupang. Dia menyetujui usul tersebut. Tapi hingga saat ini belum terlaksana lantaran masih banyak kesibukan lain.
            Meski begitu, Ka Felix sering mengirim link tulisan yang berisi tentang motivasi menulis. Dia juga tidak segan-segan mengoreksi tulisan saya di facebook. Saya semakin senang belajar menulis dengannya.
            Setelah membaca UMS, saya menyadari kalau di sana, sebenarnya penulis sudah membeberkan rahasia atau pelajaran tentang menulis. Saya menemukan beberapa pesan yang mungkin bermanfaat bagi penulis pemula.
            Pertama, seorang penulis harus menciptakan sebuah suasan atau lingkungan yang kondusif. Kegiatan menulis butuh kosentrasi yang baik. Felix menggambar pentingnya kosentrasi dalam menulis itu seperti gelembung sabun. “Sekali konsentrasimu dirusak –entah oleh pintu kamar yang tiba-tiba terbuka atau ponakan yang berteriak- gelembung sabunmu akan pecah.”(Cerpen “Ponakan”, hal. 3)
            Kedua, topik tulisan sebaiknya tidak jauh-jauh dari dunia penulisnya. Tulislah topik yang kita kuasai atau hal-hal yang terjadi di sekitar lingkungan tempat tinggal. Felix mengakui pentingnya nuansa lokal dalam sebuah tulisan lewat sepenggal narasi dalam “Ponakan” di halaman 4: “...omong kosong tentang lokalitas akan membuat saya cepat terkenal.” Buku UMS juga sangat kental dengan lokalitas pulau Timor-NTT, tempat asal sang penulis.
            Ketiga, menulis itu langsung dipraktikkan. Jangan menunggu terlalu banyak teori atau mengikuti banyak pelatihan. Kalau mau jadi penulis, langsung latihan menulis dan juga membaca karya-karya yang berkualitas. Hal ini disinggung penulis dalam cerpen “Kenangan” di halaman 47, “Kadang saya kasihan dengan pada anak-anak muda ini yang tidak mulai menulis tapi menghabiskan waktunya untuk merumuskan bagaimana caranya menjadi penulis yang baik.
            Keempat, ini bukan trik menulis, tapi sebuah motivasi bagi calon penulis. Menjadi penulis itu sangat menyenangkan. Banyak hal yang bisa diperoleh, salah satunya akan menjadi sosok terkenal. Bukan saja tingkat lokal. Tapi bisa dikenal hingga level nasional bahkan internasional. Hal itu penulis gambarkan dalam cerpen “Sang Penulis”. Tokoh Agus begitu terkenal hingga ke mancanegara. Saking terkenalnya, orang tidak hanya membaca atau mengetahui karya tulisnnya saja. Orang-orang juga bisa tahu sampai ke hal-hal yang sifatnya sangat personal seperti keluarga penulis sampai dengan binatang peliharaan seperti anjing. Wow, jika demikian, siapa yang tidak tergerak hatinya menjadi penulis?

Pelajaran berpacaran
            Saya agak sangsi dengan topik pacaran atau relasi ini bila diklaim sebagai pengalaman pribadi penulis. Mungkin hanya hasil observasi dari lingkungan sekitarnya. Bukan apa-apa. Beberapa kali saya bertemu dengannya ataupun lewat foto-foto yang dia unggah di facebook-nya, seringkali mengenakan baju merah yang bertuliskan: “Baju couple khusus jomblo.” Bayangkan!? Apakah itu juga menunjukkan status hubungan atau relasi khususnya? Entahla...
            Tanpa memedulikan perihal jomblo di atas, Felix sebenarnya sangat kaya dengan pengetahuan seputar relasi khusus antara lelaki dan perempuan yang dicebut pacaran atau apalah. Sebagian besar ceritanya menggambarkan hubungan 2 insan yang saling mencintai. Yah.., memang bagian akhir ceritanya tidak yang membahagiakan. Sebagian besar hubungan itu berakhir dengan kisah perpisahan. Berikut pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah-kisah tersebut.
            Pertama, berpacaran membuat kita lebih bersemangat dan tidak merasa sepi. Hal itu bisa kita rasakan dari cerita utama, “Usaha Membunuh Sepi.” Dalam cerita digambar seorang pemuda (tokoh utama) semakin rajin bekerja ketika kekasihnya ada. Saking semangatnya, tokoh utama itu hendak merobohkan pagar yang masih berdiri kokoh, lalu membangunkan kembali. Tentu saja ha itu dimaksudkan agar kekasihnya bisa meyakini, dia layak menjadi suami. Saat berpacaran, kita tidak mengenal sepi. Semua sepi terbunuh seketika. Tapi, begitu kekasih itu pergi sementara atau selamanya, sepi itu hadir kembali.
            Kedua, pasangan yang sedang dilanda asmara biasanya cengeng dan ingin perhatikan. Seorang yang kasmaran, hari-harinya lebih banyak digunakan buat memikirkan atau mengingat pacarnya. Saat mandi, makan, kerja, tidur, jalan dan sebagainya, selalu membayangkan si kekasih hati. Gejala yang biasa terlihat, orangnya sering melihat hp, sering mengirim pesan atau mengharapan kekasihnya menelepon. Hal itu bisa kita rasakan dalam cerita “Indra”. Lebih lanjut dalam cerita yang diberi judul sebuah gambar yang menyerupai burung, digambarkan karakteristik serong cewek dan cowok yang sedang berpacaran. Cewek biasanya manja, cengeng dan suka drama Bollywood. Sedangkan laki-laki biasanya lebih cuek, mandiri dan seolah tak butuh siapa-siapa. Karakter itu kadang membuat sebuah hubungan tidak akur. Apalagi bila masing-masing mempertahankan kebiasaannya, tidak ada yang mau mengalah. Hubungan dari pasangan seperti itu biasanya berumur pendek.
Ketiga, selama masa pacaran, kita sering memikirkan suatu hal sebelum memutuskan hubungan itu dilanjutkan pada tahap menikah, yaitu persoalan belis. Biasanya laki-laki yang berpikir banyal soal ini. Sebab, hampir semua budaya mengharuskan lelaki yang membayar mahar. Dalam cerpen “Belis”, penulis menggambarkan bagaimana kegelisahan Yosef –sang tokoh utama- yang selalu memikirkan belis pacarnya. Gara-gara belis itu, Yosef memutuskan untuk merantau terlebih dahulu. Dia ingin menabung uang sebanyak mungkin di rantauan. Sementara itu, rencana kapan nikah belum jelas. Tunggu saja!
            Keempat, bila sebuah hubungan itu berhasil hingga jenjang pernikahan, ada lagi persoalan lain yang bisa muncul, yaitu perselingkuhan yang berujung berpisahnya pasangan suami-istri. Selingkuh merupakan hama dalam suatu hubungan percintaan. Orang tidak akan segan-segan melakukan tindakan nekat bila mengetahui pasangannya selingkuh. Hal itu kita pahami dari cerita “Sebelum Minggat”. Guido memutuskan pergi dari rumah, meninggalkan istrinya lantaran diketahui tidak bisa menerima kondisinya. Istrinya menyesali telah menikahi dirinya. Guido pergi tanpa minta klarifikasi apapun.
           
Hal konyol dalam keseharian
            Selain 2 hal penting di atas, Felix juga menyinggung beberapa hal konyol yang biasa kita lakukan atau saksikan sendiri dalam keseharian. Hal ini kesannya lucu, tapi sebenarnya dimaksudkan agar kita bisa menghentikan atau mengurangi kebiasaan itu. Berikut ini saya merangkum beberapa hal yang paling menarik.
            Pertama, soal kebiasaan kita berpura-pura. Kita seringkali berkata “Tidak” lewat mulut, tapi dalam benak sebenarnya berkata “Ia.” Persoalan ini memang agak remeh, tapi sangat memengaruhi penilaian orang kepada kita. Ini soal integritas. Apakah sama anatara perkataan dan perbuatan. Hal konyol itu digambarkan oleh penulis UMS dalam “Sebelum Minggat”, pada halaman 23: “’Wah, di sini saja dulu. Tidak usah ke mana-mana,’ temannya mengeluarkan kalimat itu dari mulutnya, tapi tatapan matanya seperti berkata: pergilah kau, kutu-parasit-jahanam yang tukan menangis!” Hal yang sama juga terjadi saat Guido memberikan sedikit uang kepada pemilik rumah, tempat dia menumpang selama beberapa hari. Lagi-lagi ditolak secara verbal, tapi bahasa tubuhnya menunjukkan kalau dia sangat mengharapkan pemberian itu.
            Saya sangat terkesan dengan hal konyol itu lantaran sering juga saya praktikkan dalam keseharian. Misalnya begini, ada tetangga yang datang ngobrol di depan rumah. Tanpa konfirmasi sama istri, saya segera mengajaknya singgah buat minum kopi. Yah, ajakan itu sebenarnya cuma iseng. Sebab, pernah sekali istri berceletuk, “Untung tadi tamunya menolak minum kopi, gula kita sudah habis.”
            Kedua, kadang kita tidak bisa mengontrol perilaku selama bertamu ke rumah orang.  Tuan rumah juga tampaknya sangat ramah. Tapi, betulkah dalam benaknya juga sama? Hal konyol ini juga tergambar dalam cerita “Pembual.” Di halaman 37 ada narasi seperti ini: “Menurut pacarnya, laki-laki ini adalah kutu buku yang pendiam. Tapi lihatlah ‘kutu buku yang pendiam’ ini. Sejak tadi ia terus saja membual sambil makan roti isi seperti orang kelaparan.”
            Ketiga, mungkin ini jarang terjadi, tapi saya pernah mengalaminya sewaktu kecil (SD). Dulu, saya maupun anak-anak lain di kampung, seringkali mengalami masalah di celana. Kancingnya terlepas. Hal itu kami akali dengan menggunakan tali rafia sebagai ikat pinggang. Kejaian konyol ini muncul lagi di cerita Felix setelah sekian lama saya tidak memikikan lagi hal itu. “Lelaki yang memakai tali rafia sebagai ikat pinggang dan jarang mengenakan celana dalam.” (Hal. 72)

***

            Saya kesulitan menemukan kekurangan dalam buku ini. Tidak ada kesalahan penulisan kata (typo) ataupun tanda baca. Saya yakin, ini buah kerja keras penulis yang sangat teliti serta para editor di penerbitan Pelangi Sastra. Patut kita ancungi semua jempol.

            Buku ini layak dibaca oleh siapa saja. Ceritanya sangat menghibur. Sesungguhnya, usaha membunuh sepi itu sangat sederhana, yaitu dengan membaca buku ini. Selamat membaca sekaligus membunuh sepi. Hening!

Posting Komentar

0 Komentar